Diskusi Islam Nusantara 1: Sebuah Pengantar

 
Diskusi Islam Nusantara 1: Sebuah Pengantar

Oleh: M.Hasanie Mubarok

Alumni Ponpes al-Jihad Pontianak

Saya tidak tahu pasti kenapa perbincangan Islam Nusantara ini kembali mengemuka beberapa hari terakhir. Kasus permintaan maaf yang disampaikan oleh penceramah wanita kondang Mamah Dedeh beberapa waktu lalu serta beberapa diskusi panjang di media tentang Islam Nusantara menjadi asbabul wurud dari tulisan ini. Bukan hendak menjernihkan diskusi lawas yang ditengarai oleh tema Muktamar NU ke-33 di Jombang beberapa tahun lalu. Tapi lebih kepada pembukaan ruang diskusi demi lahirnya kilas pemikiran yang lebih serius tentang Islam Nusantara ke depannya.

Sebelum terlalu jauh, penulis memposisikan Islam Nusantara sebagai sebuah aktifitas ilmiah yang tidak perlu dibicarakan oleh orang-orang yang tidak konsentrasi mengkaji beberapa disiplin keilmuan seperti filsafat Islam dan Ushul Fiqh secara formal atau non-formal. Hemat penulis, Islam Nusantara adalah sebuah perbincangan tentang nalar (al-Aql) berislam yang sejauh ini dihayati dan dijalankan dengan penuh semangat oleh mayoritas penduduk muslim di Indonesia (Nusantara).

Perbincangan tentang nalar (al-Aql) tidak bisa diperbincangan secara serampangan kecuali oleh mereka yang sudah memiliki pengetahun mendasar tentang epistemologi (cabang filsafat) Islam. Di sini tentu kita akan berbicara bagaimana proses pengetahuan di produksi oleh ulama-ulama Islam dari barat sampai timur selama ribuan tahun. Maka, sekadar rekomendasi, bagi siapapun yang ingin mempelajari bagaimana nalar Islam terbentuk dan sistem pengoperasiannya sampai hari ini, ada baiknya jika kita membaca buku-buku Abid al-Jabiri.

Nama yang disebut di atas adalah seorang pemikir Islam asal Maroko (Maghrib) yang konsen membicarakan nalar Islam (Arab). Buku-bukunya membicarakan bagaimana seharusnya studi Islam memperoleh signifikansi dalam universalitas pemikiran yang terus berkembang. Seperti sebuah bukunya yang sangat masyhur berjudul “Nahnu wa at-Turots”, dalam buku ini Jabiri membincang dan menyoal beberapa metode qiro’ah (studi) yang membentuk langit-langit pemikiran Islam serta melahirkan beberapa celah yang secara metodologis dianggap jumud (turotsi). Problem ini –menurut al-Jabiri- lahir oleh kaburnya persilangan dialektis antara objektifitas (maqru’) dan subjektifitas (Qori’) dalam membaca turots. Problem inilah yang menghantar kepada kegagalan bagi pra-syarat kebangkitan tradisi Islam dan merembet ke sektor-sektor yang lain.

Kenapa nalar (al-Aql) yang musti dijadikan topik penting dalam membicarakan Islam Nusantara? Apa sebenarnya yang disebut al-Aql atau nalar dalam studi Islam Nusantara? Di sini penulis tidak berjanji untuk memberikan penjelasan yang panjang, hanya sekilas definisi al-Aqlyang dimaksud dalam studi Islam Nusantara.

“Secara singkat, al-Aql (nalar) yang dimaksud di sini adalah seperangkat aturan berfikir untuk memperoleh dan mengoperasikan pengetahuan (episteme) yang secara tidak sadar menentukan cara berfikir seseorang atau kelompok.” Itu definisi aql yang disebutkan al-Jabiri dalam salah satu bukunya yang berjudul Takwin Aql al-Arabi (Formasi Nalar Arab).

Dalam hal di mana Islam Nusantara didiskusikan, maka nalar (al-Aql) adalah sebuah instrumen berpikir yang digunakan oleh para pemikir Islam di Nusantara (meliputi Wali Songo dan ulama-ulama setelahnya) guna mempertahankan dan membumikan nilai-nilai Islam agar senantiasa selaras dengan kebutuhan masyarakat. Dalam skala yang lebih besar, nalar Islam Nusantara adalah sistem memproduksi dan mengelola keilmuan Islam yang dalam hal ini direpresentasikan oleh pesantren-pesantren sebagai pemangku utama keilmuan Islam dari dulu sampai sekarang. Maka, boleh kita katakan, Islam Nusantara adalah keislaman yang dihayati dan dipraktikkan secara terus menerus oleh para santri di Indonesia dari masa ke masa, yang mana penghayatan dan praktik itu adalah buah dari kerja nalar (al-Aql) yang selama ini bekerja dalam ruang epsitemik.

Studi dan pemahaman Islam Nusantara selayaknya berangkat dan diarahkan kepada nalar pesantren itu secara langsung. Bagaimana proses terbentuknya nalar pesantren? Bagaimana nalar pesantren bekerja dan melahirkan pengetahun keislaman yang sampai hari ini dijiwai oleh masyarakat Indonesia (khususnya Nahdliyyin)? Ini sebagian dari pertanyaan fundamental yang layak dijadikan bahan diskusi awal untuk mendedah Islam Nusantara.

Diskusi seputar Islam Nusantara menjadi tidak bermakna apapun kalau tidak dipijakkan pada basis tradisi intelektual yang berkembang di Indonesia sejak dahulu sampai hari ini. Mulai dari sisi sejarah, butir pemikiran sampai pada prihal keterpautan antar ulama yang ada di Nusantara dan yang ada di Timur Tengah. Semuanya dibingkai dalam satu metode pembacaan kritis, radikal dan komprehensif sampai kita temukan bagaimana nalar (al-Aql) Ulama Nusantara terbentuk dan melahirkan seperangkat tradisi intelektual yang sampai hari ini masih terus tersemai di tanah-tanah pesantren di Indonesia.

Dari sini jelas, bahwa Islam Nusantara adalah sebuah proses mengkaji dan berinteraksi secara konstan dengan khazanah keislaman yang mewujud dalam kekayaan intelektual berupa kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang selama ini masih terus dibaca dengan penuh minat di pesantren-pesantren. Selain yang berbentuk kitab kuning, warisan tradisi Islam di Nusantara yang kaya akan nuansa lokalitasnya juga menjadi bahan kajian yang sangat penting. Semua warisan-warisan itu menyatu dalam sebuah term, yakni turots (warisan).

Bagaimana membaca dan berinteraksi dengan turots? Bagaimana skema dan perangkat metodologi yang layak digunakan agar turots tak sekadar menjadi fosil sejarah? Bagaimana memposisikan turost agar ia hidup (otentitas/asholah)) bersama kekinian (kontekstual/mu’shoroh)) kita? Bagaimanakah cara mewujudkan satu visi besar “al-Muhafadzoh ala al-Qodimisshalih, wal akhdzu bil jadid al-Ashlah?

Itulah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang masuk daftar dari alasan mengapa Islam Nusantara perlu terus digelorakan. Selain agar masyarakat (khususnya umat Islam) di Indonesia tidak tercerabut dari akar tradisinya (turost) seiring perubahan zaman yang terus bergulir, juga bertujuan agar tradisi tidak sekadar menjadi fosil yang hanya ditonton, tetapi dia hidup dan aktif menyertai setiap perubahan yang dikreasikan oleh kita. Atau dalam bahasa al-Jabiri dalam kitabNahnu wat Turots“Sholihan li an ya’isya ma’ana ba’dla masyaghilina ar-Rahinah” (tradisi yang hidup bersama kita dan menghayati problem-problem kita).

Dengan demikian, maka jelas sudah Islam Nusantara bukanlah sebuah aliran pemikiran yang bertujuan untuk membuat model baru keislaman yang ada dan hidup di Indonesia. Islam Nusantara adalah terminologi yang bertujuan menggalang perspektif kenusantaraan dalam membaca warisan-warisan intelektual dan tradisi keislaman yang diwariskan oleh ulama-ulama -baik dalam atau luar negeri- yang sampai detik ini telah membentuk kultur intelektual pesantren.

Sebagaimana penulis singgung di muka, bahwa Islam Nusantara selayaknya tidak diperbincangkan atau bahkan ditanggapi dengan penuh buruk sangka, karena dia aktifitas mengkaji, bukan mengaji. Jika seorang bertanya, apakah Islam Nusantara itu? Maka kita hanya perlu mengarahkan telunjuk ke mana arah pesantren bisa dituju. Di pesantren lah pusat kajiannya.!