Spirit Islam dalam Wayang Kulit #1: Amanah Wali Sanga pada Seni Wayang

 
Spirit Islam dalam Wayang Kulit #1: Amanah Wali Sanga pada Seni Wayang

Spirit Islam dalam Wayang Kulit #1: Amanah Wali Sanga pada Seni Wayang

 

Dalam penegasan istilah disinggung bahwa simbolisme dalam wayang kulit adalah sebagai hal yang berkaitan erat dengan wayang kulit yang berupa gambar atau tiruan orang dan sebagainya, untuk mengekspresikan suatu lakon dalam pertunjukan yang dihantarkan dengan suatu gamelan.

Tokoh-tokoh dalam wayang kulit merupakan simbol tersendiri karena walaupun tidak sedang dimainkan atau di luar lakon, tokoh tersebut telah memiliki karakter atau makna tersendiri yang tersembunyi lewat pengertian namanya, bentuk lukisan fisiknya, hiasan tubuhnya ataupun kedudukan mereka waktu wayang akan dipentaskan.

Di balik lakon tersirat ajaran-ajaran ataupun nilai-nilai tersendiri. Pesan yang disampaikan pada setiap cerita secara khusus memang berbeda misalnya, lakon Petruk Dadi Ratu membawa pesan yang berbeda dengan lakon Begawan Cipatning. Tokoh-tokoh yang dilibatkan juga jelas berbeda, karena kebutuhan tokoh tersebut memang disesuaikan dengan tuntutan lakon atau cerita yang dipentaskan.

Pada masing-masing babak atau adegan dalam pertunjukan wayang kulit tersebut tersirat makna dalam keseluruhan perjalanan manusia lahir sampai mati secara terperinci di samping keterpaduan dari semua simbol yang ada.

Tokoh-tokoh yang ada dalam wayang kulit jika dikaji secara mendalam akan didapati makna yang ada di dalamnya. Maka perlu ada keterbukaan dalam menafsirkan nilai-nilai secara benar yang terdapat dalam tokoh wayang kulit tersebut. Namun apabila belum bisa benar-benar demikian hendaknya segi spirit yang sesuai dengan amanah para leluhur “Wali Sanga” menjadi pertimbangan. R. Poedjosoebroto mengatakan bahwa menurut Wali Sanga ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyikapi hal tersebut, yaitu:

  1. Seni wayang perlu dan dapat diteruskan asal diadakan perubahan-perubahan yang sesuai dengan zaman yang sedang berlaku.
  2. Kesenian wayang dapat dijadikan sebagai media dakwah Islam yang baik.
  3. Bentuk wayang kulit diubah bagaimana dan dibuat dari apa terserah, asal tidak terwujud arca-arca seperti manusia, karena ini diharamkan menurut Islam.
  4. Cerita-cerita dewa harus diubah dan diisi paham yang mengandung jiwa Islam untuk membuang kemusyrikan, sehingga secara keseluruhan merupakan lambang yang harus digali maknanya sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang luas dan berturut-turut.
  5. Cerita-cerita wayang harus disesuaikan dengan dakwah agama yang mengandung keimanan, ibadah, akhlak, kesusilaan, dan sopan santun.
  6. Cerita-cerita yang terpisah menurut karangan Walmiki dan Wiyasa harus diubah lagi menjadi dua cerita yang bersambung dan mengandung jiwa Islam.
  7. Menerima tokoh-tokoh wayang dan kejadian-kejadian hanya sebagai lambang yang perlu diberi tafsiran tertentu yang sesuai dengan perkembangan sejarah umum, perkembangan nasional, dan yang terakhir untuk memberi tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam wayang, yang telah dianggap sebagai lambang itu tafsiran-tafsiran sesuai dengan ajaran Islam (agama), sehingga bermanfaat untuk dakwah agama Islam.
  8. Pergelaran seni wayang dengan adanya permainan bersamaan antara dalang, para penabuh gamelan, para wiraswara, dan para penonton harus disertai etika atau tata susila dan sopan-santun yang sebaik-baiknya, jauh dari perbuatan maksiat.
  9. Memberi makna yang sesuai dengan dakwah Islam pada seluruh unsur wayang termasuk alat-alat gamelan serta tembang macapatnya, sehingga memberikan makna berturut-turut secara sistematis menurut ajaran agama yang benar.

Demikianlah manfaat wayang kulit sebagai media dakwah Islam sebagai amanat dari Wali Sanga.

 

 

Sumber: Buku Wayang Kebatinan Islam
Penulis: Dharmawan Budi Suseno