Kisah Duo Siddiq: Kakak dan Adik yang Menjadi Pemimpin NU Jawa Timur

 
Kisah Duo Siddiq: Kakak dan Adik yang Menjadi Pemimpin NU Jawa Timur
Sumber Gambar: Wislah.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarata - Jika ditelaah lebih jauh, ternyata Bani Siddiq merupakan keluarga yang memiliki tradisi ke-NU-an yang begitu kental. Bagaimana tidak, anak-anak dari KH. Muhammad Siddiq dari Jember itu, begitu mewarnai organisasi yang didirikan oleh para kiai tersebut. Baik di tingkat Cabang, Wilayah hingga di pentas Nasional.

Di pentas Nasional, misalnya, ada KH. Mahfudz Siddiq. Putra pertama kelahiran 10 Mei 1907 itu, menjadi Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam usia 30 tahun. Ia memimpin sejak 1937 hingga 1942. Selain itu, ada juga KH. Achmad Siddiq yang pada 1984 dipercaya menjadi Rais Aam PBNU.

Namun yang menarik adalah mengamati kiprah Bani Siddiq di NU Jawa Timur. Ada duo Bani Siddiq yang memimpin Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur. Ia adalah KH. Abdullah Siddiq dan KH. Achmad Siddiq. Uniknya lagi, keduanya secara berurutan menjadi ketua. Setelah Kiai Abdullah lalu digantikan oleh Kiai Achmad.

Kiai Abdullah dipercaya menjadi Ketua PWNU Jatim kedua setelah masa kepemimpinan KH. Mahfudz Samsul Hadi. Ia terpilih pada konferensi wilayah di Malang yang dilaksanakan pada 12 – 13 Syaban 1383 H atau bertepatan pada tanggal 28 – 29 Desember 1963 M. Tak banyak catatan yang bisa diakses tentang proses pemilihan dan kiprah kiai kelahiran 12 Jumadil Awal 1340 H/ 11 Januari 1922 itu.

Salah satu catatan yang berhasil kami akses adalah sebuah susunan kepengurusan PWNU Jatim hasil konferensi tersebut di atas. Susunan itu sendiri pun hanya dari catatan dalam buku harian yang ditulis oleh KH. MS. Achyat Arsyad, seorang tokoh NU di Banyuwangi yang aktif di tiga zaman. Mulai dari kolonial, orde lama hingga masa-masa awal orde baru.

Dalam catatan tersebut, Rais Syuriyah dijabat oleh KH. Machrus Ali Kediri. Kemudian wakilnya adalah KH. Zaini Kraksaan dan KH. Ali Rodli Surabaya. Sedangkan katibnya adalah KH. Syamsudin Surabaya dan KH. Muharar Surabaya.

Adapula jajaran a’wan – dalam catatan ditulis pembantu – yang terdiri dari para kiai sepuh di Jawa Timur. Antara lain KH. Zaini Surabaya. KH. Adlan Jombang, KH. Nawawi Sidogiri, KH. As’ad Sukorejo, KH. Abu Fadlal Senori, KH. Jauhari Kencong, KH. Mahfudz Jember, KH. Mu’thi Ngawi, KH. Thoha Pamekasan dan KH. Nahrowi Thohir Malang.

Sedangkan jajaran tanfidziyah sendiri, diketuai langsung oleh KH. Abdullah Siddiq. Wakilnya adalah Masduqi Zaini dari Jombang dan Gusti Jauhan dari Surabaya. Sekretarisnya dijabat oleh Abdul Aziz Ja’far dari Surabaya dan San’an SH. Untuk bendahara dan jajaran pengurus lainnya tidak tercatat.

Sebagaimana tercatat dalam dokumentasi PWNU Jawa Timur, Kiai Abdullah memimpin hingga 1968. Kemudian diadakan pergantian kepemimpinan. Tak diketahui proses perpindahan kepemimpinan dari kakak ke adik ini, melalui konferensi atau melalui rapat-rapat tertentu, seperti halnya rapat kerja atau lainnya.

Namun, kembali merujuk pada catatan Kiai Achyat Arsyad, terdapat susunan kepengurusan PWNU Jatim masa khidmat 1968 – 1970 yang ia tulis. Tak lengkap, memang. Namun, dari catatan itu, terungkap bahwa ketika Kiai Achmad menjadi ketua, ia didampingi oleh H. Muhammad Saleh, H. Aris Ja’far, Drs. Ali, dan H. Kus Sholihuddin. Secara berurutan mereka menjadi wakil I hingga wakil IV. Sedangkan Hasyim Latief BA – demikian tertulis dalam catatan tersebut – disebut sebagai seorang penulis atau sekretaris.

Kiai Achmad disebut-sebut memimpin PWNU Jawa Timur hingga tahun 1975. Lantas, jabatan tersebut digantikan lagi oleh kakaknya, Kiai Abdullah. Masa kepemimpinan Kiai Abdullah yang kedua ini berlangsung hingga 1982. Saat itu, panggilan dari Allah SWT mengakhiri masa khidmatnya pada NU. Lantas, digantikan oleh KH. Hasyim Latief.

Kiprah kakak beradik dari Bani Siddiq tersebut, untuk PWNU Jatim, tentu sangat besar. Sebagai tokoh yang memiliki integritas keilmuan dan perjuangan, sudah barang tentu memiliki kiprah dan militansi yang besar. Namun, tak banyak literatur yang bisa ditelusuri untuk mengungkap perjuangan keduanya di Jawa Timur. Semoga, tulisan sederhana yang masih banyak berlubang ini, memantik penulis lain untuk melengkapinya. Amin.

*) Artikel ini merupakan konten dari Komunitas Pegon, yakni komunitas yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi dan mempublikasikan khazanah sejarah pesantren dan Nahdlatul Ulama berbasis di Banyuwangi
 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 4 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
___________________
Editor: Kholaf Al Muntadar