Historiografi Idul Adha dan Hikmah yang Terkandung

 
Historiografi Idul Adha dan Hikmah yang Terkandung
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Hari Raya Idul Adha yang diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah juga dikenal dengan sebuatan “Hari Raya Haji”, dimana kaum muslimin yang sedang menunaikan haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah. Mereka semua memakai pakaian serba putih dan tidak berjahit, yang di sebut pakaian ihram, melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup, mempunyai tatanan nilai yaitu nilai persamaan dalam seluruh bidang kehidupan. Tidak dapat dibedakan antara mereka, semuanya merasa sederajat. Sama-sama mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Perkasa, sambil bersama-sama membaca kalimat talbiyah.

Selain dinamakan Hari Raya Haji, Idul Adha juga dinamakan “Idul Qurban”, karena pada hari itu Allah SWT memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi umat muslim yang belum mampu mengerjakan perjalanan haji, maka ia diberi kesempatan untuk berqurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan kecintaan kita kepada Allah SWT.

Jika kita melihat sisi historis dari perayaan Idul Adha ini, maka pikiran kita akan teringat kisah teladan Nabi Ibrahim a.s, yaitu ketika beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk menempatkan istrinya yang bernama Siti Hajar bersama putranya Nabi Ismail a.s, yang saat itu masih menyusu, di suatu lembah yang tandus, gersang, dan tidak pula ditumbuhi sebatang pohon pun. Lembah itu demikian sunyi dan sepi. Tidak ada penghuninya seorangpun.

Nabi Ibrahim a.s. tidak tahu apa maksud sebenarnya dari wahyu Allah SWT yang menyuruh membawa istri dan putranya yang masih bayi itu, di suatu tempat paling asing, di sebelah utara kurang lebih 1600 KM dari tempatnya sendiri yang saat itu berada di Palestina. Tapi baik Nabi Ibrahim a.s. maupin istrinya, Siti Hajar, tetap patuh dan menerima perintah itu dengan ikhlas dan penuh rasa tawakkal.

Karena pentingnya peristiwa tersebut. Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: 

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Artinya: “Ya Tuhan kami sesunggunnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di suatu lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumahmyu (Baitullah) yang dimuliakan. Ya Tuhan kami (sedemikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah tempatnya daya tarik bagi kecenderungan orang-orang kepada mereka dan berikanlah rezeki kepada mereka berupa buah-buahan, agar supaya mereka bersyukur. (QS. Ibrahim: 37).

Seperti yang diceritakan oleh Ibnu Abbas, bahwa tatkala Siti Hajar kehabisan air minum hingga tidak bisa menyusui Nabi Ismail, beliau kebingungan mencari air sambil lari-lari kecil (sa’i) antara bukit Shofa dan Marwa sebanyak 7 kali. Tiba-tiba Allah mengutus Malaikat Jibril membuat mata air Zam Zam. Dari mata air inilah Siti Hajar dan Nabi Ismail lalu memperoleh sumber kehidupan.

Lembah yang dulunya gersang itu, mempunyai persediaan air yang melimpah ruah. Lalu datanglah banyak orang dari berbagai pelosok, terutama para pedagang ke tempat Siti Hajar dan Nabi Ismail, untuk mengambil air. Datang rezeki dari berbagai penjuru, dan makmurlah tempat sekitarnya.

Pada akhirnya lembah itu kemudian terkenal dengan sebutan kota Makkah, sebuah kota yang aman dan makmur, berkat doa Nabi Ibrahim a.s dan berkat kecakapan seorang ibu dalam mengelola kota dan masyarakat.

Kota Makkah yang aman dan makmur dilukiskan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfiman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَداً آمِناً وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, sebagai negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kiamat.” (QS. Al-Baqarah: 126).

Dari ayat tersebut, kita memperoleh bukti yang jelas bahwa kota Makkah hingga saat ini memiliki tingkat kemakmuran yang melimpah. Para jamaah haji dan umroh dari seluruh penjuru dunia memperoleh fasilitas yang cukup selama melakukan ibadah haji maupun umroh.

Hal itu membuktikan tingkat kemakmuran yang mengagumkan. Dan semua itu menjadi dalil, bahwa doa Nabi Ibrahim a.s dikabulkan oleh Allah SWT.

Semua kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh orang Islam saja. Orang-orang yang tidak beragama Islam pun ikut menikmati. Allah SWT berfirman:

قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Artinya: Allah berfirman: “Dan kepada orang kafirpun, aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka. Dan itulah seburuk buruk tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 126).

Idul Adha dinamai juga “Idul Nahr” artinya Hari Raya Penyembelihan. Hal ini untuk memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim. Akibat dari kesabaran dan ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, Allah memberinya sebuah anugerah, sebuah kehormatan “Khalilullah” (kekasih Allah).

Setelah gelar Al-Khalil disandangnya, Malaikat bertanya kepada Allah: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya dan keluarganya?” Allah SWT menjawabnya: “Jangan menilai hambaku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”

Sebagai realisasi dari firmannya ini, Allah SWT mengizinkan pada para malaikat menguji keimanan serta ketakwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya dan tidak membuatnya lalai dalam taatnya kepada Allah.

Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah tergolong kaya raya. Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang; “milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”

Ibnu Katsir di dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman dan takwa Nabi Ibrahim a.s. melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang sangat tampan rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri. Sungguh sangat mengerikan, bukan! Peristiwa spektakuler itu dinyatakan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Artinya: “Ibrahim berkata: Hai anakkku sesungguhnay aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102).

Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, datanglah setan sambil berbisik; “Ibrahim, kamu orang tua macam apa kata orang nanti, anak saja disembelih? Apa kata orang nanti? Apa tidak malu? Tega sekali, anak satu-satunya disembeli! Coba lihat, anaknya lincah seperti itu! Anaknya pintar lagi, enak dipandang, anaknya patuh seperti itu kok dipotong! Tidak punya lagi nanti setelah itu, tidak punya lagi yang seperti itu! Belum tentu nanti ada lagi seperti dia.” Nabi Ibrahim sudah mempunya tekat. Ia mengambil batu lalu mengucapkan; “Bismillahi Allahu akbar.” Batu itu dilempar. Akhirnya seluruh jamaah haji sekarang mengikuti apa yang dulu dilakukan oleh Nabi Ibrahim ini di dalam mengusir setan dengan melempar batu sambil mengatakan, “Bismillahi Allahu akbar”. Dan hal ini kemudian menjadi salah satu rangkaian ibadah haji, yakni melempar jumrah.

Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya. Ismail mengira ayahnya ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tali dan tangannya, agar tidak muncul suatu kesan atau anggapan dalam sejarah bahwa sang anak menurut untuk dibaringkan karena dipaksa ia meminta ayahnya mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.

Nabi Ibrahim a.s. memantapkan niatnya. Nabi Ismail a.s. pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya yang telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya. Allah meridhoi kedua ayah dan anak yang telah memasrahkan tawakkal mereka. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing sebagai qurban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat 107-110:

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

"Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ

“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang kemudian.”

سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ

“Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”

كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

“Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Menyaksikan tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan; “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab; “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang kemudian disambung oleh Nabi Ismail; “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.”

Pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. yang paling besar dalam sejarah umat umat manusia itu membuat Ibrahim menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar, dan mempunyai arti besar. Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail di atas, bagi kita harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang mengandung pembelajaran paling tidak pada tiga hal;

Pertama, ketakwaan. Pengertian takwa terkait dengan ketaatan seorang hamba pada Sang Pecipta dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Koridor agama Islam mengemas kehidupan secara harmoni seperti halnya kehidupan dunia dan akhirat. Bahwa meraih kehidupan baik (hasanah) di akhirat kelak perlu melalui kehidupan di dunia yang merupakan ladang untuk memperbanyak kebajikan dan memohon ridho-Nya agar tercapai kehidupan dunia dan akhirat yang baik. Sehingga kehidupan di dunia tidak terpisah dari upaya meraih kehidupan hasanah di akhirat nanti.

Tingkat ketakwaan seseorang dengan demikian dapat diukur dari kepeduliannya terhadap sesama. Contoh seorang wakil rakyat yang memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi tentu tidak akan memanfaatkan wewenang yang dimiliki untuk memperkaya dirinya sendiri bahkan orang seperti ini akan merasa malu jika kehidupannya lebih mewah dari pada rakyat yang diwakilinya.

Kesiapsediaan Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya atas perintah Allah menandakan tingginya tingkat ketakwaan, sehingga tidak terjerumus dalam kehidupan hedonis sesaat yang sesat. Lalu dengan kuasa Allah ternyata yang disembelih bukan Ismail melainkan domba. Peristiwa ini pun mencerminkan Islam sangat menghargai nyawa dan kehidupan manusia, Islam menjunjung tinggi peradaban manusia.

Kedua, hubungan antar manusia. Ibadah-ibadah umat Islam yang diperintahkan Tuhan senantiasa mengandung dua aspek tak terpisahkan yakni kaitannya dengan hubungan kepada Allah (hablumminnalah) dan hubungan dengan sesama manusia atau hablumminannas.

Ajaran Islam sangat memerhatikan solidaritas sosial dan mengejawantahkan sikap kepekaan sosialnya melalui media ritual tersebut. Saat kita berpuasa tentu merasakan bagaimana susahnya hidup para dhua’afa yang memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari saja sulit.

Lalu dengan menyembelih hewan qurban dan membagikannya kepada kaum tak berpunya itu merupakan salah satu bentuk kepedualian sosial seorang muslim kepada sesamanya yang tidak mampu.

Kehidupan saling tolong menolong dan gotong royong dalam kebaikan merupakan ciri khas ajaran Islam. Hikmah yang dapat dipetik dalam konteks ini adalah seorang Muslim diingatkan untuk siap sedia berkorban demi kebahagiaan orang lain khususnya mereka yang kurang beruntung, waspada atas godaan dunia agar tidak terjerembab ke dalam perilaku tidak terpuji, seperti keserakahan, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada sang Pencipta.

Ketiga, peningkatan kualitas diri. Hikmah ketiga dari ritual keagaamaan ini adalah memperkukuh empati, kesadaran diri, pengendalian dan pengelolaan diri yang merupakan cikal bakal akhlak terpuji seorang Muslim.

Akhlak terpuji dicontohkan Nabi seperti membantu sesama dalam kebaikan, kebajikan, memuliakan tamu, mementingkan orang lain (altruism) dan senantiasa sigap dalam menjalankan segala perintah agama dan menjauhi hal-hal yang dilarang.

Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki akhlak yang agung (QS. Al-Qalam: 4). Dalam Islam kedudukan akhlak sangat penting dan merupakan “buah” dari pohon Islam berakarkan akidah dan berdaun syariah. Segala aktivitas manusia tidak terlepas dari sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku. Akhlak tercela dipastikan berasal dari orang yang bermasalah dalam keimanan dan merupakan manisfestasi dari sifat-sifat setan.

Kemudian dari kisah bersejarah tersebut, maka muncullah kota Makkah dan dibangunnya Kakbah sebagai kiblat umat Islam seluruh dunia, dengan air zam-zam yang tidak pernah kering, sejak ribuan tahun yang silam, sekalipun tiap harinya dikuras berjuta liter, sebagai tonggak sejarah jasa seorang wanita yang paling sabar dan tabah yaitu Siti Hajar dan putranya Nabi Ismail a.s.

Lalu hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan sholat Idul Adha adalah bahwa hakikat manusia adalah sama. Yang membedakan hanyalah takwanya. Sedangkan bagi yang menunaikan ibadah haji, pada waktu wukuf di Arafah memberi gambaran bahwa kelak manusia akan dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk dimintai pertanggung jawaban dalam keadaan yang sama. Tak ada kasta sama sekali. Semua manusia sama belaka. Hanya ketakwaanlah yang membedakan kedudukannya di sisi Allah SWT. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 12 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim