Wakaf dengan Uang Kontan atau Cash

 
Wakaf dengan Uang Kontan atau Cash

Laduni.ID, Jakarta - Wakaf, sebuah praktik filantropi dalam Islam, telah menjadi salah satu instrumen penting dalam memperkuat kesejahteraan sosial dan ekonomi umat. Wakaf dengan menggunakan uang kontan adalah salah satu bentuk wakaf yang semakin populer dan memiliki potensi besar untuk memberikan manfaat yang signifikan kepada masyarakat. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi konsep wakaf dengan uang kontan dan bagaimana praktik ini dapat menjadi sarana untuk mengembangkan keberkahan dan kesejahteraan.

Wakaf adalah konsep dalam Islam yang mengacu pada sumbangan atau amanah atas suatu harta untuk kepentingan umum, seperti pendidikan, kesehatan, dan sosial. Tradisionalnya, wakaf melibatkan pemindahan kepemilikan aset yang dapat berupa tanah, bangunan, atau barang lainnya. Namun, dengan perkembangan zaman, praktik wakaf telah berkembang untuk mencakup berbagai bentuk aset, termasuk uang kontan.

Wakaf dengan uang kontan adalah praktik menyumbangkan sejumlah uang dengan tujuan untuk memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat. Uang yang disumbangkan kemudian diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung proyek-proyek yang sesuai dengan prinsip-prinsip wakaf.

Bagaimana pandangan syariat Islam tentang masalah wakaf dengan uang cash (kontan) termasuk cara pemanfaatannya?.

  • Menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian Hanafiyah), wakaf dengan uang kontan/cash hukumnya tidak sah, karena tidak memenuhi syarat-syarat wakaf. Adapun menurut sebagian Hanafiyah diperbolehkan.
  • Mengenai tata cara pemanfaatannya dengan menjaga dan melestarikan nilainya seperti investasi melalui mudharabah dan semisalnya.  

1. Al-Fatawa al-Hindiyah / al-Fatawa al-‘Alamkariyah [1]


وَأَمَّا وَقْفُ مَا لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ إِلاَّ بِاْلإِتْلاَفِ كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ فَغَيْرُ جَائِزٍ فِيْ قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ. وَالْمُرَادُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيْرُ وَمَا لَيْسَ بِحُلِيٍّ ... وَقِيْلَ فِيْ مَوْضِعٍ تَعَارَفُوا ذَلِكَ يُفْتَى بِالْجَوَازِ. قِيْلَ كَيْفَ: قَالَ الدَّرَاهِمُ تُقْرَضُ لِلْفُقَرَاءِ ثُمَّ يَقْبِضُهَا أو تُدْفَعُ مُضَارَبَةً بِهِ وَيَتَصَدَّقُ بِالرِّبْحِ وَالْحِنْطَةُ تُقْرَضُ لِلْفُقَرَاءِ يَزْرَعُونَ ثُمَّ تُؤْخَذُ مِنْهُمْ وَالثِّيَابُ وَالْأَكْسِيَةُ تُعْطَى لِلْفُقَرَاءِ لِيَلْبَسُوهَا عِنْدَ حَاجَتِهِمْ ثُمَّ تُؤْخَذُ كَذَا في الْفَتَاوَى الْعَتَّابِيَّةِ

Adapun mewakafkan harta yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya semisal emas, perak, makanan dan minuman, maka menurut pendapat mayoritas fuqaha tidak boleh. Yang dimaksud emas dan perak adalah dinar dan dirham, bukan perhiasan. Demikian dalam kitab Fath al-Qadir. Menurut satu pendapat di suatu tempat, para fuqaha mengakui hal itu dan difatwakan boleh. Ditanyakan: “Bagaimana caranya?” Pemilik pendapat itu menjawab: “Dirham-dirham itu dihutangkan kepada para fakir, lalu ia ambil lagi. Atau diberikan dengan diakadi mudharabah dan orang itu menyedekahkan  keuntungannya. Gandum dihutangkan pada para fakir, lalu mereka tanam dan diambil lagi dari mereka. Pakaian dan baju diberikan kepada mereka agar mereka pakai ketika membutuhkan, kemudian diambilnya.” Begitu dalam

2. al-Fatawa al-‘Attabiyah.   Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin [2]


الرُّكْنُ الثَّانِي: الْمَوْقُوْفُ وَهُوَ كُلُّ عَيْنٍ مُعَيَّنَةٍ مَمْلُوْكَةٍ مِلْكًا يَقْبَلُ النَّقْلَ يَحْصُلُ مِنْهَا فَائِدَةٌ أَوْ مَنْفَعَةٌ تُسْتَأْجَرُ لَهَا. اِحْتَرَزْنَا بِالْعَيْنِ عَنِ الْمَنْفَعَةِ وَ عَنِ الْوَقْفِ الْمُلْتَزَمِ فِي الذِّمَّةِ وَبِالْمُعَيَّنَةِ عَنْ وَقْفِ أَحَدِ عَبْدَيْهِ وَبِالْمَمْلُوْكَةِ عَمَّا لاَ يُمْلَكُ وَبِقَبُوْلِ النَّقْلِ عَنْ أُمِّ الْوَلَدِ وَالْمَلاَهِى وَأَرَدْنَا بِالْفَائِدَةِ: الثَّمَرَةَ وَاللَّبَنَ وَنَحْوَهَا وَبِالْمَنْفَعَةِ السُّكْنَى وَاللُّبْسَ وَنَحْوَهُمَا وَقَوْلُنَا تُسْتَأْجَرُ لَهَا احْتِرَازٌ مِنَ الطَّعَامِ وَنَحْوِه

Rukun wakaf kedua adalah barang yang diwakafkan. Yaitu setiap benda tertentu yang dimiliki dengan hak milik yang bisa dipindahkan, punya faidah dan manfaat yang bisa disewakan. Dengan kata عَيْنٍ(benda), kami kecualikan suatu manfaat, dan wakaf yang disanggupi dalam tanggungan. Dengan kata مُعَيَّنَةٍ (tertentu), kami kecualikan wakaf salah satu dai dua budak seseorang. Dengan kata مَمْلُوْكَةٍ (yang dimiliki), kami kecualikan benda yang tidak dimiliki seseorang. Dengan kata يَقْبَلُ النَّقْلَ (yang bisa dipindahkan), kami kecualikan umm al-walad (budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya) dan alat-alat permainan. Sedangkan yang kami maksudkan dengan kata فَائِدَةٌ  (faidah) adalah buah, susu dan semisalnya, dan kata مَنْفَعَةٌ (manfaat) adalah menempati, memakai dan semisalnya. Ungkapan ucapan kami تُسْتَأْجَرُ لَهَا (yang bisa disewakan) tersebut mengecualikan makanan dan semisalnya.  

3. Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin [3]


السَّادِسُةُ فِيْ وَقْفِ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيْرِ وَجْهَانِ كَإِجَارَتِهِمَا إِنْ جَاوَزْنَاهُمَا صَحَّ الْوَقْفُ لِتُكْرَى وَيَصِحُّ وَقْفُ الْحُلِيِّ لِغَرَضِ اللُّبْسِ. وَحَكَى اْلإِمَامُ أَنَّهُمْ أَلْحَقُوا الدَّرَاهِمَ لِيُصَاغَ مِنْهَا الْحُلِيُّ بَوَقْفِ الْعَبْدِ الصَّغِيْرِ وَتَرَدَّدَ هُوَ فِيْهِ

Masalah keenam, tentang wakaf dirham dan dinar terdapat dua pendapat seperti menyewakan keduanya, jika kita memperbolehkan menyewakanya maka sah wakafnya untuk disewakan, dan sah wakaf perhiasan untuk dipakai. Al-Imam al-Haramain meriwayatkan, para ulama menyamakan dirham yang dibuat perhiasan dengan wakaf budak kecil. Namun beliau sendiri ragu-ragu dalam hal tersebut.  

4. Al-Mughni [4]


مَسْئَلَةٌ قَالَ (وَمَا لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ إِلاَّ بِاْلإِتْلاَفِ مِثْلُ الذَّهَبِ وَالْوَرَقِ وَالْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ فَوَقْفُهُ غَيْرُ جَائِزٍ) وَجُمْلَتُهُ أَنَّ مَا لاَ يُمْكِنُ اْلاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ كَالدَّنَانِيْرِ وَالدَّرَاهِمِ وَالْمَطْعُوْمِ وَالْمَشْرُوْبِ وَالشَّمْعِ وَأَشْبَاهِهِ لاَ يَصِحُّ وَقْفُهُ فِيْ قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ وَأَهْلِ الْعِلْمِ إِلاَّ شَيْئًا يُحْكَى عَنِ مَالِكٍ وَاْلأَوْزَاعِيِّ فِيْ وَقْفِ الطَّعَامِ أَنَّهُ يَجُوْزُ وَلَمْ يَحْكِهِ أَصْحَابُ مَالِكٍ، وَلَيْسَ بِصَحِيْحٍ  لِأَنَّ الْوَقْفَ تَحْبِيْسُ اْلأَصْلِ وَتَسْبِيْلُ الثَّمْرَةِ، وَمَا لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ إِلاَّ بِاْلإِتْلاَفِ لاَ يَصِحُّ فِيْهِ ذَلِكَ وَقِيْلَ فِي الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيْرِ يَصِحُّ وَقْفُهَا عَلَى قَوْلِ مَنْ أَجَازَ إِجَارَتَهَا وَلاَ يَصِحُّ لِأَنَّ تِلْكَ الْمَنْفَعَةَ لَيْسَتْ الْمَقْصُوْدَ الَّذِيْ خُلِقَتْ لَهُ اْلأَثْمَانُ وَلِهَذَا لاَ تُضْمَنُ فِي الْغَصْبِ فَلَمْ يَجُزْ الْوَقْفُ لَهُ كَوَقْفِ الشَّجَرِ عَلَى نَشْرِ الثِّيَابِ وَالْغَنَمِ عَلَى دَوْسِ الطِّيْنِ وَالشَّمْعِ لِيُتَجَمَّلَ بِهِ

Masalah. Abu al-Qasim, yaitu Umar bin al-Husain bin Abdullah al-Khiraqi: “Barang yang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya seperti emas, perak, makanan dan minuman, maka wakafnya tidak boleh.” Termasuk dalam bagian itu adalah barang yang tidak dimungkinkan dimanfaatkan besertaan benda itu masih ada, semisal dinar, dirham, makanan, minuman, lilin dan semisalnya, maka tidak sah mewakafkannya menurut mayoritas fuqaha dan ulama. kecuali satu riwayat dari Imam Malik dan al-Auza’i tentang wakaf makanan, bahwa hal itu hukumnya boleh. Akan tetapi murid-murid Imam Malik tidak meriwayatkannya, dan pendapat itu tidak benar. 

Sebab, wakaf adalah membekukan asal dan membatasi alokasi hasilnya. Sementara itu, barang yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya itu tidak mengandung unsur seperti itu. Menurut satu pendapat, dirham dan dinar itu sah diwakafkan berdasarkan pendapat ulama yang mengesahkan penyewaannya. Dan pendapat itu tidak sah. Sebab, manfaat -yang dimaksud dalam persewaannya- itu tidak menjadi hal pokok yang darinya harga barang itu muncul. Oleh sebab itu, manfaatnya tersebut tidak ditanggung dalam kasus ghasab. Maka tidak boleh mewakafkan barang tersebut, seperti wakaf pohon untuk menjemur pakaian, wakaf kambing untuk menginjak-injak lumpur dan wakaf lilin untuk dijadikan hiasan.

Wakaf dengan uang kontan adalah instrumen yang kuat dalam memperkuat keberkahan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan memanfaatkan dana yang tersedia untuk membangun infrastruktur sosial, mendukung pendidikan, mendorong pemberdayaan ekonomi, dan mengentaskan kemiskinan, wakaf dengan uang kontan memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan positif yang berkelanjutan. Dengan keterlibatan aktif masyarakat, praktik ini dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi tantangan sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh banyak komunitas di seluruh dunia.

[1]  Nizhamuddin al-Balkhi, dkk., al-Fatawa al-Hindiyah/al-Fatawa al-‘Alamkariyah, (Mesir: al-Amiriyah, 1314 H), Juz II, h. 362-363.
[2] Muhyiddin al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.), Jilid VI, h. 378.
[3] Muhyiddin al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.), Jilid VI, h. 380.
[4] Ibn Qudamah, al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), Juz V, h. 382.