Asuransi Menurut Islam

 
Asuransi Menurut Islam

Asuransi Menurut Islam

I. Pengertian Asuransi dan Macam-Macamnya

1. Definisi Asuransi

Menurut KUHP Pasal 246: “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karena sesuatu yang tak tertentu.”  

2. Macam-Macam Asuransi

a. Asuransi kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:

  • Kehilangan nilai pakai atau
  • Kekurangan nilainya atau
  • Kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.

  A. Sifat Asuransi Kerugian

Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.   b. Asuransi jiwa adalah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang termasuk juga perjanjian asuransi kembali uang dengan pengertian catatan dengan perjanjian dimaksud tidak termasuk perjanjian asuransi kecelakaan (yang masuk dalam asuransi kerugian) berdasarkan pasal I. a. Bab I. Staatbload 1941 - 101.  

B. Sifat Asuransi Jiwa (yang mengandung SAVING)

Penanggung akan tetap mengembalikan jumlah uang yang diperjanjikan, kepada tertanggung:

1. Kalau tertanggung meninggal dalam masa berlaku perjanjian, atau,

2. Pada saat berakhirnya jangka waktu perjanjian keperluannya suka rela.   c. Asuransi sosial, ialah asuransi yang memberikan jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, yaitu:

  • Asuransi kecelakaan lalu lintas (Jasa Raharja).
  • Asuransi TASPEN, ASTEK, ASKES, ASABRI.

  C. Sifat Asuransi Sosial

1. Dapat bersifat asuransi kerugian.

2. Dapat bersifat asuransi jiwa.

  II. Hukum Asuransi

1. Asuransi Sosial

Asuransi sosial diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

  1. Asuransi sosial tidak termasuk akad mu’awadhah, tetapi merupakan syirkah ta’awuniyah.
  2. Diselenggarakan oleh Pemerintah. Sehingga kalau ada ruginya ditanggung oleh Pemerintah, dan kalau ada untungnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.

  2. Asuransi Kerugian

Asuransi kerugian diperbolehkan dengan syarat apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

  1. Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi obyek-obyek yang menjadi agunan bank.
  2. Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari, karena terkait oleh ketentuan-ketentuan Pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang diimport dan dieksport.

  3. Asuransi Jiwa

Asuransi jiwa hukumnya haram kecuali apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

  1. Apabila asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan).
  2. Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak tertanggung berniat untuk menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi).
  3. Pihak penanggung berniat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat agama Islam.
  4. Apabila sebelum jatuh tempo yang telah disepakati bersama antara pihak tertanggung dan pihak penanggung seperti yang telah disebutkan dalam polis (surat perjanjian), ternyata pihak penanggung sangat memerlukan (keperluan yang bersifat darurat) uang tabungannya, maka pihak tertanggung dapat mengambil atau menarik kembali sejumlah uang simpanannya dari pihak penanggung dan pihak penanggung berkewajiban menyerahkan sejumlah uang tersebut kepadanya.
  5. Apabila pada suatu ketika pihak tertanggung terpaksa tidak dapat membayar uang premi, maka:
  • Uang premi tersebut menjadi utang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung pada waktu-waktu pembayaran uang premi berikutnya.
  • Hubungan antara pihak tertanggung dan pihak penanggung dinyatakan tidak putus.
  • Uang tabungan milik pihak tertanggung tidak dinyatakan hangus oleh pihak penanggung.
  • Apabila sebelum jatuh tempo pihak tertanggung meninggal dunia, maka ahli warisnya berhak untuk mengambil sejumlah uang simpanannya, sedang pihak penanggung berkewajiban mengembalikan sejumlah uang tersebut.

  4. Para musyawirin

mendukung dan menyetujui berdirinya Asuransi secara Islam.  

5. Sebelum tercapainya cita-cita terwujudnya Asuransi Islam,

hendaknya sistem perasuransian yang ada sekarang ini diperbaiki dengan menghilangkan unsur-unsur yang terlarang, sehingga tidak bertentangan dengan tuntunan ajaran Islam. Untuk itu perlu diatur langkah-langkah seperti yang ada pada komisi bank.

Sumber : Ahkamul Fuqaha no. 397 KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA NAHDLATUL ULAMA Di Bandar Lampung Pada Tanggal 16 - 20 Rajab 1412 H. / 21 - 25 Januari 1992 M.