Belajar Produktivitas Menulis Dari Mursyid Thariqah K.H. M. Hanif Muslih, Lc. (Part 2)

 
Belajar Produktivitas Menulis Dari Mursyid Thariqah K.H. M. Hanif Muslih, Lc. (Part 2)

Dicekoki Paham Wahhabi

Berbincang-bincang dengan Kiai Hanif Muslih memang sangat menyenangkan. Wawasannya yang luas ditopang dengan pengetahuan agamanya yang dalam.

K.H. Muhammad Hanif lahir di Mranggen pada bulan Desember 1955 sebagai anak keempat dari sebelas bersaudara putra pasangan K.H. Muslih Abdurrahman dan Nyai Hj. Marfu’ah. Ayahnya adalah ulama besar pada era 1950an hingga wafatnya pada tahun 1981. Mbah Muslih juga pernah menduduki posisi rais ‘am di Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (Jatman), organisasinya para pengamal thariqah di tanah air.

Meski anak ulama pengasuh pesantren, oleh orang tuanya pendidikan dasar agama Hanif kecil lebih banyak diserahkan kepada para pengajar madrasah di lingkungan pesantrennya. Hanya setiap bulan Ramadhan, Hanif mengikuti pengajian kitab yang diasuh langsung oleh sang ayah di masjid Pesantren Futuhiyyah.

Kelas duduk di kelas tiga Madrasah Aliyah, Hanif diajak kakak iparnya, Kiai Muhammad Ridwan untuk menunaikan ibadah haji, dengan menumpang kapal laut. Tepat ketika usai menuntaskan seluruh rangkaian ibadah haji, Hanif menerima surat dari sang ayah yang memerintahkannya untuk tetap tinggal dan menuntut ilmu di Tanah Suci. Namun karena waktu masa penerimaan murid baru baru saja usai, terpaksa Hanif harus menunggu tahun ajaran baru berikutnya.

Selama hampir setahun itu ia menghabiskan waktu dengan bekerja sebagai sekretaris seorang syaikh yang memiliki usaha pengelolaan haji di siang hari. Di rumah sang syaikh itu pula Hannif tinggal bersama beberapa kawan Indonesianya. Dan malam harinya, usai shlat maghrib, ia mengikuti pengajian Tafsir Ibnu Katsir di Babussalam, Masjidil Haram yang diasuh oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.

Tahun 1976 Hanif mendaftarkan diri di Universitas Madinah dengan ijazah Madrasah Aliyah Futuhiyyah yang dikirimkan ayahnya. Namun sayangnya, almamaternya waktu itu belum mu’adalah (disetarakan) di Saudi. Karena itu ia harus mengulang sekolah lagi selama setahun di kelas tiga Madrasah Aliyyah Madinah. Baru pada tahun berikutnya, 1977, ia bisa masuk Universitas Madinah.

Bersamaan dengan Hanif ada lima alumnus Pesantren Futuhiyyah lain yang diterima di Universitas Madinah. Kebetulan kelimanya juga berasal dari daerah Mranggen. Mereka pun lalu bersepakat akan mengambil jurusan yang berbeda-beda, agar saat kembali ke tanah air nanti akan bersama-sama memperkaya pesantren almamater dengan keilmuan yang beragam.

“Ternyata, setelah pulang ke tanah air, semua teman-teman saya diambil menantu oleh para kiai dari berbagai daerah. Tinggal saya saja yang masih tinggal di Mranggen,” kenang Kiai Hanif sambil terkekeh..

Dalam rembugan itu, Hanif sendiri kebagian tugas mengambil jurusan Bahasa Arab, yang terus digelutinya hingga meraih gelar Lc.

Banyak hal berkesan yang dialami Kiai Hanif ketika belajar di negeri yang dikuasai oleh kelompok Wahhabi. Di antaranya adalah upaya mencekoki mahasiswa dengan paham Wahhabi.
Untungnya, menurut Kiai Hanif, waktu itu masih banyak dosen di Universitas Madinah yang non wahhabi dan berasal dari luar Saudi. “Hanya mata kuliah aqidah saja diampu oleh dosen-dosen asli Saudi yang berpaham Wahhabi, Itu pun mata kuliahnya jarang diminati oleh mahasiswa, karena cara mengajar mereka rata-rata kurang enak,” ungkapnya kemudian.

Pilihan Allah

Kebetulan pengawasan terhadap kegiatan ekstra kampus saat itu juga belum seketat sekarang. “Jaman saya dulu masih ada organisasi KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) yang diantara kegiatannya adalah tahlilan, barzanjen dan manaqiban,” kenangnya. Usai menyelesaikan program S1-nya, Hanif pulang ke tanah air pada bulan Desember 1982 untuk membantu kakaknya, K.H. Luthfi Hakim, mengasuh pesantren Futuhiyyah. Kebetulan setahun sebelumnya, 1981, ayah mereka wafat di Tanah Suci ketika tengah menunaikan umrah Ramadhan.

Tak ingin nantinya pusing mencari pendamping hidup, sebelum pulang ke tanah air Hanif pun berpesan kepada sang kakak untuk mencarikan jodoh baginya. Alhamdulillah, kata Kiai Hanif, proses itu tidak memakan waktu lama. Ketika ia tiba di tanah air seorang calon istri sudah menunggunya. Dan tepat bulan maret 1983 ia pun dinikahkan dengan Fashihah gadis asal kendal yang sedang nyantri di Jombang.

Dari perkawinan tersebut Kiai Hanif dianugerahi empat anak yang mewarisi semangat belajarnya yang menyala-nyala. Dalam mendidik anak, Kiai Hanif mengikuti tradisi keluarganya. Dari tingkat MI sampai MTs harus di Futuhiyyah, setelah baru anak-anaknya disuruh nyantri di pesantren lain.

“Terserah mereka maunya di mana. Kalau ternyata belum ada gambaran, biasanya saya ajak mereka keliling ke pesantren-pesantren sambil melihat-lihat.”

Kiai Hanif mengaku tidak mau memaksakan kehendak kepada anak, apalagi memaksa mereka menjadi ulama. “Menjadi ulama atau tidak itu adalah pilihan Allah. Tugas saya sebagai orang tua hanya membekali anak dengan ilmu dan mengarahkan,” kata Kiai Hanif bersungguh-sungguh.
Sebagai putra ulama besar yang terkenal di Nusantara, banyak kenangan berkesan yang dialami Hanif bersama sang ayah. Hal yang paling berkesan dari ayahnya yang ulama sufi adalah kedisiplinan dan kewira’iannya. Kiai Muslih, menurut Hanif, sangat tidak menyukai gemerlap kehidupan dunia.

“Seumur hidupnya Abah tidak pernah terdengar bernyanyi. Beliau juga tidak mau memiliki televisi, karena takut melenakannya dari Allah SWT,” kenang Kiai Hanif. “Jika belakangan Mbah Muslih menyuruh saya membeli radio, hal itu tidak lain karena setiap bulan Ramadhan beliau ingin mendengarkan adzan maghrib langsung dari Masjid Jami’ Baiturrahman, Semarang, yang selalu direlay oleh RRI.”

Pernah juga suatu ketika Hanif yang sedang menunggu abahnya pulang mengajar di masjid bernyanyi-nyanyi di ruang tamu. Tanpa ia sadari, ayahnya masuk dan terus memandanginya tanpa ekspresi marah. Dengan lembut Mbah Muslih berucap, “Opo kowe wis ora eling mati, Le? (Apa kamu sudah tidak ingat mati, Nak?)”.

Meski dikenal sebagai ulama yang linuwih dan waskita, ayahnya juga tidak pernah mengajarkan ilmu yang macam-macam kepada para santri apalagi keluarga. Ketika terjadi gegeran tahun 1966-1970, misalnya, banyak kiai yang mengijazahkan ilmu hikmah kepada santri-santrinya. Namun tidak dengan Kiai Muslih. Ulama sufi itu hanya menganjurkan santri-santrinya untuk memperbanyak berdoa memohon perlindungan kepada Allah.