Akad Nikah dengan Mahar Muqaddam Sebelum Akad

 
Akad Nikah dengan Mahar Muqaddam Sebelum Akad

Akad Nikah dengan Mahar Muqaddam Sebelum Akad

Pertanyaan :

Sahkah akad nikah dengan mahar muqaddam (terlebih dahulu) sebelum akad?.

Jawab :

Sah, baik akad nikahnya maupun maharnya.  

Keterangan, dari kitab:

1. Bughyah al-Musytarsyidin [1]

(مَسْأَلَةُ ش)

دَفَعَ لِمَخْطُوْبَتِهِ مَالاً ثُمَّ ادَّعَى أَنَّهُ بِقَصْدِ الْمَهْرِ وَأَنْكَرَتْ صُدِّقَتْ هِيَ إِنْ كَانَ الدَّفْعُ قَبْلَ الْعَقْدُ وَإِلاَّ صُدِّقَ هُوَ. اهـ. قُلْتُ وَافَقَهُ فِي التُّحْفَةِ وَقَالَ فِي الْفَتَاوَى وَأَبُوْ مَحْرَمَةَ يُصَدَّقُ الزَّوْجُ مُطْلَقًا وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِمْ صُدِّقَتْ أَنَّهُ لَوْ أَقَامَ الزَّوْجُ بَيِّنَهُ بِقَصْدِهِ الْمَذْكُوْرِ صُدِّقَتْ إِنَّهُ لَوْ أَقَمَ الزَّوْجُ بَيِّنَهُ بِقَصْدِهِ الْمَذْكُوْرِ قُبِلَتْ

(Kasus dari Muhammad bin Abu Bakr al-Asykhar al-Yamani), seorang pria menyerahkan harta kepada wanita pinangannya. Lalu ia mengklaim pemberian itu dengan tujuan sebagai mahar, dan wanita itu mengingkarinya, maka wanita tersebut dibenarkan bila penyerahan itu terjadi sebelum akad nikah. Bila tidak, maka si pria yang dibenarkan. Saya (Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi) berkata: “Dalam kitab al-Tuhfah Ibn Hajar berpendapat sama dengan Syaikh Muhammad bin Abu Bakr.” Dan dalam al-Fatawa beliau berkata: “Dan Abu Makhramah membenarkan si pria secara mutlak.” Dari perkataan mereka: “Wanita tersebut dibenarkan.” diambil kesimpulan, bila si pria bisa mengajukan bukti atas klaimnya tadi, maka bukti itu diterima.  

2. Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain [2]

لَوْ خَطَبَ امْرَأَةً ثُمَّ أَرْسَلَ أَوْ دَفَعَ بِلاَ لَفْظٍ إِلَيْهَا مَالاً قَبْلَ الْعَقْدِ أَيْ وَلَمْ يَقْصِدْ التَّبَرُّعَ ثُمَّ وَقَعَ اْلإِعْرَاضُ مِنْهَا أَوْ مِنْهُ رَجَعَ بِمَا وَصَلَهَا مِنْهُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ مُحَقِّقُوْنَ وَلَوْ أَعْطَاهَا مَالاً فَقَالَتْ هَدِيَّةً وَقَالَ صِدَاقًا صُدِّقَ بِيَمِيْنِهِ

Bila seseorang melamar wanita, kemudian ia mengirim atau memberi sejumlah harta kepadanya sebelum akad nikah tanpa disertai pernyataan apapun, dan ia tidak bermaksud member secara cuma-cuma, kemudian terdapat ketidakmauan menikah dari pihak wanita ataupun pihak lelaki itu, maka si lelaki boleh mengambil lagi pemberiannya, seperti penjelasan sekelompok ulama muhaqqiqun. Seandainya lelaki tersebut memberikan harta, lalu si wanita mengklaimnya sebagai hadiah, sementara si lelaki menyatakannya sebagai mahar, maka si lelaki yang dibenarkan dengan sumpahnya.  

3. Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra [3]

(وَسُئِلَ) عَمَّنْ خَطَبَ امْرَأَةً فَأَجَابُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ شَيْئًا مِنَ الْمَالِ يُسَمَّى الْجِهَازَ هَلْ تَمْلِكُهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْ لاَ بَيِّنُوْا لَنَا ذَلِكَ (فَأَجَابَ) بِأَنَّ الْعِبْرَةَ نِيَّةُ الْخَاطِبِ الدَّافِعِ فَإِنْ دَفَعَ بِنِيَّةِ الْهَدِيَّةِ مَلَكَتْهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْ بِنِيَّةِ حُسْبَانِهِ مِنَ الْمَهْرِ حُسِبَ مِنْهُ. وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ أَوْ بِنِيَّةِ الرُّجُوْعِ بِهِ عَلَيْهَا إِذَا لَمْ يَحْصُلْ زَوَاجٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ لَمْ  تَمْلِكْهُ وَيَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا

  Syaikh Ibn Hajar al-Haitami pernah ditanya, tentang seorang pria yang melamar wanita, lalu keluarga wanita menerimanya, lalu pria itu memberi mereka harta yang disebut jihaz (pengikat). “Apakah wanita yang dipinang itu berhak memilikinya? Mohon jelaskan kepada kami masalah tersebut.”   Lalu beliau menjawab: “Sungguh yang menjadi pedoman adalah niat si pria. Bila ia memberi dengan niat sebagai hadiah, maka wanita pinangannya berhak memilikinya, atau dengan niat sebagai bagian dari mahar, maka dihitung sebagai mahar. Bila bukan dari jenis mahar atau dengan niat memintanya lagi bila tidak berhasil menikah, atau tanpa niat apapun, maka si wanita pinangannya itu tidak bisa memilikinya dan si pria bisa memintanya kembali.  

[1] Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Musytarsyidin, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h. 214.

[2]   Zainuddinal-Malibari, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain pada I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002),  Juz III, h. 355.

[3]  Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, (Mesir: al-Maktabah al-Islamiyah, t. th.), Juz IV, h. 111.    

Referensi Lain : a. Tuhfah al-Muhtaj, Juz VII, h. 378. b. Kanz al-Raghibin/Syarh al-Mahalli, Juz III, h. 254. c. Asna al-Mathalib, Juz III, h.  301. d. Al-Bujairimi ‘ala al-Iqna’, Juz III, h. 392. e. Al-Syarqawi, Juz I, h. 264.  

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 377 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-28 Di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta Pada Tanggal 26 - 29 Rabiul Akhir 1410 H. / 25 - 28 Nopember 1989 M.