Pada saat Hari Raya Idul Adha umat Islam disunnahkan untuk melakukan qurban. Secara umum hewan yang bisa digunakan untuk berqurban adalah, unta, sapi, kerbau, kambing. Namun saat ini berkembang tradisi qurban tapi dengan sedekah uang yang jumlahnya sama dengan harga hewan qurban. Apakah masuk dianggap melakukan ibadah qurban atau tidak cukup.
Dalam konteks fikih, mengandaikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi "jika seandainya nyata adanya" lalu bagaimana pandangan hukumnya, adalah proses pengasahan cara pikir yang sudah lama dilestarikan.
Terkadang dalam rangka mengatur keuangan, atau karena kondisi ekonomi, ada sebagian orang yang akan melaksanakan kurban berniat untuk menggabungkan niat kurban dengan niat aqiqah, karena kebetulan salah satu anaknya ada yang belum diaqiqahkan sewaktu bayi.
Akekahan berasal dari bahasa Arab “’aqiqah” yang memiliki beberapa makna. Di antaranya bermakna rambut kepala bayi yang telah tumbuh ketika lahir, atau hewan sembelihan yang ditujukan bagi peringatan dicukurnya rambut seorang bayi.
Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi di dalam kitabnya (al Majmu’ Syarh al Muhaddzab) menyatakan bahwa hukum aqiqah adalah sunah, aqiqah adalah hewan yang disembelih atas nama seorang anak yang dilahirkan
Aqiqah merupakan merupakan ibadah sebagai tebusan untuk anak. Oleh karenanya, harus sepadan, yakni jiwa dengan jiwa. Dengan demikian, aqiqah dengan 1 bagian sapi tidak diterima kecuali sapi utuh atau unta atau kambing secara utuh
Ada yang bertanya, “bagaimana seandainya tahun ini gak Qurban dulu, tapi dananya kami alihkan membantu mereka yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi?”
esimpulannya bahwa ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh