Penjelasan tentang Pengertian Aman dari Siksa Kubur

 
Penjelasan tentang Pengertian Aman dari Siksa Kubur

Pengertian Aman dari Siksa Kubur

Pertanyaan :

Apa yang diartikan aman dalam hadits yang artinya: “Siapa yang meninggal dunia pada hari Jum’at maka ia aman dari siksa kubur. Apakah amannya itu hanya pada hari Jum’at itu? Ataukah sampai hari Kiamat?

Jawab :

Bahwa amannya itu sampai hari kiamat.

Keterangan, dari kitab:

  1. Qathr al-Ghaits[1]

وَإِنْ مَاتَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ يَكُوْنُ الْعَذَابُ سَاعَةً وَاحِدَةً وَضَغْطَةُ الْقَبْرِ كَذَلِكَ ثُمَّ يَنْقَطِعُ وَلاَ يَعُوْدُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Apabila seseorang mati pada hari Jum’at atau malam harinya, maka siksa kubur yang menimpanya hanya sesaat, begitu pula menghimpitnya kubur. Kemudian akan berhenti dan tidak terulang lagi sampai hari kiamat.

  1. Al-Dur al-Nadhid[2]

قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةُ عَذَابُ الْقَبْرِ حَقٌّ... ثُمَّ الْمُؤْمِنُ عَلَى وَجْهَيْنِ إِنْ كَانَ مُطِيعًا لَا يَكُونُ لَهُ عَذَابٌ وَيَكُونُ لَهُ ضَغْطَةٌ يَجِدُ هَوْلَ ذَلِكَ وَخَوْفَهُ وَإِنْ كَانَ عَاصِيًا يَكُونُ لَهُ عَذَابُ الْقَبْرِ وَضَغْطَةُ الْقَبْرِ لَكِنْ يَنْقَطِعُ عَنْهُ عَذَابُ الْقَبْرِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ لَا يَعُودُ الْعَذَابُ إِلَى يَومِ الْقِيَامَةِ وَإِنْ مَاتَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ يَكُونُ لَهُ الْعَذَابُ سَاعَةً وَاحِدَةً وَضَغْطَةُ الْقَبْرِ ثُمَّ يَنْقَطِعُ عَنْهُ الْعَذَاب كَذَا فِي الْمُعْتَقَدَاتِ لِلشَّيْخِ أَبِي الْمُعِينِ النَّسَفِيِّ الْحَنَفِيِّ

Kalangan Ahli Sunnah wal Jamaah berpendapat, bahwa adzab kubur itu memang benar adanya.

Seorang mukmin itu terbagi dua kondisi, apabila dia taat maka dia tidak akan memperoleh siksa dan tetap mendapat himpitan kubur dan kengeriannya. Jika seorang mukmin itu bermaksiat maka dia akan memperoleh siksa dan tetap mendapat himpitan kubur, tetapi siksa kubur tersebut akan terhenti sampai hari dan malam Jum’at, lalu siksaan itu tidak terulang kembali sampai hari kiamat. Dan jika ia mati pada hari atau malam Jum’at maka ia mendapat siksaan itu sesaat dan himpitan kubur, lalu siksaan itu terhenti. Begitu keterangan dalam kitab al-Mu’taqadat karya Syaikh Abu al-Mu’in al-Nasafi al-Hanafi.

[1] Muhammad Nawai al-Jawi, Qathr al-Ghaits, (Indonesia: al-Haramain, 1427 H/2006 M), Cet. Ke-1, h. 10.

[2] Al-Harawi, al-Dur al-Nadhid, dan lihat Ahmad bin Muhammad al-Hamawi, Ghamzu Uyun al-Bashair, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Imiyah 1985), Juz IV, h. 72. Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 138 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-8 Di Jakarta Pada Tanggal 12 Muharram 1352 H. / 7 Mei 1933 M.