Hukum Menyelenggarakan Shalat Jumat Tanpa Penduduk Setempat

 
Hukum Menyelenggarakan Shalat Jumat Tanpa Penduduk Setempat
Sumber Gambar: Foto Istimewa (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Dalam Islam setiap hal yang berhubungan dengan aktifitas manusia memiliki konsekuensi hukum yang telah diatur oleh syari'at Islam. Baik atau buruk, boleh atau tidak, halal atau haram, dan sebagainya dalam melaksanakan aktifitas terutama dalam hal ibadah, Islam telah mengaturnya secara detail dan jelas untuk manusia.

Salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim khususnya laki-laki adalah shalat Jum'at. Shalat Jum'at adalah kewajiban bagi setiap muslim yang mukallaf dan hukumnya fardhu 'ain. Salah satu syarat sah shalat Jum'at terutama dalam Madzhab Imam Syafi'i adalah jamaah Jum’at minimal berjumlah empat puluh (40) laki-laki merdeka, baligh dan penduduk asli daerah tersebut sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih Madzhab Syafi'i.

Mengenai salah satu syarat sah shalat Jum'at di atas adalah harus penduduk asli daerah atau tempat dilaksanakannya shalat Jum'at. Namun realita saat ini bahwa di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota lainnya banyak terdapat perguruan tinggi, perkantoran, pertokoan, kawasan industri, dan tempat orang-orang perantau menyambung kehidupan. Di tempat-tempat tersebut sering kita saksikan atau bahkan kita alami sendiri dijadikan tempat untuk menyelenggarakan shalat Jum’at. Jamaah shalat Jum’atnya terdiri dari para pegawai/karyawan atau orang-orang yang tidak tergolong penduduk asli atau berdomisili di tempat tersebut (mustauthin). Kalau pun ada mustauthin jumlahnya sedikit. Bagaimana hukum shalat Jum'at yang dilaksanakan di tempat-tempat tersebut?

Baca Juga: Hukum Mendirikan Shalat Jum’at Kurang dari 40 Orang

Sebelum kita membahas tentang hukumnya, alangkah baiknya kita mengetahui status seseorang yang menempati suatu tempat. Dalam Fiqih terdapat tiga status atau istilah yaitu Musafir, Muqiimin, dan Mustauthin. Karena perbedaan status tersebut akan berhubungan dengan ibadah terutama shalat.

Musafir adalah orang yang sedang bepergian untuk tujuan tertentu (dalm hal kebaikan). Jarak perjalanan yang membuat orang dianggap sebagai musafir adalah sekitar kurang lebih 80 KM dan tidak ada tujuan bermukim lebih dari tiga hari (sebagian ada yang mengatakan tidak lebih dari empat hari). Golongan ini tidak diwajibkan sekaligus tidak bisa mengesahkan shalat Jum’at. Namun sah-sah saja jika ia melakukan shalat jum’at bersama penduduk setempat.
Muqiimin adalah orang yang punya tujuan bermukim lebih dari tiga hari atau empat hari atau bahkan menetap sampai bertahun-tahun, asalkan ada niat akan kembali ke tanah kelahirannya. Contoh yang paling mudah golongan muqiimin adalah anak kos, santri pondok, pekerja rantau, dan juga mahasiswa yang sedang belajar di luar daerah/negeri yang berniat akan kembali ke kampung halamannya. Golongan ini wajib melakukan shalat Jum’at bersama ahli Jum’at, akan tetapi keberadaannya tidak bisa mengesahkan shalat Jum’at, karena keabsahannya mengikut pada ahli Jum’at.
Mustauthin adalah orang yang bertempat tinggal di tanah kelahirannya atau transmigrasi di tempat lain, serta tidak ada niat untuk kembali ke tanah kelahirannya. Golongan ini wajib melakukan shalat Jum’at dan menjadi ahli Jum'at yang mengesahkan shalat Jum’at.

Kembali ke pertanyaan di atas tentang hukum melaksanakan shalat Jum'at tanpa adanya Mustauthin atau Muqiimin, atau meskipun ada jumlahnya hanya seditkit dan tidak memenuhi syarat sah shalat Jum'at menurut Madzhab Syafi'i yaitu 40 orang.

Sebagaimana yang telah diputuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU pada tahun 1997 di Lombok memutuskan bahwa shalat Jum’at tanpa mustauthin dan muqimin atau dengan mustauthin dan muqimin, tetapi tidak memenuhi syarat, hukumnya tafshil (dirinci). Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

Baca Juga: Bolehkah Shalat Jumat di Masjid yang Dibangun di Luar Batas Desanya?

Pertama, Tidak sah menurut mayoritas ulama Syafi’iyyah. Sementara Imam Syafi’i sendiri dalam qaul qadim yang dikuatkan oleh Al-Muzanni memandang sah bila jumlah jamaah itu diikuti mustauthin minimal 4 orang.

Kedua, Imam Abu Hanifah mengesahkan secara mutlak.

Adapaun keputusan tersebut merujuk kepada berbagai kitab sebagai berikut:

1. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi

  لاَ تَنْعَقِدُ الْجُمْعَةُ عِنْدَنَا لِلْعَبِيْدِ وَلاَ الْمُسَافِرِيْنَ وَبِهِ قَالَ الْجُمْهُوْرُ وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ تَنْعَقِدُ (فَرْعٌ)

"Menurut mayoritas ulama, tidak sah shalat Jum’at bagi budak dan musafir, berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang mengesahkannya"

2. Risalah Bulugh Al-Umniyah fi Fatawa Al-Nawazil Al-‘Ashriyah karya Muhammad Ali Al-Maliki

بَلْ قَالَ شَيْخُنَا فِيْ تَقْرِيْرِهِ عَلَى إِعَانَتِهِ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلَيْنِ قَدِيْمَيْنِ فِيْ الْعَدَدِ أَيْضًا أَحَدُهُمَا أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ. حَكَاهُ عَنْهُ صَاحِبُ التَّلْخِيْصِ وَحَكَاهُ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ

"Bahkan guruku, Al-Bakri bin Muhammad Syaththa, dalam catatan atas kitab I’anah al-Thalibinnya berkata: “Sungguh Imam Syafi’i punya dua qaul qadim tentang jumlah jamaah shalat Jum’at pula. Salah satunya adalah minimal empat orang. Pendapat ini dikutip oleh pengarang kitab Al-Talkhish dan dihikayatkan Al-Nawawi dalam Syarh Al-Muhadzdzab."

3. Al-Muhadzdzab yang disusun oleh Abu Ishaq Al-Syairazi

مِنْ شَرْطِ الْعَدَدِ أَنْ يَكُوْنُوْا رِجَالاً أَحْرَارًا مُقِيْمِيْنَ بِالْمَوْضِعِ فَأَمَّا النِّسَاءُ وَالْعَبِيْدُ وَالْمُسَافِرُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ الْجُمْعَةُ لِأَنَّهُ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِمْ الْجُمْعَةُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ كَالصِّبْيَانِ وَهَلْ تَنْعَقِدُ بِمُقِيْمِيْنَ غَيْرَ مُسْتَوْطِنِيْنَ فِيْهِ وَجْهَانِ قَالَ أَبُوْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ لِأَنَّهُ تَلْزَمُهُمْ الْجُمْعَةُ فَانْعَقَدَتْ بِهِمْ كَالْمُسْتَوْطِنِيْنَ

"Di antara syarat jumlah jama'ah tersebut adalah mereka terdiri dari laki-laki, merdeka dan menetap di suatu tempat. Adapun perempuan, budak dan musafir, maka shalat Jum’at tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, karena mereka tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at sehingga shalat itu pun tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, sama seperti anak-anak. Apakah shalat Jum’at itu sah dengan jama'ah terdiri dari para muqimin (penduduk) yang tidak menetap. Dalam hal itu terdapat dua wajh, Abu Ali bin Abi Hurairah berpendapat: “Shalat Jum’at dengan mereka itu sah karena mereka berkewajiban shalat Jum’at, sehingga shalat itu menjadi sah, sama seperti para penduduk tetap.”

4. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Az-Zuhaili

وَأَقَلُّهُمْ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمُحَمَّدٍ فِي اْلأَصَحِّ ثَلاَثَةُ رِجَالٍ سِوَى اْلاِمَامِ، وَلَوْ كَانُوْا مُسَافِرِيْنَ أَوْ مَرْضَى لِأَنَّ أَقَلَّ الْجَمْعِ الصَّحِيْحِ إِنَّمَا هُوَ الثَّلاَثُ

"Dan jumlah minimal jama'ah Jum’at menurut Abu Hanifah dan Muhammad dalam pendapat Al-Ashah adalah tiga orang selain imam, walaupun mereka itu musafir dan orang sakit, karena minimal jumlah jamak yang sahih itu adalah tiga"

Dari keterangan di atas ada beberapa pilihan bagi kita dalam menghadapi situasi seperti itu.

Pertama, mengikuti pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah yang menganggap jum’atan tersebut tidak sah dengan konsekuensi mencari kampung terdekat yang menyelenggarakan shalat Jum’at oleh penduduk setempat.
Kedua, mengikuti pendapat qaul qadim Imam Syafi’i dengan konsekuensi harus ada atau kalau perlu mendatangkan minimal 4 orang penduduk di sekitar untuk ikut shalat Jum’at di perkantoran atau di kampus.
Ketiga, mengikuti pendapat Imam Hanafi dengan konsekuensi mengetahui tata cara yang terkait dengan pelaksanaan shalat Jum’at mulai dari tata cara wudhu sampai dengan shalatnya berikut syarat, rukun serta hal-hal yang membatalkannya menurut Madzhab Hanafi.

Wallahu A'lam


Referensi: Kitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 408