Penjelasan tentang Thariqah yang Mempunyai Sanad sampai Nabi Muhammad dan Perbedaan dengan Lainnya

 
Penjelasan tentang Thariqah yang Mempunyai Sanad sampai Nabi Muhammad dan Perbedaan dengan Lainnya

Thariqah yang Mempunyai Sanad Muttashil Kepada Nabi Saw. Itu Tidak Ada Perbedaannya Satu Sama Lain

Pertanyaan :

Apakah thariqah Tijaniyah itu termasuk thariqah yang benar dan mu’tabarah?

Manakah yang lebih utama? Thariqat Naqsyabandiyah, Syattaniyah, Qadiriyah atau lainnya?

Apakah perbedaannya thariqah dan syari’ah?

Jawab :

Muktamar ke-3 (lihat soal nomor 50) telah memutuskan bahwa thariqat Tijaniyah itu mempunyai urutan langsung (sanad muttashil) sampai kepada Rasulullah Saw. dan merupakan thariqah yang sah dalam agama Islam dan semua thariqah mu’tabarah itu tidak ada perbedaannya satu sama lain. Dalam Muktamar ini diputuskan bahwa semua wiridan dari thariqah Tijaniyah itu sah (benar) seperti zikirnya, shalawatnya dan istighfarnya, begitu juga pernyataannya dan syarat-syaratnya yang sesuai dengan agama (syara’). Adapun yang tidak sesuai apabila dapat ditakwilkan, maka harus ditakwilkan pada arti yang sesuai dengan agama dan terserah kepada para yang ahli. Bila tidak bisa dan ternyata bertentangan dengan agama dan tidak dapat ditakwilkan, maka hal itu salah, dan tidak boleh diajarkan kepada golongan awam supaya tidak tersesat dan menyesatkan.

Keterangan, dari kitab:

  1. Al-Fatawa al-Haditsiyah[1]

فَفِيْ تِلْكَ الْكُتُبِ مَوَاضِعُ عَبَّرَ عَنْهَا بِمَا لاَ يُطَابِقُهُ ظَوَاهِرُ عِبَارَتِهَا اِتِّكَالاً عَلَى اصْطِلاَحٍ مُقَرَّرٍ عِنْدَ وَاضِعِهَا فَيَفْهَمُ مُطَالِعُهَا ظَوَاهِرَهَا الْغَيْرَ الْمُرَادَةِ فَيَضِلُّ ضَلاَلاً مُبِيْنًا. وَأَيْضًا فِيْهَا أُمُوْرٌ كَشْفِيَّةٌ وَقَعَتْ حَالَ غَيْبَةٍ وَاصْطِلاَمٍ وَهَذَا يَحْتَاجُ إِلَى التَّأْوِيْلِ وَهُوَ يَتَوَقَّفُ عَلَى اِتْقَانِ الْعُلُوْمِ الظَّاهِرَةِ بَلْ وَالْبَاطِنَةِ فَمَنْ نَظَرَ فِيْهَا وَهُوَ لَيْسَ كَذَلِكَ فَهِمَ مِنْهَا خِلاَفَ الْمُرَادِ فَضَلَّ وَأَضَلَّ فَعُلِمَ أَنَّ مُجَانَبَةَ مُطَالَعَتِهَا رَأْسًا أَوْلَى

Maka dalam kitab-kitab (Syaikh Muhyiddin bin ‘Arabi) tersebut terdapat tema-tema yang beliau ungkapkan maknanya yang tidak sama dengan makna redaksi lahiriahnya, karena berpegangan pada istilah yang ditetapkannya. Lalu orang yang mempelajarinya (hanya) memahami makna lahiriahnya yang (sebenarnya) tidak dikehendaki (beliau), kemudian ia benar-benar tersesat. Di sana juga terdapat materi-materi yang bersifat kasyfiyah (diilhami langsung oleh Allah) yang terjadi saat dalam keadaan ghaibah dan diluar kesadaran dan butuh ditakwil, yang mana (bisa memahami dan tidaknya) tergantung pada kekuatan ilmu lahir dan batin (seseorang). Oleh sebab itu, seseorang yang mendalaminya sedangkan dia bukan orang yang ilmu lahir dan batinnya kuat, maka ia pasti akan memahami makna yang tidak dikehendaki beliau, lalu ia akan tersesat dan menyesatkan. Maka menghindar dengan sama sekali tidak mempelajari kitab-kitab tersebut itu lebih utama.

  1. Maraqi al-‘Ubudiyah Syarh Bidayah al-Hidayah[2]

وَالشَّرِيْعَةُ اْلأَحْكَامُ الَّتِيْ كَلَّفَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اللهِ جَلَّ وَعَلاَ مِنَ الْوَاجِبَاتِ وَالْمَنْدُوْبَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ وَالْمَكْرُوْهَاتِ وَالْجَائِزَاتِ. وَالطَّرِيْقَةُ هِيَ الْعَمَلُ بِالْوَاجِبَاتِ وَالْمَنْدُوْبَاتِ وَالتَّرْكُ لِلْمَنْهِيَّاتِ وَالتَّخَلِّي عَنْ فُضُوْلِ الْمُبَاحَاتِ وَاْلأَخْذُ بِاْلأَحْوَطِ كَالْوَرَعِ وَبِالرِّيَاضَةِ مِنْ سَهْرٍ وَجُوْعٍ وَصُمْتٍ

Syaikh al-Shawi berkata: “Syariat adalah hukum-hukum yang Rasulullah Saw. bebankan kepada kita dari Allah Azza wa Jalla berupa hal-hal wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Sedangkan thariqah adalah pengamalan kewajiban-kewajiban dan kesunahan-kesunahan, meninggalkan larangan-larangan, dan menghindar dari hal mubah yang tidak dibutuhkan, bersikap sangat hati-hati seperti dengan wira’i dan riyadhah antara lain ibadah tengah malam, berlapar-lapar dan membisu.

[1] Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyah, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1390 H/1971 M), h. 311.

[2] Muhammad Nawawi al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyah Syarh Bidayah al-Hidayah, (Surabaya: al-Hidayah, t. th.), h. 4.

 

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 117

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-6

Di Pekalongan Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1350 H. / 27 Agustus 1931 M.