Penjelasan tentang Lelaki Merujuk Istrinya Sebelum Selesai Iddahnya Tanpa Memberitahu Istri

 
Penjelasan tentang Lelaki Merujuk Istrinya Sebelum Selesai Iddahnya Tanpa Memberitahu Istri

Lelaki Merujuk Istrinya Sebelum Selesai Iddahnya Tanpa Memberitahu, Lalu Istri Sesudah Selesai Iddahnya Kawin dengan Lelaki Lain

Pertanyaan :

Bagaimana pendapat Muktamar tentang seorang lelaki yang telah mencerai istrinya, kemudian memberitahukan kepada hakim bahwa ia merujuk istrinya itu, sebelum selesai iddahnya, tetapi ia tidak memberitahukan kepada istrinya bahwa ia telah dirujuk dan tidak menunaikan kewajibannya (sebagai suami) seperti memberi perumahan dan nafkah, oleh karena itu kemudian sesudah selesai iddah, istrinya kawin dengan orang laki-laki lain, dengan kejadian ini suaminya yang pertama mengadu kepada hakim. Sahkah perkawinan perempuan tadi (istrinya) dengan laki-laki lain, dengan alasan bahwa ia tidak mengerti kalau telah dirujuk?

Jawab :

Apabila suami yang menjatuhkan talaq tadi mempunyai bukti (saksi), maka tuntutannya tersebut dapat diterima dan perkawinan istrinya dengan laki-laki lain tersebut tidak sah.

Apabila tuntutannya tersebut tidak ada bukti bahwa ia telah merujuk di dalam iddah maka terdapat beberapa kemungkinan:

a. Apabila tuntutan itu dihadapkan kepada istrinya, sedang si istri memungkiri bahwa ia telah dirujuk dalam iddah dan bersedia angkat sumpah, maka perkawinan si istri dengan laki-laki lain tadi sah!

b. Apabila si istri membenarkan tuntutan suaminya, bahwa ia telah dirujuk di dalam iddah, maka perkawinan si istri dengan laki-laki lain tadi tidak batal, hanya apabila orang laki-laki tersebut meninggal dunia atau mencerai, maka istri tersebut lansung menjadi istri suami pertama dengan tidak usah menikah lagi dan wajib atas istrinya menyerahkan sejumlah maskawin yang pantas (mahar-mitsil) kepada suaminya sebelum orang laki-laki lain yang mengawininya tadi meninggal dunia atau mencerainya, karena ia (istri) menghalang-halangi hak suami pertama terhadap dirinya.

c. Apabila tuntutan suami itu dihadapkan kepada orang laki-laki yang mengawini istrinya tadi maka bila ia (laki-laki itu) tidak membenarkan tuntutan tersebut (merujuk dalam iddah) dan ia bersedia angkat sumpah, maka perkawinannya itu hukumnya sah! Dan tuntutan suami pertama batal.

d. Apabila ia (laki-laki lain itu) membenarkan tuntutan suami pertama atau tidak membenarkan, tetapi tidak berani angkat sumpah, maka perkawinan yang kedua itu menjadi batal, tetapi hanya si istri tersebut tidak langsung menjadi istri suami pertama kecuali dengan pengakuan istri sendiri, atau dengan sumpah suami pertama apabila si istri tidak mau angkat sumpah. Maka dalam hal ini suami kedua wajib membayar maskawin yang pantas (mahar mitsil) apabila sudah bersetubuh, tetapi apabila belum bersetubuh hanya wajib membayar separuh dari maskawin saja.

Keterangan, Dalam kitab:

  1. Asna al-Mathalib[1]

(وَإِنْ تَزَوَّجَتْ بَعْدَ) انْقِضَاءِ (الْعِدَّةِ) زَوْجًا آخَرَ (وَادَّعَى مُطَلِّقُهَا) تَقَدُّمَ الرَّجْعَةِ عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ (فَلَهُ الدَّعْوَى) بِهِ (عَلَيْهَا وَكَذَا عَلَى الزَّوْجِ) إِلَى أَنْ قَالَ: (فَإِنْ أَقَامَ) بَيِّنَةً بِمُدَّعَاهُ (اِنْتَزَعَهَا) مِنَ الزَّوْجِ سَوَاءٌ دَخَلَ بِهَا أَمْ لاَ (وَإِلاَّ) أَيْ وَإِنْ لَمْ يُقِمْ بَيِّنَةً (فَإِنْ بَدَأَ بِهَا) فِي الدَّعْوَى (فَأَقَرَّتْ) لَهُ بِالرَّجْعَةِ (لَمْ يُقْبَلْ) إِقْرَارُهَا (عَلَى الثَّانِي مَا دَامَتْ فِيْ عِصْمَتِهِ) لِتَعَلُّقِ حَقِّهِ بِهَا (فَإِنْ زَالَ حَقُّهُ) بِمَوْتٍ أَوْ طَلاَقٍ أَوْ إِقْرَارٍ أَوْ حَلَّفَ اْلأَوَّلُ يَمِيْنَ الرَّدِّ بَعْدَ الدَّعْوَى عَلَيْهِ أَوْ غَيْرَهَا (سُلِّمَتْ لِلأَوَّلِ) كَمَا لَوْ أَقَرَّ بِحُرِّيَّةِ عَبْدٍ ثُمَّ اشْتَرَاهُ حُكِمَ بِحُرِّيَّتِهِ (وَقَبْلَ ذَلِكَ) أَيْ زَوَالِ حَقِّ الثَّانِي (يَجِبُ عَلَيْهَا لِلأَوَّلِ مَهْرُ مِثْلِهَا لِلْحَيْلُوْلَةِ) أَيْ لِأَنَّهَا حَالَتْ بَيْنَهَا وَبَيْنَ حَقِّهِ بِالنِّكَاحِ الثَّانِي حَتَّى لَوْ زَالَتْ حَقُّ الثَّانِي رُدَّ لَهَا الْمَهْرُ لاِرْتِفَاعِ الْحَيْلُوْلَةِ وَالتَّصْرِيْحُ بِكَوْنِهِ لِلْحَيْلُوْلَةِ مِنْ زِيَادَتِهِ إِلَى أَنْ قَالَ: (وَلَوْ أَنْكَرَتْ) رَجْعَتَهُ (فَلَهُ تَحْلِيْفُهَا) عَلَى نَفْيِ عِلْمِهَا بِالرَّجْعَةِ (لِلْغَرَمِ) أَي لِيَغْرُمَ مَهْرُ الْمِثْلِ إِذَا أَقَرَّتْ أَوْ نَكَلَتْ وَحَلَفَ هُوَ فَإِنْ حَلَفَتْ سَقَطَتْ دَعْوَاهُ.

Jika seorang wanita yang dicerai kawin lagi dengan laki-laki lain sehabis masa ‘iddahnya, dan suami pertama mengklaim lebih dahulu rujuknya dari pada waktu habisnya ‘iddah, maka suami pertama berhak mendakwa demikian. Suami pertama boleh pula mendakwa suami kedua.

Jika ia mampu memberikan saksi atas dakwaanya, maka ia berhak mengambil kembali istrinya itu dari suaminya yang baru, baik sudah disetubuhi atau belum. Namun jika ia tidak mampu memberikan saksi, jika ia memulai dakwaannya kepada si wanita, kemudian si wanita itu mengakui adanya rujuk, maka pengakuan yang merugikan suami kedua itu tidak diterima selama wanita itu masih dalam ikatan pernikahannya, karena keterkaitan hak suami kedua itu dengannya.

Lalu jika hak suami kedua hilang karena kematian, perceraian atau sumpah suami pertama dengan sumpah penolakan setelah dakwaan padanya atau sumpah selainnya, maka ia harus diserahkan pada suami pertama. Masalahnya sama seperti jika seseorang mengaku telah membebaskan budak, lalu ia membelinya kembali, maka budak tersebut dihukumi telah merdeka.

Dan sebelum hak suami kedua hilang, maka wanita itu harus memberi mahr mitsl pada suami pertama karena adanya keterhalangan, yakni dengan perkawinan kedua tersebut, berarti wanita itu telah menghalangi hak suami pertama atas dirinya, sehingga jika hak suami kedua hilang, maka suami pertama harus mengembalikan mahr mitsl kepada si istri.

Jika wanita itu mengingkari rujuk suami pertama, maka suami pertama berhak menyumpahnya atas ketidaktahuan wanita itu atas rujuknya agar ia menanggung mahr mitsl jika -suatu saat- mengakuinya. Atau bila wanita itu enggan bersumpah dan suami pertama sudah bersumpah, -kemudian- jika wanita itu mau bersumpah, maka gugurlah dakwaan dari suami pertama tersebut.

  1. Hasyiyah al-Syirwani[2]

وَإِنْ بَدَأَ بِالزَّوْجِ فِي الدَّعْوَى فَأَنْكَرَ صُدِّقَ بِيَمِيْنِهِ وَإِنْ أَقَرَّ أَوْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِيْنِ وَحَلَفَ اْلأَوَّلُ الْيَمِيْنَ الْمَرْدُوْدَةَ بَطَلَ نِكَاحُ الثَّانِي وَلاَ يَسْتَحِقُّهَا اْلأَوَّلُ حِيْنَئِذٍ إِلاَّ بِإِقْرَارِهَا  لَهُ أَوْ حَلَفٍ بَعْدَ نُكُوْلِهَا وَلَهَا عَلَى الثَّانِي بِالْوَطْءِ مَهْرُ الْمِثْلِ إِنْ اسْتَحَقَّهَا اْلأَوَّلُ وَإِلاَّ فَالْمُسَمَّى إِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُوْلِ وَنِصْفُهُ إِنْ كَانَ قَبْلَهُ.

Jika suami pertama memulai dakwaan pada suami kedua, lalu ia mengingkarinya maka ia bisa dibenarkan dengan sumpahnya. Jika ia mengakuinya atau enggan bersumpah, dan suami pertama bersumpah, maka pernikahan kedua batal.

Dan seketika itu suami pertama belum berhak atas wanita tersebut, kecuali dengan pengakuan si wanita atau sumpah suami pertama setelah si wanita menolak bersumpah. Dan sebab disetubuhi suami kedua, si wanita berhak mendapat mahr mitsl darinya bila (terbukti) suami pertama sudah berhak atasnya. Bila belum, maka ia (berhak atas) mahar yang disebut dalam akad bila dakwaan suami pertama terjadi setelah persetubuhan dengan suami kedua, dan separonya bila dakwaan tersebut terjadi sebelumnya.

[1]   Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1422 H/2001 M), Cet. Ke-1, Juz VII, h. 255-256.

[2] Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418H/1997 M), Cet. I, Jilid I, h. 177.  

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 42

EPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-3

Di Surabaya Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1347 H. / 28 September 1928 M.