Belajar Produktivitas Menulis Dari Mursyid Thariqah K.H. M. Hanif Muslih, Lc. (Part 1)

 
Belajar Produktivitas Menulis Dari Mursyid Thariqah K.H. M. Hanif Muslih, Lc. (Part 1)

Berawal dari perdebatan dengan kawannya, ulama yang satu ini mulai menulis buku unik, yang menjadikan rujukan lawannya sebagai bahan “memukul” balik.

Buah selalu jatuh tak jauh dari pohonnya, begitulah peribahasa yang tepat disematkan kepada kiai yang satu ini. Mewarisi tradisi ayah, paman dan kakaknya, ia adalah mursyid salah satu thariqah besar. Ia juga mewarisi keterampilan dan kegemaran ayahnya menulis risalah-risalah agama yang kemudian dibukukan.

Karya-karyanya menyoroti topik-topik yang menjadi perdebatan dalam umat Islam, seperti tahlilan, tarawih, ziarah kubur dan sebagainya. Uniknya, dalam membela masalah-maalah “kontroversial” tersebut ia mengedepankan sumber-sumber yang selama ini sering dijadikan rujukan oleh kalangan yang menentangnya.

Menurutnya, kalangan yang anti terhadap ritual kaum nahdliyyin selama ini bertindak tidak adil, karena dalam mengutip pendapat para ulama salaf hanya mengambil bagian-bagian yang menguntungkannya saja. Sedangkan keterangan pendapat berikutnya yang lebih luas justru diabaikan karena menolerir pendapat yang dijadikan rujukan oleh kaum nahdliyyin.

Sukses dengan enam buku pertamanya, saat ini ia tengah menyelesaikan penulisan buku tentang tawassul. Tentu dengan mengedepankan sumber-sumber dari ulama yang sebelumnya dicap anti tawassul.

Cukup menarik sekali apa yang dilakukan oleh sanga kiai di sela-sela kesibukannya mengasuh sebuah pesantren besar, membimbing murid-murid thariqahnya dan menjadi anggota legislatif di propinsinya. Siapakah ulama yang kreatif tersebut?

Dialah K.H. Muhammad Hanif Muslih, Lc., pengasuh Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, jawa Tengah, yang juga mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.

Diwawancarai alKisah di rumahnya yang terletak di tengah kompleks Pesantren Futuhiyyah, kiai yang nada bicaranya lembut ini bertutur panjang lebar tentang latar belakang penulisan buku-bukunya, kiprah keulamaannya serta sekelumit perjalanan hidupnya.

Penulisan buku pertamanya yang mengangkat topik tahilan, kenang Kiai Hanif, berawal dari kunjungan seorang tamu yang tidak lain adalah kawannya semasa mengaji di Pesantren Futuhiyyah. Sang tamu yang juga pernah menjadi menantu pamannya itu bertanya, “Di Arab Saudi ada tahlilan atau tidak?”

Kiai Hanif yang alumnus Universitas Madinah itu terkejut dan mencoba membaca tujuan pertanyaan tersebut. “Sebenarnya sampeyan menanyakan tentang tahlilan, seperti yang lazim di negeri kita ini, atau tentang sampainya hadiah pahala mayyit?,” sang tuan rumah bertanya balik.

Perdebatan Tertulis

Akhirnya sang tamu mengaku, bahwa inti pertanyaannya adalah yang kedua, tentang sampaikah hadiah pahala untuk orang meninggal. Kiai Hanif pun lalu menjelaskan, bahwa tahlilan dalam arti membaca La ilaha illallah dan menghadiahkan pahalanya kepada orang meninggal juga diamalkan oleh sebagian besar golongan di Saudi.

Mendengar jawaban itu sanga tamu pun membantah dan terjadilah perdebatan sengit hingga larut malam. Belum puas dan tuntas, perdebatan berlanjut hingga beberapa malam berikutnya.
Pendengaran sang tamu yang sudah agak terganggu membuat Kiai Hanif harus bersuara keras dalam menjelaskan pendapatnya. Giliran Istri Kiai Hanif yang protes, anak mereka yang masih kecil tidak bisa tidur karena terganggu oleh suara keras mereka. Akhirnya kiai Hanif memutuskan untuk menulis penjelasannya secara panjang lebar dalam sepucuk surat.

Melalui surat menyurat, perdebatan pun kembali berlanjut dengan seru, sampai akhirnya sang tamu menyerah, dan menyudahi perdebatan itu. “Sudahlah, Kang. Sekarang kita beramal menurut keyakinan masing-masing. Yang jelas keyakinan saya ini mengacu kepada ulama anu, anu dan anu,” katanya dengan nada merendahkan.

Kiai Hanif tidak terima dengan nama-nama ulama yang dicatut sang teman sebagai narasumbernya. Dengan penasaran ia lalu melacak kitab rujukan sang lawan, memfotokopi pendapat para ulama yang disebut-sebut dan mempelajarinya dengan lebih seksama.

Hasilnya? “Ternyata kebanyakan mereka hanya mengutip ucapan para ulama hanya pada bagian yang mendukung pendapatnya saja. Sementara sisa keterangannya yang mendukung aktivitas tahlil dipotong dan dianggap tidak ada,” kata Kiai Hanif.

Belakangan hasil kajian dan penulusurannya tentang dalil-dalil tahlil dan pendapat para ulama tersebut sering dipinjam rekannya sesama kiai untuk dijadikan bahan rujukan diskusi. Karena kerap berpindah-pindah tangan dan dikhawatiran hilang, akhirnya Kiai Hanif memutuskan untuk mencetaknya dalam bentuk buku. Kebetulan ketika itu Rabithah Ma’ahidil Islamiyyah (RMI), organisasi persatuan pesantren NU, bersedia mencetaknya.

Sukses dengan buku pertama, Kiai Hanif pun mulai ketagihan mengkaji dan menulis tema-tema serupa. Ketika ada orang yang bertanya tentang hukum tarawih dua puluh rakaat, misalnya, ia pun menjawabnya dengan menulis sebuah buku. Tentu dilengkapi dengan kutipan pendapat para ulama yang dianggap menentang praktik tarawih 20 raka’at, yang tanpa potongan di sana-sini.

Sejak itu berturut-turut ia menulis beberapa buku lagi. Dan saat ini ia tengah menyelesaikan buku terahirnya yang mengupas kontroversi seputar masalah tawassul.

Dari pengalamannya menulis, Hanif menyimpulkan, “Kelemahan kita ini adalah karena sering menggampangkan segala urusan. Pokoknya kalau sudah diajarkan dan diamalkan oleh kiainya, dianggap cukup. Tanpa perlu ikut menyusuri dasar hukumnya, atau taqlid buta.”

Ditambah lagi kebanyakan kiai juga nggampangke, tambahnya. Kalau mengutip kitab cukup dengan mengambil pendapat ulamanya, tanpa menukilkan dasar Al-Quran dan haditsnya.

“Makanya dalam forum bahtsul masail saya selalu mengusulkan untuk mencantumkan juga dasar hukum dari Al-Quran dan haditsnya. Biar anak-anak kita nggak mudah tergoda oleh kelompok yang menganggap kita sesat dengan dalih pendapat kita lemah karena hanya berdasarkan keterangan ahli fiqih. Sementara pendapat mereka lebih kuat karena langsung mengambil dari Al-Quran dan hadits. Padahal, kitab fiqih adalah penjabaran dari hukum Al-Quran dan hadits,” kata Kiai Hanif bersemangat.