Cadar dan Pencarian Jati Diri

 
Cadar dan Pencarian Jati Diri

Oleh: M. Hasani Mubarok

AKtivis PMII IAIN Pontianak

 

Sekitar awal tahun 2000-an, orang yang menggunakan cadar di Kota Pontianak masih bisa dihitung dengan jari. Di kampung-kampung, perempuan bercadar identik dengan apa yang dikenal dengan istilah “Orang Quba”, belakangan diketahui bahwa mereka adalah pengikut Jama’ah Tabligh. Rata-rata istri dari mereka menggunakan cadar yang menempel di kerudung, baju gamis lengkap dengan sarung tangan dan kaos kakinya. Perempuan bercadar pada saat itu memang sedikit dan biasanya tidak terlalu banyak bergaul dengan warga setempat, melainkan hanya sesamanya saja.

Di antara beberapa kampung, Parit Sumber Bahagia (Desa Sumber Bahagia, Kabupaten Kubu Raya) pada waktu itu termasuk salah satu kampung yang di dalamnya ada orang Quba atau Jama’ah Tabligh ini, meski hanya satu keluarga. Yang laki-laki selalu salat tepat waktu di masjid, sedangkan istrinya lebih sering di rumah, bahkan tak keluar sama sekali kecuali bersama sang suami, menaiki motor entah ke mana tujuannya. Ibu-ibu di kampung memandang hal ini sebagai sesuatu yang biasa saja, tiada yang spesial. Cadar pada saat itu diartikan sebagai sebuah penanda khusus bagi satu komunitas beragama yang disebut dengan Orang Quba atau Jama’ah Tabligh.

Begitu hal di Kota Pontianak, persepsi masyarakat tentang cadar masih dilekatkan kepada kelompok yang sama. Di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari SMP sampai SMA, waktu itu masih belum ditemukan anak-anak yang menggunakan cadar melainkan hanya kerudung sebagai simbol keislaman. Di majlis-majlis taklim, cadar jarang digunakan bahkan tak ada sama sekali. Demikian halnya di kampus, sampai sekitar tahun 2014, wanita bercadar sangat sukar untuk dicari. Meskipun ada, hanya segelintir orang saja.

Kapan trend cadar ini dimulai?

Dunia memasuki tahun 2014, sebuah era di mana informasi merajai kehidupan manusia. Konektifitas dengan dunia maya menjadi fardlu ain yang hampir rata dilakukan semua orang. Anak muda tentu menjadi penikmat pertama dari kecanggihan dan keseruan media sosial yang terus bergerak maju ini. Walhasil, anak muda yang selalu melek akan tehnologi mutahir menjadi agen bagi perubahan-perubahan skala kecil ke besar. Kita sering menyaksikan, orang tua bertanya kepada sang anak tentang banyak hal seputar dunia baru yang melingkupi kita saat ini: Era Sibernetik.

Pergeseran dalam banyak sektor kehidupan baik secara kultural maupun struktural terus bergeser begitu cepat. Salah satunya adalah ketergantungan manusia terhadap gadgetmengartikulasi sebuah perubahan dalam banyak sektor secara gradual namun begitu massif. Cara pandang, tradisi bahkan sirkulasi kekuasaan sangat ditentukan oleh segenggam alat persegi empat itu. Tak ayal, oleh karena kian cepatnya perubahan itu terjadi dan sebegitu meratanya, kadang-kadang orang-orang tak sempat berfikir banyak tentang pilihan-pilihan. Represi pemikiran sedemikian gencar masuk dan menghunjam ke ruang kognisi seseorang telah mengikis sikap kritis dalam banyak hal, terutama yang berkaitan dengan pragmtisme dalam bentuk pilihan sikap.

Eksistensi media yang begitu vital bagi kehidupan inilah sebab dari pergeseran-pergeseran kecil ke besar dalam hal cadar yang akhir-akhir ini menjadi sebuah fenomena. Ya, hari ini cadar bukan lagi penutup wajah yang hanya dipakai oleh segelintir orang dari komunitas beragama, tapi sudah menjadi sebuah trend busana tersendiri. Seiring dengan semakin kuatnya promosi busanasyar’i kekinian, unsur cadar menjadi pucuk kesempurnaan dari sebuah prinsip berbusana dalam Islam. Jika kita perhatikan, media memberikan sumbangsih terbaik bagi perkembangan pasar busana syar’i ke jantung masyarakat.

Kita bisa mengemas kesimpulan kecil –meski tak ada data yang menunjang- bahwa menjamurnya trend pakain syar’i lengkap dengan cadar yang hari ini terjadi disebabkan olehmapping dakwah yang hari ini kian semarak di media. Dakwah di media bukan hal yang baru sebenarnya, sejak aplikasi android menjadi kebutuhan bagi banyak orang, saat itulah persemaian dakwah di media menjadi ladang basah untuk menumbuhsuburkan nilai-nilai keislaman. Sehingga, pemikiran keislaman sebuah kelompok atau seseorang bisa di-share ke halayak publik dan menjadi santapan. Dengan semakin canggih dan beragamnya aplikasi untuk mencerap dan berbagi informasi, maka dakwah media juga melahirkan segudang fenomena yang sekitar 6-7 tahun yang lalu tak pernah terjadi, bahkan tak terbayangkan. Salah satunya fenomena cadar.

Cadar dan Mapping Dakwah di Media

Ketika dalam tulisan ini berbicara tentang cadar, maka kita tidak sedang berbicara motif religius yang bersemayam di baliknya. Sebelumnya –secara pribadi- saya bersepakat bahwa bercadar adalah aktifitas yang didorong oleh energi keagamaan, untuk mencapai kesalehan spiritual yang didamba oleh hampir semua orang, dalam hal ini muslim. Di samping itu kita juga tidak menafikan, bahwa ada sebagian orang yang bercadar dengan motif-motif keduniaan, seperti ingin memperoleh jodoh yang baik misalnya. Pada intinya, motivasi bercadar ini bisa saja beragam, namun muara tujuan mereka satu, memperbaiki diri dari sisi keagamaan. Kita sebaiknya menghindar dari membedah fenomena bercadar dari sisi ini, pertama karena religiusitas adalah ruang hermeneutis yang sering berujung pada truth claim, yang kedua karena jalan mereguk spiritualitas (thoriqoh) selalu berbeda-beda, penghakiman terhadap satu bentukthoriqoh adalah “egoisme” yang angkuh.

Yang menjadi permasalahan di mana diskusi bisa kita bangun seputar fenomena cadar hari ini adalah titik relasi yang mentautkan antara mapping dakwah media dan pengaruhnya terhadap semaraknya gerakan cadar hari ini. Hal ini karena sering kita saksikan, bahwa media penganjur cadar selama ini memiliki satu manuver dominan dalam rangka mensosialisasikan cadar. Salah satu yang paling sering tampak –walaupun subjektif- adalah keterkaitan cadar dengan “citra kelembutan” dan “citra kesalehan” seorang muslimah. Selain itu, relasi antara cadar dan cita-cita memperoleh calon imam (suami) yang baik juga tak kalah dominan ditampilkan oleh media ketika mempromosikan cadar. Bagaimana ini semua dikemas?

Percintaan Sebagai Gerbang Awal

Sebagaimana disampaikan di awal, bahwa sebagian besar pengguna aktif media adalah muda-mudi. Maka, sasaran dakwah yang paling banyak dituju adalah generasi milenial dengan segenap problem yang mengitari mereka. Hal ini tentu meniscayakan sebuah pola pengemasan dakwah yang baik dan tertata, mulai dari style penceramah, konten materi serta responsibilitas terhadap fenomena-fenomena yang melilit generasi muda sekarang. Dan –meskipun belum terbukti dengan data- secara makro kita melihat, bahwa isu “percintaan” adalah problem paling favorit yang dirasakan hampir oleh seluruh generasi milenial tersebut.

Masalah percintaan yang melilit anak muda ini menjadi perhatian serius beberapa da’i-da’i yang aktif menyebarkan konten dakwahnya di media, baik berupa tulisan, meme atau videografi. Dari problem dominan dan mendasar (percintaan) inilah kemudian media dakwah mengemasnya sebagai sebuah “pintu masuk” bagi penanaman nilai-nilai Islam yang lain. Ini strategi yang sepertinya paling banyak diadopsi oleh pegiat dakwah-dakwah di media yang sasaran dakwahnya adalah generasi muda (milenial).

Tak berhenti di situ, setelah materi tentang “percintaan” mereka jadikan sebagai sebuah bahan utama dalam mengolah dakwah, solusi terbaik yang mereka sajikan dalam rangka mengatasi problem yang dinilai akut itu adalah dengan memperkenalkan term “hijrah”. Sebuah proses perpindahan seseorang dari keadaan (sifat, sikap dll) yang buruk menjadi yang lebih baik lagi dalam sinaran agama. Sampai di sini, kita bisa melihat term-term seperti “cinta karena Allah”, “cinta Islami”, “jomblo fi sabilillah”, “jolal: jomblo sampai halal” dan lain sebagainya begitu gencar dikemas dalam bentuk meme atau videografi. Istilah-istilah di atas adalah rangkaian awal dari strategi dakwah yang ditujukan kepada generasi muda dan problem utamanya: karena film Dilan saja “baper” sampai berbulan-bulan.

“Hijrah” Sebagai Solusi

Hijrah kemudian menjadi solusi terbaik dan dari sinilah fenomena bercadar bisa kita usut perkembangannya secara logis. Generasi milenial yang aktif dalam mencerap dan memiliki atensi terhadap informasi serta penyerap pertama terhadap dakwah-dakwah yang berkembang di media secara umum mungkin diwakili oleh mahasiswa. Hal ini karena usia mahasiswa adalah fase transisi menuju dewasa. Dalam fase ini, seseorang kerap berada dalam persimpangan tajam menukik yang harus hati-hati, dan jika tak bisa mengendalikan diri, maka penyesalan telah menanti. Dalam kondisi critical seperti ini, sandaran agama tentu menjadi messiah paling menjamin bagi mereka, setidaknya dalam urusan memilih, sinaran agama dapat memendarkan cahayanya.

Dalam kondisi seperti itu, media dakwah kemudian memperkenalkan istilah “hijrah” sebagai sebuah jembatan bagi muda-mudi yang berada dalam simpang kebingungan dan tak memiliki juru penerang. Sampai pada tahap ini, kita bisa menyaksikan bahwa makna “hijrah” yang dipersepsikan oleh media dakwah akhir-akhir ini adalah “merubah kebiasaan lama yang jauh dari agama, menjadi lebih dekat dengan agama”.

Agama di sini tak bisa dipahami sebagai nilai yang di dalamnya terdapat beragam unsur-unsur yang rumit, tapi sebuah pengertian yang bisa mendekatkan kepada milenial, sehingga proses “hijrah” yang dimaksud harus direduksi kepada beberapa aspek ekstrinsik dari agama itu sendiri. Dalam hal ini, beragama adalah bernampilan lebih agamis atau lebih dekat dengan aspek-aspek formal agama. Maka dari itu, kalau kita lihat, image “hijrah” dalam media sekarang adalah “insafnya preman-preman” yang pada awalnya tidak mau melaksanakan salat menjadi begitu rajin. Yang pada awalnya tidak mau membaca atau men-tadabburi al-Quran, menjadi begitu bergairah. Atau wanita-wanita yang awalnya selalu memakai pakain mini, insaf dan sadar dengan mulai berhijab dan berpakain panjang. Ini adalah sebuah bentuk “hijrah” yang begitu kuat dipersepsikan oleh media.

Terlepas dari dorongan spiritualitas yang menggerakan hati mereka-mereka yang “hijrah”, pada intinya pola dakwah media yang seperti ini telah mendorong lahirnya sebuah fenomena baru, yakni: “menguatnya aspek formalisme agama –Islam- akhir-akhir ini”. selain itu, hal ini juga mempersempit makna hijrah yang awalnya dinamis “adalah sebuah proses terus menerus yang harus dilakukan oleh manusia untuk mencapai kebaikan” menjadi statis “mendekatkan diri kepada (aspek-aspek formal) agama, dan cukup sampai di situ.”

Cadar adalah Sebuah Pencarian

Di tengah pemahaman “hijrah” yang seperti inilah, cadar sebagai sebuah fenomena terus menguat sampai sekarang. Walau hijrah dijadikan sebagai sebuah solusi, namun problem awal yang menjadi motif pengguna cadar tak bisa dipandang sebelah mata, yakni percintaan. Sebagaimana disinggung di awal, drama percintaan sebenarnya bukanlah tujuan dari mappingdakwah yang dikemas oleh pegiat media dakwah itu, tapi dia adalah “gerbang awal” untuk memasuki gerbang selanjutnya yaitu “hijrah.”

Jika kata terakhir dimaknai secara sempit, alias hanya kembali pada aspek-aspek formal agama, maka seorang yang bercadar hanya akan berputar-putar dari gerbang pertama ke gerbang kedua, tak akan pernah beranjak. Inilah yang kemudian membuat beberapa orang yang memutuskan hijrah karena problem percintaan, harus keluar lagi dari definisi “hijrah” itu, manakala ternyata tak menemukan solusi yang didambakan dalam keberhijrahannya. Hal ini tampak dari beberapa kasus sederhana yang dialami oleh beberapa entertainer yang awalnya memutuskan untuk menggunakan kerudung, kemudian melepaskannya kembali oleh karena beberapa masalah. Yang demikian ini diakibatkan oleh pemaknaan “hijrah” yang begitu statis.

Beda hal, jika seseorang yang bercadar memaknai hijrah sebagai sebuah aktifitas dinamis dan terus menerus, maka dia akan terus mencari dan menemukan gerbang-gerbang baru dalam samudera “hijrah” itu. Apakah solusi dari sekian masalah itu terjawab atau tidak, seorang wanita bercadar yang sejati akan terus berada dalam naungan “hijrah” di tengah terpaan badai apapun.

 

 

Tags