Penjelasan Harta Gono-gini (Hasil Usaha Suami-istri)

 
Penjelasan Harta Gono-gini (Hasil Usaha Suami-istri)
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta – Harta gono-gini atau harta bersama yang diperoleh selama suami dan istri berumah tangga tidak otomatis menjadi milik bersama menurut syariah Islam. Harta tersebut tetap menjadi milik masing-masing sesuai dengan sistem kepemilikan yang berlaku umum.

Demikian pengertian harta gono-gini yang sesuai dengan pasal 35 UU Perkawinan di Indonesia. Sedangkan menurut Islam tidak ada harta gono-gini . Tidak ada dalil dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah tentang adanya harta gono-gini tadi.

Secara global Islam membagi harta menjadi 2 bagian :
1. Harta pribadi , yaitu harta yang dimiliki masing-masing baik suami maupun istri. Harta ini sepenuhnya dimiliki suami ataupun istri, tidak boleh diantara keduanya merasa memiliki harta yang dimiliki pasangannya. Harta itu tetap menjadi hak milik masing-masing. Contoh :
a. Harta milik suami yang didapatkan dari hasi kerjanya, maka harus dipisah harta suami pribadi dan nafkah untuk istri dan keluarga.
b.  Harta suami yang merupakan warisan orang tuanya, maka menjadi milik suami sepenuhnya.
c.  Harta milik istri yang diperoleh dari suami sebagai nafkah untuknya, maka menjadi milik istri.
d. Mahar suami kepada istrinya, maka itu menjadi milik istri.
e. Harta istri yang merupakan warisan orang tuanya ataupun harta yang didapatkan dari hasil usahanya sendiri, maka itu menjadi milik istri. Dan lain-lain

2. Harta milik bersama , yaitu harta yang dimiliki oleh pasangan suami istri dari hasil usaha bersama atau usaha masing-masing yang kemudian digabung kepemilikannya dan tidak dipisah, maka harta seperti ini menjadi milik bersama dan inilah yang sering terjadi di Indonesia.
Ketika terjadi perceraian antara pasangan suami istri, maka harta yang menjadi milik pribadi, kepemilikannya tetap menjadi milik pribadi baik suami maupun istri. Adapun harta yang menjadi milik bersama antara suami dan istri, maka bisa diselesaikan dengan perdamaian ( Ash-Shulh ) antara suami dan istri sesuai dengan kesepakatan keduanya.

Allah Subhanhu Wa Ta’ala berfirman :

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

 “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz [357] atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya [358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir [359]. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [357] Lihat arti nusyuz dalam not 291. Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. [358] Seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi asal suaminya mau baik kembali. [359] Maksudnya: tabiat manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya, kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebahagian hak-haknya, maka boleh suami menerimanya. [QS. An-Nisa' 4:128]

Allah Subhanhu Wa Ta’ala berfirman : 

۞ لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

 “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat maruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. [QS. An-Nisa' 4:114]

Hal ini dikuatkan dengan  Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالاً

“Ash-Shulh (Perdamaian) itu boleh diantara kaum Muslimin, kecuali perdamaian (yang) menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” (HR: Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)

Apabila tidak dapat diselesaikan dengan jalan damai, maka diselesaikan dengan cara menyerahkan masahan tersebut kepada Hakim. Hakim yang memutuskan setelah melihat bukti-bukti yang dipaparkan oleh kedua belah pihak, baik suami maupun istri dengan keputusan yang adil, tidak harus dengan pembagian 50% – 50%. Tetapi, berdasarkan pengakuan dari suami ataupun istri dan juga bukti-bukti yang disampaikan oleh keduanya.

Allah Subhanhu Wa Ta’ala berfirman :

يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ ࣖ

 “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. [QS. Sad 38:26]

Kemudian sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam :

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ

Apabila (seorang) hakim memutuskan lalu dia berijtihad kemudian dia benar dalam ijtihadnya maka dia akan memberikan dua pahala. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Adapun pembagian harta berupa rumah yang masih dalam proses kredit saat bercerai dengan melihat beberapa hal :
Uang siapa yang dulu digunakan untuk membayar uang muka ketika pengambilan rumah tersebut, uang pribadi (suami atau istri) atau uang bersama?
Ketika membayar cicilan selama dua tahun menggunakan uang bersama atau uang pribadi.
Jika pembayaran uang muka untuk pengambilan rumah tersebut menggunakan uang pribadi (suami) dan pengasuransiannya selama dua tahun juga menggunakan uang pribadinya, maka rumah tersebut statusnya menjadi milik suami sepenuhnya. Begitu pula sebaliknya, ketika pengambilannya menggunakan uang pribadi (istri) dan pengangsurannya selama dua tahun menggunakan uang pribadi (istri), maka rumah tersebut statusnya menjadi milik istri sepenuhnya.

Adapun jika pembayaran uang muka dan cicilannya selama dua tahun menggunakan uang bersama, maka jalan pertama untuk menyelesaikan masalah ini dengan mengadakan Ash-shulh atau perdamaian antara kedua belah pihak (suami dan istri). Yaitu dengan mengembalikan kepada suami ataupun istri uang mereka masing-masing dengan perkiraan berapa jumlah uang suami dan berapa jumlah uang istri ketika digunakan untuk membayar uang muka ataupun cicilannya. Kemudian keduanya saling ridha dan lapang dada menerima kelebihan ataupun kekurangan biaya tersebut.

Jika jalan perdamaian tidak dapat menemukan titik temu antar kedua belah pihak, maka jalan kedua yang harus ditempuh adalah Al-Qadha' . Yakni menyerahkan sepenuhnya kepada Hakim agar menyelesaikan masalah tersebut dengan meninjau kembali bukti-bukti yang ada dan melihat mana yang paling baik untuk keduanya.

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1 Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.  memutuskan: Bahwa memberi “gono-gini” itu boleh menurut yang diterangkan dalam  Kitab Hasyiyah Al-Syarqawi :

Keterangan, dari kitab:

 (فَرْعٌ) إِذَا حَصَلَ اشْتِرَاكٌ فِى لَمَّةٍ ... إِنْ كَانَ لِكُلٍّ مَتَاعٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدِهِمَا مَتَاعٌ وَاكْتَسَبَا فَإِنْ تَمَيَّزَ فَلِكُلٍّ كَسْبُهُ وَإِلاَّ اصْطَلَحَا فَإِنْ كَانَ النَّمَاءُ مِنْ مِلْكِ أَحَدِهِمَا مِنْ هَذِهِ الْحَالَةِ فَالْكُلُّ لَهُ وَلِلْبَاقِيْنَ اْلأُجْرَةُ، وَلَوْ بِالْغَبْنِ لِوُجُوْدِ الاشْتِرَاكِ

Jika pernah terjadi persekutuan dalam sejumlah harta, … maka jika masing-masing punya harta atau salah satunya tidak punya harta dan keduanya melakukan usaha bersama, jika memang bisa dibedakan maka masing-masing memperoleh bagian sesuai dengan usahanya, dan jika tidak bisa dibedakan maka keduanya berdamai. Jika perkembangan terjadi dari harta milik salah satu dari keduanya, maka semua harta menjadi miliknya dan pihak lain berhak mendapatkan upah, meskipun terjadi kerugian, karena adanya persekutuan.

Demikian Penjelasan singkat tentang harta gono-gini, semoga bermanfaat. Aamiin

 

 

Sumber :   Ahkamul Fuqaha no. 6,  dan Berbagai Sumber
___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Sabtu, 9 Juni 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Editor : Sandipo