Bercermin dari Pepatah, Berani Berbuat Berani Bertanggung Jawab

 
Bercermin dari Pepatah, Berani Berbuat Berani Bertanggung Jawab

LADUNI.ID | Hikmah - Suatu malam saya tidak bisa memejam mata untuk istirahat malam karena beberapa pekerjaan yang belum saya selesaikan. Iya pekerjaan membuat draft untuk Raker PCNU Jakarta Timur, yang rencananya akan digelar pada hari Sabtu-Minggu (8-9/9/2018) di Bumi Perkemahan Cibubur.

Sayapun akhirnya mengambil sebuah majalah lama dengan harapan bila membaca bisa terpejam dengan sendirinya, akan tetapi  mata saya malah tak bisa merem karena menemukan artikel yang menarik perhatian saya.

Karena menarik saya putuskan untuk membaca artikel itu, artikel dengan judul "Mencumbu Sarang Angin", yang mengupas tentang rumah Kang Sobari (seorang budayawan) banyak sekali hikmah dan pelajaran hidup yang bisa di ambil kisah itu.

Dari sebuah rumah yang yang 'Reyot' di keramaian kota, kang Sobari mampu mendidik anak-anaknya dengan dengan baik. Anaknyapun begitu ta'dzim, patuh dan taat kepada orang tuanya sebagai tanda anak Soleh Solehah. Bisa dicontoh anak millenial bila berkenan. 

Berangkat dari sebuah tutur kata kang Sobari dalam sebuah kesempatan saat memberikan petuah atau pesan hidup ke putri-putri nya.

Kang Sobari berpesan, "Urip iku beja-cilaka, ala-becik, kabeh mung methik wohing pekerti. Sapa gawe, nganggo. Sapa nandur,ngundhuh. Supaya sarwa becik, mula aja gawe kapitunaning liyan".

Artinya dalam basa Indonesia, "Hidup itu untung-celaka, buruk-baik, semua hanya memetik buah perbuatan sendiri. Siapa berbuat ia bertanggung jawab, siapa menanam ia menuai. Supaya semua  ya baik, jangan berbuat hal-hal yang merugikan orang lain."

Pesan ini saya anggap petuah yang sudah cukup  langka di zaman millenial ini. Petuah yang biasa di ajarkan oleh leluhur, orang tua, dan para kiai ini di desa desa dan kampung kampung sudah mulai hilang terdengar bahkan kalaupun ada tidak mau mendengar.

Petuah seperti itu menuntun alam pikiran saya menuju ke arah politik dengan gerakan 2019 ganti Presiden yang viral dibahas dimedia. Dari pekerja kantor sampe tongkrongan pangkalan ojek dan warung kopi.

Saya melihat gerakan ini seperti ada kejanggalan. Iya kejanggalan yang mana KPU sudah mengumumkan calon presiden dan calon wakil presiden tapi gerakan 2019 ganti Presiden tetep digunakan oleh pilitikus Mardani Ali Sera dan aktifis mantan penyanyi Neno Warisman dan Ahmad Dhani.

Sampai sampai Gus Yaqut bilang, "kalau gerakan ini terbukti mengancam NKRI dan mau mengganti ideologi negara dengan khilafah, maka Banser akan turun," (lihat beritanya di laduni.id)

Padahal sejumlah politikus partai politik juga mengimbau agar gerakan ini segera diganti dengan salah satu capres cawapres yang sudah disepakati bersama melalui koalisi.

Dugaan saya orang orang ini kok demi kekuasaan atau entahlah apa ada agenda lain. Tapi sepertinya tidak mempertimbangkan kelangsungan peradaban politik yang berkeadaban dan berkemanusiaan.

Apa lagi kalau kita yang ikut menghebohkan perilaku politikus dan aktifis yang merasa benar sendiri. Seolah sudah tidak melihat lagi tatanan dan pakem politik yang semestinya, apakah perbuatan nya itu merugikan masyarakat, orang lain atau tidak?Dengan keresahan yang tercipta karenanya.

Mari kita tengok sebentar, bagaimana para teroris yang selalu membuat keresahan di tengah masyarakat, apa lagi kalau sampai perbuatan mereka itu sudah mengakibatkan permusuhan, maka yang terjadi selanjutnya ialah, bangsa yang aman damai gemah ripah loh jinawi ini akan menjadi bangsa yang rapuh, saling hantam satu sama sesama anak negeri, atau bisa jadi menyusul seperti negeri Suriah.

Betapa banyak pihak yang di rugikan dari perilaku itu yang meresahkan masyarakat, yang di klaim sebagai politikus dan aktifis yang paling benar membela kepentingan rakyat menjadi Indonesia yang sejahtera dengan selama perekonomian belum berubah kita harus ganti pimpinan (liat acara Rosi di Kompas TV, Kamis malam (26/8/2018). Bisa jadi gerakan itu akan dilakukan kepada presiden berikutnya yang mereka anggap, Presiden tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Bagi saya kader NU yang pernah merasa kepahitan politik ketika Gus Dur diturunkan ditengah kekuasaannya, statement seperti itu tidak harus di pelihara. Cukup sampai Mardani, Neno dan Dhani wa akhwatuhum.

Benarkah dengan perilaku itu memang bisa menghantarkan Indonesia menjadi sejahtera? Dengan gerakan yang merepotkan banyak pihak, terutama pihak kepolisian,  Wallahu 'alam. Tidak ada yang bisa menjamin. Sampai ada yang bilang untuk merubah nasib kita harus kerja, harus usaha karena siapapun Presidennya tidak akan bisa merubah rakyatnya klo kita malas, tidak mau merubah nasib kita sendiri. Saya setuju dan sepakat dengan pendapat itu sejalan dengan Al Quran.

Rasanya mayoritas dari politikus dan aktifis model seperti itu akhir-akhir ini sudah mulai tidak hirau dengan petuah-petuah adiluhung yang bisa menjadi penuntun jalan hidup kita.

Yang ada malah melahirkan terjadinya saling bully, saling serang dan saling merugikan satu sama lain. Sedikit-sedikit kita mudah tersinggung, mudah menghujat, dan mudah memusuhi, bahkan cenderung melukai dengan tanpa rasa takut apakah perbuatan kita itu bisa berbalik kepada diri kita lagi apa tidak.

Kembali ke pesan kang Sobari, "Sapa nandur, ngundhuh", pesan yang terkesan seperti membenarkan ada nya hukum karma. 

Petuah ini sama dengan makna unen-unen sederhana di Jawa, "Ojo njiwet, yen ora gelem di jiwet". (Jangan mencubit kalau tidak mau di cubit). Jangan berbuat bila tidak mau bertanggung jawab.

Lagi teringat acara Rosi di Kompas Tv yang mana politisi PDIP Maruarar Sirait menyindir kepada Mardhani tentang gerakan 2019 ganti Presiden yang gaduh. Maruarar Sirait bilang, "Pertanggung jawaban publik tidak bisa dengan sebuah buku, liat situasi dibawah. Politikus jangan balik badan seperti itu."

Kalau saya sambungkan otak atik gathuk ke segala bentuk tindakan dan prilaku sehari -hari, bisa saja saya qiyaskan dengan kata, "Ojo ngebom yen ora gelem di bom, Ojo mateni yen ora gelem dipateni, atau jangan menikam teman politik kalau tidak mau di tikam, dst.

Kalau mind set, pola pikir  diri kita masing-masing sudah menyadari hal ini, maka kehidupan kita sehari-hari akan menjadi sebuah kehidupan yang harmoni, damai dan saling menghargai, karena kesadaran diri kita bahwa perbuatan buruk yang kita lakukan, bagaimanapun akan kembali lagi kita pertanggung jawabkan baik di dunia dan kelak di akherat nanti.

Tanpa harus dengan menggunakan dalil-dalil agama yang hanya di ketahui oleh pembela agama pada waktu lalu.

Rasa nya perbuatan mencelakai orang lain, itu sudah pasti tidak baik, peradaban manapun membenarkan, mempercayai itu.

Maka dengan melakukan perbuatan yang baik, sekecil dan seremeh apapun di mata kita bisa jadi berharga buat orang lain, begitupun sebaliknya. Karena kebaikan itu adalah bagian dari manifestasi keimanan. Karena dalam Islam perbuatan baik itu banyak sekali cabang-cabang nya dan di anggap menjadi bagian dari tanda penunjuk keimanan, sebagaimana di sabdakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. "Bahwa menyingkirkan kotoran dari jalan adalah sebagai selemah-lemah nya iman".

Kalau menyingkirkan kotoran dari jalan saja di anggap sebagai bagian dari iman, maka perbuatan baik yang jauh lebih bernilai dalam kemanusiaan  sudah pasti akan lebih di hargai sebagai bagian dari bukti keimanan, dan tidak perlu repot-repot melakukan hasutan, teror yang justru kontra produktif dari maqasid syariah (maslahat).

CAKHYONO, S.Pd.I *(Penulis adalah Ketua LTN NU Jakarta Timur)

(srf)