Hukum Zakat Usaha Perhotelan

 
Hukum Zakat Usaha Perhotelan

Zakat Usaha Perhotelan

Pertanyaan :

Orang yang membuka hotel dengan modal senilai satu kilo­gram emas, bertujuan agar dari uang hasil sewa hotel dapat dipergunakan untuk mencukupi keperluan hidup pengusaha hotel. Rata-rata setiap bulan menghasilkan uang sewa senilai empat puluh gram emas, dan setiap bulannya uang sewa ini selalu habis untuk keperluan hidup dan biaya pemeliharaan/perbaikan hotel. Karena demikian, maka pada akhir tahun hanya tersisa uang sewa senilai lima puluh gram emas. Hotel yang selalu diperbaiki dengan uang sewa ini, sekarang menjadi bagus dan harga jualnya naik menjadi senilai satu setengah kilogram emas. Usaha perhotelan dengan cara demikian ini, apakah wajib dizakati pada akhir tahun dan apa alasannya?. Kalau wajib dizakati, berapa harus dibayar; apakah dari hasil sewa saja atau dari/beserta harga hotel. Kalau tidak wajib, dapatkah diberikan contoh usaha perhotelan yang mengandung makna tijarah yang wajib dizakati?.

Jawab :

Tidak wajib dizakati. Contoh usaha perhotelan dan usaha semisal yang wajib dizakati ialah usaha perhotelan yang hasilnya pertahun telah memenuhi persyaratan tijarah.

Keterangan, dari kitab:

1. Kifayah al-Akhyar [1]

وَلَوْ أَجَّرَ الشَّخْصُ مَالَهُ أَوْ نَفْسَهُ وَقَصَدَ بِاْلأُجْرَةِ إِذَا كَانَتْ عَرْضًا لِلتِّجَارَةِ تَصِيْرُ مَالَ تِجَارَةٍ لِأَنَّ اْلإِجَارَةَ مُعَاوَضَةٌ

Seandainya seseorang menyewakan harta atau dirinya dengan maksud ketika memperoleh upah akan dijadikannya barang dagangan, maka upah tersebut menjadi harta dagangan. Sebab akad sewa merupakan mu’awadhah -pertukaran-.

2. Mauhibah Dzi al-Fadhl [2]

(قَوْلُهُ وَالْإِجَارَةُ لِنَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ)

 

أَيْ فَإِذَا أَجَّرَ نَفْسَهُ بِعِوَضٍ بِقَصْدِ التِّجَارَةِ صَارَ ذلِكَ الْعِوَضُ مَالَ التِّجَارَةِ

Pernyataan penulis: “Dan akad sewa untuk diri atau hartanya.” maksudnya maka bila seseorang menyewakan dirinya dalam rangka memperoleh upah untuk digunakan berdagang, maka upah tersebut menjadi harta dagangan.

3. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [3]

وَمَنْ أَجَّرَ نَفْسَهُ أَوْ شَخْصًا آخَرَ بِعَرْضٍ مِنَ الْعُرُوْضِ بِقَصْدِ التِّجَارَةِ صَارَ ذَلِكَ الْعُرُوْضُ مَالَ تِجَارَةٍ فَتَجِبُ الزَّكَاةُ

Dan barang siapa yang menyewakan dirinya (jual jasa) ataupun (mempekerjakan) orang lain dengan memperoleh upah berupa barang  dengan tujuan berdagang, maka barang tersebut menjadi barang dagangan dan wajib zakat.

[1] Abu Bakar bin Muhammad al-Khishni, Kifayah al-Akhyar fi Hill Ghayah al-Ikhtishar, (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.), Juz I, h. 145. Lihat Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Juz III, hlm. 394.

[2]  Mahfud al-Termasi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, (Mesir: al-Amirah al-Syarafiyah, 1326 H) Juz IV, h. 31.

[3]  Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid VI, h. 31.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 367 MASAIL DINIYAH KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA NU Di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap. Pada Tanggal 23 - 26 Rabiul Awwal 1408 H. / 15 - 18 Nopember 1987 M.