Hukum Menyewakan Rumah kepada Non Muslim dan Penyewa Beribadah di Rumah Tersebut

 
Hukum Menyewakan Rumah kepada Non Muslim dan Penyewa Beribadah di Rumah Tersebut

Menyewakan Rumahnya Kepada Orang Majusi, Lalu Si Majusi Menaruh dan Menyembah Berhala di Rumah Itu

Pertanyaan :

Kalau orang Islam menyewakan rumahnya pada orang Majusi kemudian si Majusi menaruh berhalanya dan menyembahnya dalam rumah itu. Apakah penyewaan itu sah?

Dan uang sewaannya halal ataukah tidak?

Jawab :

Penyewaannya sah dan uang sewaannya halal, dengan tidak ada selisih pendapat ulama. Tetapi sewaktu menyewakan mengerti atau menduga kalau si Majusi (penyewa) akan menyembah berhala dalam rumah itu, maka hukumnya haram, kecuali pendapat Imam Hanafi.

Keterangan, dari kitab:

  1. Fath al-Mu’in[1]

وَحُرِمَ أَيْضًا (بَيْعُ نَحْوِ عِنَبٍ مِمَّنْ عَلِمَ أَوْ ظَنَّ أَنَّهُ يَتَّخِذُهُ مُسْكِرًا) لِلشُّرْبِ وَاْلأَمْرَدِ مِمَّنْ عُرِفَ بِالْفُجُوْرِ بِهِ وَالدِّيْكِ لِلْمُهَارَثَةِ وَالْكَبْشِ لِلْمُنَاطَحَةِ وَالْحَرِيْرِ لِرَجُلٍ يَلْبَسُهُ وَكَذَا بَيْعُ الْمِسْكِ لِكَافِرٍ يَشْتَرِي لِتَطْيِيْبِ الصَّنَمِ وَالْحَيَوَانِ لِكَافِرٍ عُلِمَ أَنَّهُ يَأْكُلُهُ بِلاَ ذَبْحٍ  لِأَنَّ اْلأَصَحَّ أَنَّ الْكُفَّارَ مُخَاطَبُوْنَ بِفُرُوْعِ الشَّرِيْعَةِ كَالْمُسْلِمِيْنَ عِنْدَنَا خِلاَفاً  لِأَبِيْ حَنِيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَلاَ يَجُوْزُ اْلإِعَانَةُ عَلَيْهِمَا وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنْ كُلِّ تَصَرُّفٍ يُفْضِيْ إِلَى مَعْصِيَّةٍ يَقِيْنًا أَوْ ظَنًّا وَمَعَ ذَلِكَ يَصِحُّ الْبَيْعُ.

Diharamkan juga menjual semisal anggur pada orang yang diyakini atau diduga akan manjadikannya minuman keras, atau budak amrad (anak laki-laki kecil ganteng) pada orang yang terkenal berbuat lacur dengannya, ayam jago untuk disabung, kambing jantan untuk diadu (dengan saling membentur kepala) atau sutera yang akan dikenakan oleh laki-laki.

Demikian halnya haram menjual minyak wangi kepada orang kafir yang akan digunakan untuk mengharumkan berhala, atau binatang kepada orang kafir yang diketahui ia akan memakannya tanpa disembelih. Sebab menurut pendapat al-sahih, orang-orang kafir itu dikenai hukum syariat seperti kaum muslimin. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah Ra. Karena itu, maka tidak boleh membantu keduanya atau semisalnya dari setiap tasaruf yang bisa menjurus maksiat, secara meyakinkan atau dalam dugaan kuat. Meskipun begitu, jual-belinya tetap sah.

[1] Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in dalam al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t .th). Jilid III, h. 23-24.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 136

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-8

Di Jakarta Pada Tanggal 12 Muharram 1352 H. / 7 Mei 1933 M.