Hukum Melegalkan Lokalisasi Pelacuran

 
Hukum Melegalkan Lokalisasi Pelacuran

Melegalkan Lokalisasi Pelacuran

Tuntunan ibadah terkait hukumnya melegalkan lokalisasi sebagai upaya taghyir al-Munkarat atas PSK, penjudi, pemabok, gay dan sebagainya.

A. Pertanyaan

Bagaimana hukumnya melegalkan lokalisasi sebagai upaya taghyir al-Munkarat atas PSK, penjudi, pemabok, gay dan sebagainya ?

B. Jawaban

Hukumnya haram, karena:

  1. Melegalkan lokalisasi tersebut bukan taghyir al-munkarat, bahkan membenarkan, menolong dan melestarikan kemaksiatan.
  2. Upaya taghyir al-munkarat justru dengan cara penutupan tempat-tempat maksiat dan memberikan hukuman kepada para pelakunya.

C. Dasar Pengambilan Hukum Al-Qur’an

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kalian dalam  kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Maidah: 2).   Al-Sunnah

سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ : يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

(رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

“Aku (Abu Sa’id) mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya, lalu jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya, lalu jika tidak mampu, maka dengan  hatinya. Dan itu adalah iman terlemah.” (HR. Muslim)  

Aqwal al-Ulama

1. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1]

 وَلاَ تَقْرَبُوْا الْفَوَاحِشَ  أَيْ الزِّنَا وَالْجَمْعُ إِمَّا لِلْمُبَالَغَةِ أَوْ بِاعْتِبَارِ تَعَدُّدِ مَنْ يَصْدُرُ عَنْهُ أَوْ لِلْقَصْدِ إِلَى النَّهْيِ عَنِ اْلأَنْوَاعِ وَلِذَا أَبْدَلَ مِنْهَا قَوْلُهُ سُبْحَانَهُ  مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ  أَيْ مَا يُفْعَلُ مِنْهَا عَلاَنِيَةً فِي الْحَوَانِيْتِ كَمَا هُوَ دَأْبُ أَرَاذِلِهِمْ وَمَا يُفْعَلُ سِرًّا بِاتِّخَاذِ اْلأَخْذَانِ كَمَا هُوَ عَادَةُ أَشْرَافِهِمْ، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالضَّحَّاكِ وَالسُّدِّيِّ وَقِيْلَ الْمُرَادُ بِهَا الْمَعَاصِي كُلُّهَا

“Janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji.”, maksudnya zina. Sedangkan pemakaian kata jama’ bisa saja untuk mengungkapkan betapa kejinya perbuatan itu, atau karena begitu banyak orang yang melakukannya, atau untuk mencegah berbagai macamnya. Oleh sebab itu maka dibuat badal darinya Firman Allah: “Baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.”, yakni yang dilakukan secara terang-terangan di warung-warung sebagaimana menjadi ciri orang-orang yang bejat moralnya, ataupun dilakukan secara tersembunyi dengan menjadikannya sebagai teman, seperti kebiasaan kaum terhormat. Tafsir tersebut diriwayatkan dari Ibn Abbas, al-Dhahhaq, al-Suddi. Pendapat lain menyatakan, yang dimaksud adalah semua maksiat.  

2. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam [2]

يَخْتَلِفُ وَزْنُ وَسَائِلِ الْمُخَالَفَاتِ بِاخْتِلاَفِ رَذَائِلِ الْمَقَاصِدِ وَمَفَاسِدِهَا، فَالْوَسِيْلَةُ إِلَى أَرْذَلِ الْمَقَاصِدِ أَرْذَلُ مِنْ سَائِرِ الْوَسَائِلِ. فَالتَّوَسُّلُ إِلَى الْجَهْلِ بِذَاتِ اللهِ وَصِفَاتِهِ أَرْذَلُ مِنَ التَّوَسُّلِ إِلَى الْجَهْلِ لِأَحْكَامِهِ. وَالتَّوَسُّلُ إِلَى الْقَتْلِ أَرْذَلُ مِنَ التَّوَسُّلِ إِلَى الزِّنَا. وَالتَّوَسُّلُ إِلَى الزِّنَا أَقْبَحُ مِنَ التَّوَسُّلِ إِلَى اْلأَكْلِ بِالْبَاطِلِ، وَاْلإِعَانَةُ إِلَى الْقَتْلِ بِاْلإِمْسَاكِ أَقْبَحُ مِنَ الدِّلاَلَةِ عَلَيْهِ ... وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الْوَسِيْلَةُ فِي اْلآدَاءِ إِلَى الْمَفْسَدَةِ كَانَ إِثْمُهَا أَعْظَمُ مِنْ إِثْمِ مَا نَقَصَ عَنْهَا

Bobot beberapa wasilah (perantara) tindakan yang bertentangan dengan syari’ah itu berbeda-beda sebab perbedaaan kehinaan tujuan dan bahayanya. Maka perantara tujuan yang paling hina merupakan perantara paling hina dari pada perantara-perantara lainnya. Oleh sebab itu, perantara ketidaktahuan tentang dzat dan sifat Allah lebih hina dari pada perantara ketidaktahuan tentang hukum-hukumNya. Perantara pembunuhan lebih hina dari pada perantara perzinaan. Perantara perzinaan lebih hina dari pada perantara makan dengan jalan yang tidak benar. Menolong pembunuhan dengan mencegah makan dan minum lebih jahat dari pada menunjukkan pembunuhan … Dan semakin kuat suatu perantara dalam mengantarkan pada suatu bahaya, maka dosanya lebih besar dari pada dosa pengantar bahaya yang lebih rendah darinya.  

3. Al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami [3]

وَالتَّغْيِيْرُ لاَ يَكُوْنُ إِلاَّ فِي الْمَعَاصِي الَّتِيْ تَقْبَلُ بِطَبِيْعَتِهَا التَّفْسِيْرَ الْمَادِّى. أَمَّا مَعَاصِي اللِّسَانِ وَالْقَلْبِ فَلَيْسَ فِي اْلإِسْتِطَاعَةِ تَغْيِيْرُهَا مَادِّيًا، وَكَذَلِكَ كُلُّ مَعْصِيَّةٍ تَقْتَصِرُ عَلَى نَفْسِ العَاصِي وَجَوَارِحِهِ الْبَاطِنَةِ

Dan usaha mengubah kemaksiatan hanya bisa dilakukan pada maksiat yang secara alamiah bisa ditafsirkan secara fisik. Adapun perbuatan maksiat lisan dan hati maka secara fisik tidak mampu diubah. Begitu pula setiap maksiat yang hanya ada di diri dan batin dan hati pelaku maksiat.  

4. Ahkam al-Sulthaniyah [4]

 (فَصْلٌ)

وَأَمَّا الْمُعَامَلاَتُ الْمُنْكَرَةُ كَالزِّنَا وَالْبُيُوْعِ الْفَاسِدَةِ وَمَا مَنَعَ الشَّرْعُ مِنْهُ مَعَ تَرَاضِي الْمُتَعَاقِدَيْنِ بِهِ إِذَا كَانَ مُتَّفَقًا عَلَى حَظَرِهِ فَعَلَى وَالِي الْحِسْبَةِ إِنْكَارُهُ وَالْمَنْعُ مِنْهُ وَالزَّجْرُ عَلَيْهِ.  وَأَمْرُهُ فِي التَّأْدِيْبِ مُخْتَلِفٌ بِحَسَبِ اْلأَحْوَالِ وَشِدَّةِ الْحَظَرِ

Adapun perbuatan-perbuatan munkar seperti zina, berbagai jual beli yang rusak, dan yang dilarang syari’ah disertai persetujuan dua pelakunya, jika perbuatan itu menurut kesepakatan ulama adalah haram, maka wali al-hisbah (pihak berwajib) harus mengingkari dan melarangnya. Kebijakan hukumannya berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan tingkat bahayanya.  

5. Ihya ‘Ulum al-Din [5]

الرُّكْنُ الرَّابِعُ نَفْسُ اْلاِحْتِسَابِ، وَلَهُ دَرَجَاتٌ وَآدَابٌ، أَمَّا الدَّرَجَاتُ فَأَوَّلُهَا التَّعَرُّفُ، ثُمَّ التَّعْرِيْفُ، ثَمَّ النَّهْيُ، ثُمَّ الْوَعْظُ وَالنُّصْحُ، ثُمَّ السَّبُّ وَالتَّعْنِيْفُ، ثُمَّ التَّغْيِيْرُ بِالْيَدِ، ثُمَّ التَّهْدِيْدُ بِالضَّرْبِ، ثُمَّ إِيْقَاعُ الضَّرْبِ وَتَحْقِيْقُهُ، ثُمَّ شَهْرُ السِّلاَحِ، ثُمَّ الاِسْتِظْهَارُ فِيْهِ بِاْلأَعْوَانِ وَجَمْعِ الْجُنُوْدِ

Rukun (hisbah/amr al-ma’ruf nahi al-Munkar) yang keempat adalah proses hisbah itu sendiri. Proses hisbah memiliki beberapa tingkatan dan etika. Pertama mencari kemunkaran, lalu memberitahukannya (pada pelakunya), mencegah, memberikan wejangan dan nasehat, mencerca dan berkata dengan kasar, merubahnya dengan kekuatan, mengancam dengan pukulan, membuktikan ancamannya dan benar-benar memukul, menghunus senjata, kemudian berupaya meraih kesuksesan dalam hisbah dengan meminta bantuan pertolongan dan bala tentara.  

                                                                   Ditetapkan di : Boyolali – Solo Pada tanggal  : 18 Syawal 1426 H / 1 Desember 2004 M  

PIMPINAN SIDANG PLENO

KOMISI BAHTSUL MASAIL DINIYYAH WAQI’IYYAH

 

ttd                                                                                    ttd

   

Dr. Muh Masyhuri Na’im, MA                                              KH. Abd. Aziz Masyhuri

Ketua                                                                                    Ketua

   

ttd                                                                                   ttd

KH. Prof. Dr. Said Aqil Al-Munawwar                                          KH. Arwani Faishal

 Ketua                                                                             Sekretaris

 

Tim Perumus

Ketua, merangkap anggota Dr. Muh. Masyhuri Na’im, MA                     (PBNU) Ketua, merangkap anggota Abd. Aziz Masyhuri                                   (PBNU) Sekretaris, merangkap anggota Arwani Faishal                                          (PBNU) Wk. Sekretaris, merangkap anggota KH. Romadlon Chotib                               (PWNU JATIM)   Anggota

  1. KH. A. Aminuddin Ibrahim, LML            (PWNU BANTEN)
  2. KH. Ahmad Yasin Asmuni                     (PWNU JATIM)
  3. KH. Farihin Muhson                              (PWNU JATIM)
  4. KH. Asep Burhanuddin                          (PWNU JABAR)
  5. KH. Ahmad Ishomuddin, MA                 (PWNU LAMPUNG)
  6. KH. Soni Goloman Nasution                  (PWNU SUMSEL)
  7. KH. Drs. H.M. Shoim Faishol, MA           (PWNU NTB)
  8. KH. Prof. Dr. H. Sa’id Mahmud, Lc, MA.  (PWNU SULSEL)
  9. Maimun Murdi, Lc.                                (PWNU DIY)

[1] Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994),  Jilid V, h. 80-81.  

[2] Izzuddin Ibn Abdissalam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Kairo: Dar al-Syarq, 1968), Jilid I, h. 126-127.  

[3] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), Jilid I, h. 506.

[4] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1966), h. 253.

[5] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1939), Jilid II, h. 324.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 438 HASIL KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-XXXI Di Asrama Haji Donohudan Boyolali Solo – Jawa Tengah 29 Nopember – 01 Desember 2004 M 16 – 18 Syawal 1425 H Tentang: MASAIL Al-DINIYYAH AL-WAQI’IYYAH