Hukum Menerima Gadai dengan Mengambil Manfaatnya

 
Hukum Menerima Gadai dengan Mengambil Manfaatnya

Menerima Gadai dengan Mengambil Manfaatnya

Pertanyaan :

Bagaimana hukum orang yang menerima gadai dengan mengambil manfaatnya, misalnya, sebidang tanah yang digadaikan, kemudian diambil hasilnya dengan tanpa syarat pada waktu akad diadakan demikian itu, baik sudah menjadi kebiasaan atau sebelum akad memakai syarat atau dengan perjanjian tertulis, tetapi tidak dibaca pada waktu akad, hal demikian itu apakah termasuk riba yang terlarang atau tidak?

Jawaban:

Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum (ulama):

  1. Haram: Sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
  2. Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut ahli hukum yang terkenal, bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk syarat.
  3. Syubhat: (Tidak tentu jelas halal haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat.

Adapun Muktamar memutuskan, bahwa yang lebih berhati-hati ialah pendapat yang pertama (haram). Keterangan, dari kitab:

  1. Asybah Wa al-Nazhair[1]

لَوْ عَمَّ فِي النَّاسِ اِعْتِيَادُ إِبَاحَةِ مَنَافِعِ الرَّهْنِ لِلْمُرْتَهِنِ فَهَلْ يَنْزِلُ مَنْزِلَةَ شَرْطِهِ حَتَّى يَفْسُدَ الرَّهْنُ قَالَ الْجُمْهُوْرُ لاَ وَقَالَ الْقَفَّالُ نَعَمْ.

Seandainya sudah umum di masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadai bagi pemberi pinjaman/penerima gadai, apakah kebiasaan itu dianggap sama dengan menjadikannya sebagai syarat, sehingga akad gadainya rusak? Jumhur ulama berpendapat: “Tidak diposisikan sebagai syarat.” Sedangkan al-Qaffal berpendapat: “Ya (diposisikan sebagai syarat).

  1. Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin[2]

وَجَازَ لِمُقْرِضٍ نَفْعٌ يَصِلُ لَهُ مِنْ مُقْتَرِضٍ كَرَدِّ الزَّائِدِ قَدْرًا أَوْ صِفَةً وَاْلأَجْوَدِ لِلرَّدِئِ (بِلاَ شَرْطٍ) فِي الْعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِمُقْتَرِضٍ إِلَى أَنْ قَالَ وَأَمَّا الْقَرْضُ بِشَرْطِ جَرِّ نَفْعٍ لِمُقْتَرِضٍ فَفَاسِدٌ لِخَبَرٍ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا. (قَوْلُهُ فَفَاسِدٌ) قَالَ ع ش، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ حَيْثُ وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ. أَمَّا لَوْ تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ .

Diperbolehkan bagi si pemberi pinjaman untuk memperoleh keuntungan (sesuatu kelebihan) dari peminjam, seperti pengembalian yang lebih dalam ukuran atau sifatnya, dan yang lebih baik pada pinjaman yang jelek, asalkan tidak disebutkan dalam akad sebagai persyaratan, bahkan disunatkan bagi peminjam untuk melakukan yang demikian itu (mengembalikan yang lebih baik lagi dibandingkan barang yang dipinjamnya). Adapun peminjaman dengan syarat adanya keuntungan bagi pihak pemberi pinjaman, maka hukumnya fasid, sesuai dengan hadis “Semua peminjaman yang menarik sesuatu manfaat (keuntungan bagi pemberi pinjaman) maka termasuk riba. Dengan ini diketahui, bahwa rusaknya akad tersebut jika memang disyaratkan dalam akad. Sedangkan jika keduanya si peminjam dan pemberi pinjaman secara kebetulan (melakukan praktik tersebut), dan tanpa disyaratkan dalam akad, maka akad itu tidak rusak (boleh).

[1]   Jalaluddin al-Suyuthi, Asybah wa al-Nazha’ir, (Mesir: Maktabah Mustahafa Muhammad, t. th.), h. 86.

[2]   Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in dalam al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th.), Jilid III, h. 53.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 28

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-2 Di Surabaya

Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1346 H./9 Oktober 1927 M.