Hukum Akad TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi)

 
Hukum Akad TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi)

Akad TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi)

Pertanyaan :

Menurut Inpres 9/75 berlaku sistem TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi). Pemilik tanah memperoleh uang tunggu, sedangkan bagi hasil dikeluarkan setelah penetapan rendemen. Tapi, pada kenyataannya proses penetapan rendemen tersebut dilakukan secara sepihak, yakni oleh pemilik pabrik gula, sementara petani sendiri seringkali dirugikan.

  1. Bagaimana hukum akad TRI?.
  2. Sahkah penetapam bagi hasil dengan cara tersebut?.

Jawab :

  1. Hukum akad TRI ada yang fasidah sesuai dengan keputusan Muktamar ke-28, masalah soal nomor 390, di samping itu dalam pelaksanaannya di lapangan terjadi ikrah (pemaksaan) terhadap peserta TRI.

Tetapi juga ada yang tidak fasidah, yaitu petani hutang modal ke bank atau pihak lain, kemudian tebunya digilingkan ke pabrik gula tersebut dengan akad ijarah, menurut kebanyakan Hanabilah dan satu qaul dari Hanafiyah. Namun pendapat tersebut dinyatakan dha’if oleh Ibn Qudamah. Dengan catatan harus ada lembaga yang membantu petani untuk mengontrol penetapan rendement, penimbangan dan lain-lain, guna menghilangkan unsur gharar. 2. Penetapan bagi hasil dengan cara tersebut hukumnya sah sesuai dengan jawaban di atas.

Catatan:

Tentang hukumnya Qardh tafsil seperti dalam Ahkamul Fuqaha.  

PRAKTEK PENYELENGGARAAN TEBU RAKYAT INTENSIFIKASI

Program Penyelenggaraan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) melalui proses :

  1. Langkah pertama adalah membentuk kelompok. Prosesnya beberapa petani yang lokasi tanahnya mendapat giliran untuk ditanami tebu, berkumpul untuk bersepakat membentuk kelompok, yang strukturnya ada Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Ketua kelompok berfungsi untuk mewakili anggota kelompoknya dalam segala urusan yang berkaitan dengan pihak luar.
  2. Langkah berikutnya adalah mengurus izin penanaman kepada instansi yang terkait, yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua kelompok.
  3. Setelah mendapat izin, Ketua kelompok dapat mengajukan kredit pembiayaan tanaman dan biaya hidup, yang telah diatur melalui SK Bupati kepada KUD, yang pembayarannya setelah selesai penebangan.
  4. Hasil gula petani digiling di pabrik gula yang telah ditentukan. Pabrik gula dalam hal ini berfungsi menjual jasa penggilingan kepada petani, yang bagi hasilnya; pabrik gula kurang lebih 38 %, sedang petani kurang lebih 62 % (ada kemungkinan menurut rendemen).
  5. Hasil gula petani yang 98 % dijual kepada DOLOG dengan harga yang ditentukan. Sedang 2 % dapat diambil dalam bentuk natura.
  6. Penjualan gula petani kepada DOLOG diwakili dan dikoordinir oleh KUD, kemudian uang diserahkan kepada masing-masing kelompok (diwakili oleh ketuanya) setelah memenuhi kewajiban kelompok, antara lain membayar hutang, membayar biaya tebang dan lain-lain.

  Keterangan, dari kitab:

1. Al-Anwar li A’mal al-Abrar [1]

وَيُشْتَرَطُ أَنْ لاَ تَكُوْنَ اْلأُجْرَةُ شَيْئًا يَحْصُلُ بِعَمَلِ اْلأَجِيْرِ فَلَوِ اسْتَأْجَرَ السِّلاَّحَ لِيُسْلِمَ الشَّاةَ بِجِلْدِهَا أَوِ الطُّحَّانَ لِيُطْحِنَ الْحِنْطَةَ بِثُلُثِ دَقِيْقِهَا أَوْ بِصَاعٍ مِنْهُ أَوْ بِالنَّخَالَةِ أَوِ الْمُرْضِعَةِ بِجُزْءٍ مِنَ الرَّقِيْقِ الْمُرْتَضِعِ بِعَدَمِ الْحِطَامِ أَوْ قَاطَفَ الثِّمَارَ بِجُزْءٍ مِنْهَا بَعْدَ الْقِطَافِ أَوْ لِيَنْسُجَ الثَّوْبَ بِنِصْفِهِ فَكُلُّ هَذَا فَاسِدٌ وَلِلأَجِيْرِ أُجْرَةُ مِثْلِهِ

Disyaratkan bagi upah itu bukan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh pekerjaan yang dilakukan buruh. Jika seandainya menyewa tukang jagal untuk menguliti kambing dengan upah kulitnya, atau tukang giling roti untuk menggiling gandum dengan upah sepertiga atau satu sha’ (2,751 kg) tepung yang digilingnya, atau wanita tukang menyusui dengan upah sebagian dari budak yang menyusui padanya setelah masa sapih, atau pemetik buah-buahan dengan upah sebagian dari buah yang dipetiknya, atau untuk menenun pakaian dengan upah separuh dari pakaian tersebut, maka semua persewaan itu fasid dan buruh berhak mendapatkan upah standar.  

2. Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil [2]

أَنَّ اْلإِجَارَةَ تَفْسُدُ إِذَا جَعَلَ أُجْرَةَ النُّسَّاجِ جُزْءَ الثَّوْبِ الَّذِيْ يُنْسِجُهُ لِلْجَهْلِ وَكَذَلِكَ جُزْءُ جِلْدٍ أَوْ جُلُوْدٍ لِدَبَّاغٍ، قَالَ فِيْ كِتَاب الْجُعْلُ وَاْلإِجَارَةُ مِنَ الْمُدَوَّنَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ تُؤَاجِرَهُ عَلَى دَبْغِ جُلُوْدٍ أَوْ عَمَلِهَا أَوْ يُنْسِجُ ثَوْبًا عَلَى أَنَّ لَهُ نِصْفَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ إِذَا فَرَغَ لاَ يَدْرِيْ كَيْفَ يَخْرُجُ ذَلِكَ وَلِأَنَّ مَا لاَ يَجُوْزُ أَنْ يُؤَاجِرَ بِهِ اِنْتَهَى. فَهَذَا مَجْهُوْلٌ، وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعَلِّمْهُ بِأَجْرِهِ

Sesungguhnya ijarah itu rusak jika penyuruh menjadikan bagian baju yang ditenunnya itu sebagai upah menenun, karena tidak diketahui (ukurannya). Begitu pula tidak boleh mengupah dengan sebagian kulit dari binatang yang dikulitinya. Pada kitab al-Ju’l wa al-Ijarah dalam kitab al-Mudawnah Imam Malik berkata: “Dan kamu tidak boleh menyewa seseorang untuk menyamak kulit hewan, pekerjaannya, atau menenun pakaian dengan upah separuhnya jika sudah selesai, karena ia tidak mengetahui bagaimana (berapa) hasilnya. Karena yang tidak diperbolehkan adalah menyewanya dengan upah tersebut. Sampai di sini perkataan beliau. Maka ini adalah upah yang tidak diketahui. Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa yang menyewa buruh, maka ia beritahukanlah dia upahnya.”  

3. Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’ [3]

إِذَا اسْتَأْجَرَ رَجُلاً لِيُطْحِنَ لَهُ قَفِيْزًا مِنْ حِنْطَةٍ بِرُبُعِ مِنْ دَقِيْقِهَا أَوْ لِيُعْصِرَ لَهُ قَفِيْزًا مِنْ سِمْسِمٍ بِجُزْءٍ مَعْلُوْمٍ مِنْ دُهْنِهِ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ لِأَنَّ اْلأَجِيْرَ يَنْتَفِعُ بِعَمَلِهِ مِنَ الطَّحْنِ وَالْعَصْرِ فَيَكُوْنُ عَامِلاً لِنَفْسِهِ

وَبَعْضُ مَشَايِخِنَا بِبَلْخٍ جَوَّزَ هَذِهِ اْلإِجَارَةَ وَهُوَ مُحَمَّدٌ بْنُ سَلَمَةَ وَنَصْرٌ بْنُ يَحْيَى ...

Jika seseorang menyewa orang lain untuk menggiling satu qafiz (+27,817 kg) gandum untuk dijadikan roti dengan upah seperempat dari tepungnya, atau untuk memeras satu qafiz simsim dengan upah sebagian dari minyaknya, maka hal ini tidak boleh. Karena si buruh mendapat untung dengan pekerjaannya berupa penggilingan dan pemerasan itu. Berarti ia bekerja untuk dirinya sendiri ... sebagian ulama kita (madzhab Hanafiyah) di kota Balkha, yaitu Muhammad bin Salamah dan Nashr bin Yahya memperbolehkan ijarah semacam ini.  

4. Al-Mughni [4]

الْقِسْمُ الثَّالِثُ إِجَارَتُهَا بِجُزْءِ مُشَاعٍ مِمَّا يَخْرُجُ مِنْهَا كَنِصْفٍ وَثُلُثٍ فَالْمَنْصُوْصُ عَنْ أَحْمَدَ جَوَازُهُ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ اْلأَصْحَابِ وَاخْتَارَ أَبُوْ الْخَطَّابِ أَنَّهَا لاَ تَصِحُّ وَهُوَ قَوْلُ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَهُوَ الصَّحِيْحُ إِنْ شَاءَ اللهُ كَمَا تَقَدَّمَ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ فِيْ النَّهْيِ مِنْ غَيْرِ مُعَارِضٍ لَهَا  لِأَنَّهَا إِجَارَةٌ بِعِوَضٍ مَجْهُوْلٍ فَلَمْ تَصِحَّ كَإِجَارَتِهَا بِثُلُثِ مَا يَخْرُجُ مِنْ أَرْضٍ أُخْرَى، فَأَمَّا نَصُّ أَحْمَدَ فِيْ الْجَوَازِ فَيَتَعَيَّنُ حَمْلُهُ عَلَى الْمُزَارَعَةِ بِلَفْظِ اْلإِجَارَةِ فَيَكُوْنُ حُكْمُهَا حُكْمُ الْمُزَارَعَةِ

Bagian ketiga adalah menyewakan lahan tanah dengan sebagian hasilnya secara menyeluruh yang belum ditentukan, seperti setengah dan sepertiga, maka menurut pendapat al-manshush (yang dijelaskan) dari Imam Ahmad hal ini boleh. Pendapat itu adalah pendapat mayoritas Ashhab Hanabilah. Sementara Abu al-Khaththab memilih bahwa ijarah itu tidak sah. Pendapat itu juga menjadi pendapat Imam Abu Hanifah dan Syafi’i. Pendapat ini merupakan yang shahih insyaallah seperti hadits-hadits tadi yang melarang tanpa ada penentangnya. Sebab, ijarah tersebut adalah ijarah dengan upah yang tidak jelas, maka tidak sah. Seperti menyewakannya dengan upah sepertiga dari hasil tanah yang lain. Adapun pendapat Imam Ahmad yang memperbolehkannya itu, maka harus dipahami untuk kasus muzara’ah (menyerahkan lahan kepada orang yang menanaminya dengan hasil dibagi kedua pihak) dengan lafal ijarah. Karenanya, maka hukumnya adalah hukum muzara’ah.  

Referensi Lain :

  1. Kasyf al-Qina’, Juz III, h. 525.
  2. Al-Mudawwanah al-Kubra, Juz III, h. 390.
  3. Jawahir al-Iklil, Juz II, h. 185.
  4. Al-Hidayah, Juz III, h. 271.
  5. Raudlah al-Thalibin, Juz IV, 251.
  6. Nihayah al-Muhtaj, Juz V, h. 268.

  Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 404 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-29 Di Cipasung Tasikmalaya Pada Tanggal 1 Rajab 1415 H. / 4 Desember 1994 M.  

[1] Yusuf al-Ardabili, al-Anwar li A’mal al-Abrar, (Mesir: Musthafa al-Halabi, t. th.), Jilid I, h. 590.

[2] Ibn Abdurrahman al-Maghribi, Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil, (Beirut: Dar al-Nasyr, 1398 H), Jilid V, h. 390-399.

[3] Mahmud bin Ahmad al-Kasani, Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-Syarai’, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.), Jilid IV, h. 192.

[4]  Abdullah bin Ahmad al-Maqdisi, al-Mughni, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t. th.), Juz V, h. 249.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 404 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-29 Di Cipasung Tasikmalaya Pada Tanggal 1 Rajab 1415 H. / 4 Desember 1994 M.