Apakah Suara Perempuan Bagian dari Aurat dalam Mazhab Syafi’i?

 
Apakah Suara Perempuan Bagian dari Aurat dalam Mazhab Syafi’i?
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Wanita dalam Islam sangat di hormati dan dijaga dari perkara yang dapat mengundang fitnah dan dosa. Termasuk suara wanita juga menjadi hal kontroversial apakah masuk dalam status aurat ataupun bukan.

Dalam mazhab Hanafi suara wanita itu aurat. Mereka berpedoman dengan firman Allah SWT Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 31:

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التّٰبِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ٣١

Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, para perempuan (sesama muslim), hamba sahaya yang mereka miliki, para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Hendaklah pula mereka tidak mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.

Dalam pada Mazhab Imam Hanafi menyebutkan bahwa potongan ayat dari “…. Hendaklah pula mereka tidak mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” Merupakan justifikasi bahwa suara wanita merupakan aurat, indikatornya kalau suara gelang kaki saja dilarang maka suara wanita itu sendiri menjadi aurat lebih menjadi kuat.

Salah seorang ulama terkemuka Syekh Abu Bakar Al-Jashash berkata: “Ayat di atas menunjukkan bahawa wanita dilarang mengeraskan suara yang sekiranya didengar orang lain. sebab suaranya itu lebih membangkitkan fitnah daripada bunyi gelang kakinya, oleh itu ashab kami (mazhab hanafi) memakhruhkan azan wanita sebab dalam azan diperlukan suara yang keras”. (Tafsir al-Nashash 3: 393)

Dalam mazhab Syafi'i problema tentang suara wanita itu aurat ataupun tidak, telah terjadi kontroversi pendapat. Ada dua pendapat tentang ini. Pertama, mayoritas ulama’ menyebutkan bahwa suara wanita bukanlah termasuk aurat. Untuk itu boleh untuk mendengarnya. Ini merupakan pendapat yang kuat ataupun mu’tamad.

Kedua, dalam perspektif sebagian ulama mereka menyatakan bahwa suara wanita itu merupakana aurat. Berdasarkan atas itu haram terhadap kaum laki-laki untuk mendengar suara wanita kecuali mahram baginya. Dalam pandangan mazhab Syafii berdasarkan pendapat  yang menyatakan bahwa suara wanita bukan aurat, dalam hal ini disyaratkan saat mendengarnya suara wanita itu harus aman dari fitnah.

Begitu juga disyaratkan pula tidak menjadikan laki-laki yang mendengarnya terpesona dan menikmatinya. Namun apabila terjadi demikian, hukum mendengar suara wanita adalah haram walaupun berupa bacaan Al-Qur’an. Namun begitu  juga terhadap kaum wanita, jika ada kekhawatiran menimbulkan fitnah, maka haram memperdengarkan suaranya kepada pria dengan status yang tidak ada hubungan mahram dengannya.

Referensi: Kitab Al-Majmu’ syarh Al-muhadzab:  III: 390, Kitab Ianah At-Thalibin: III: 302, Kitab Tafsir al-Nashash III: 393 dan Kitab Al-Bujairimi dan lainnya
 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 16 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
___________________
Editor: Kholaf Al Muntadar