Memahami Perbedaan Pendapat Ulama adalah Rahmat

 
Memahami Perbedaan Pendapat Ulama adalah Rahmat
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sebagian dari kita cenderung reaktif jikalau mendengar ada fatwa yang terkesan aneh dan kontroversial. Bahkan tanpa ilmu yang memadai mereka langsung mencerca dan mencemooh ulama yang mengeluarkan "fatwa kontroversial". Mereka tidak bisa menerima perbedaan fatwa, apalagi fatwa yang terdengar aneh.

Sebenarnya selama fatwa tersebut berdasarkan kaidah keilmuan, maka hal itu seharusnya tidak ada yang aneh. Kontroversi itu hal biasa. Pendapat jumhur atau mayoritas ulama belum tentu benar, dan pendapat yang berbeda belum tentu salah. Sepanjang sejarah pemikiran Islam, para ulama biasa berbeda pendapat.

Pada satu kasus, ulama A berbeda dengan jumhur ulama. Pada kasus lain, justru ulama A yang membela pendapat jumhur. Inilah indahnya keragaman pendapat, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Mausu'ah Al-fiqh Al-Islami wa Al-Qadlaya Al-Mu'ashirah.

Perbedaan pendapat, jikalau dipahami dengan proporsional, maka tentu akan membawa rahmat. Umat Islam secara umum tinggal memilih satu pendapat yang lebih cocok, lebih sesuai dan lebih maslahat serta lebih mudah dijalankan, di antara sekian banyak pendapat.

Rasulullah SAW pun jikalau dihadapkan pada dua perkara, beliau akan memilih perkara yang lebih mudah. Karena semua pendapat mazhab itu memiliki dasar dan dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah, maka pertanyaannya bukan lagi pendapat mana yang benar, tapi pendapat mana yang lebih cocok kita terapkan untuk kondisi yang dihadapi.

Kalau soal kontroversi, ulama mana yang tidak dianggap kontroversial? Semua ulama pada masanya pernah dianggap fatwanya aneh dan kontroversial. Misalnya, Imam Syafi'i berbeda pandangan dengan mayoritas ulama ketika mengatakan anak hasil zina boleh dikawini oleh "bapak"nya. Ini pendapat yang membuat heboh saat itu. Atau bagaimana Imam Malik berpandangan bahwa anjing itu suci, dan tidak najis. Ini berbeda dengan pandangan jumhur ulama. Atau ada pendapat lain yang terkesan sepele tapi terdengar aneh. Kalau Anda berbohong saat berpuasa, apakah puasa anda batal? Menurut Imam Dawud Ad-Dhahiri, puasa anda batal. Sedangkan menurut jumhur ulama, tidak batal. Apakah saat Anda tersenyum ketika sedang shalat, shalat Anda batal? Iya, batal, menurut Imam Abu Hanifah, dan tidak batal menurut jumhur ulama. Apakah kalau Anda makan daging unta, wudhu Anda batal? Iya, batal, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tapi tidak batal menurut jumhur ulama. Apakah kalau Anda minum nabidz (selain dari perasan anggur) dan tidak mabuk itu hukumnya halal? Iya, nabidz itu halal pada kadar tidak memabukkan menurut Imam Abu Hanifah, tapi dinyatakan haram oleh jumhur ulama, baik mabuk atau tidak. Apakah yang haram itu hanya daging babi saja atau semuanya termasuk lemak dan tulangnya? Jumhur bilang semuanya dari babi itu haram, tapi Imam Dawud Ad-Dhahiri bilang hanya daging (lahm) nya saja yang haram. Silakan dibuka lebih lanjut referensinya mengenai perbedaan itu dalam perbandingan mazhab.

Contoh-contoh di atas bisa terus berlanjut, dan semua ulama mazhab pernah berbeda dengan jumhur ulama. Dengan kata lain, pendapat mereka dalam kasus-kasus tertentu dianggap aneh dan kontroversial. Namun bukan berarti mereka pantas untuk kita cerca atau cemooh. Sesuai Hadis Nabi, jikalau mereka salah dalam berijtihad, mereka mendapat pahala satu. Dan jikalau ijtihad mereka benar, maka mereka mendapat pahala dua. Apapun hasil ijtihad mereka, mereka tetap mendapat pahala. Dan kita yang tidak pernah berijtihad, dan hobinya cuma mencerca ulama, bukannya dapat pahala, jangan-jangan malah dapat dosa. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 21 Juli 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Penulis: Prof. Nadirsyah Hosen

Editor: Hakim