Dayah Sebagai Lumbung Reformasi Masyarakat

 
Dayah Sebagai Lumbung Reformasi Masyarakat
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Dayah telah banyak mengabdi kepada rakyat Aceh terutama dalam hal menghasilkan pemimpin masyarakat dalam bidang ilmu pengetahuan agama. Orang-orang tersebut telah memainkan peran yang penting dalam membina komunitasnya dalam bidang keyakinan dan praktik agama. Meskipun demikian, dayah juga mendapatkan kritik oleh para intelektual karena hanya menghasilkan lulusan dalam bidang agama dan tidak ada keahlian lain yang berguna. Berdasarkan kritik tersebut, dayah-dayah seharusnya menghasilkan lulusan yang mempunyai keahlian lain sebagai tambahan belajar agama, khususnya bagi siapa yang tidak ingin melanjutkan studinya hingga menjadi seorang ulama. Karena tuntutan pembangunan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi sekarang memerlukan keahlian untuk bekerja.

Berdasarkan pada kenyataan ini, dayah-dayah melengkapi lulusannya dengan berbagai keahlian yang nantinya mereka akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Sebaliknya, mereka tidak akan mampu mencari pekerjaan dan akan menjadi pekerja bawahan, dan untuk menjadi kelas menengah atau kelas atas akan tetap tertutup bagi mereka. Kenyataan ini adalah sebagai tuntutan perubahan ekonomi dan sosial dalam masyarakat Indonesia umumnya suatu keadaan yang sama terjadi di Aceh.

Beberapa dayah mencoba untuk mengajarkan berbagai keahlian bagi murid mereka. Bagaimanapun, inisiatif ini masih berada pada tahap terbatas. Beberapa program tidak diatur dengan baik, bahkan rada insidental, dan jenis keahlian yang dilatih pun masih tergantung pada tenaga pengajar yang tersedia. Dalam hal ini, apa yang terjadi di Dayah Darussalihin Lam Ateuk, Aceh Besar dapat dijadikan sebagai contoh, yang mana murid-murid dayah tersebut belajar menjahit. Anak laki-laki diajarkan menjahit kopiah sementara murid perempuan diajarkan menjahit pakaian wanita. Di beberapa dayah, terdapat koperasi murid yang diatur meskipun tidak secara professional. Dalam beberapa waktu, beberapa lulusan dayah menjadi pemimpin formal yang duduk di kursi pemerintahan; di lain pihak ada juga yang menjadi pemimpin informal. Biasanya mereka aktif dalam pembangunan masyarakat. Tradisi ini berlangsung sampai hari ini, meskipun lulusan dari sekolah lain (madrasah dan sekolah umum) juga aktif dalam kehidupan masyarakat. Sebelum kedatangan Belanda ke Aceh, beberapa ulama yang tamat dari dayah juga aktif dalam bidang kehidupan masyarakat. Sebelum kedatangan Belanda ke Aceh, beberapa ulama yang tamat dari dayah juga aktif dalam bidang ekonomi, khususnya bidang pertanian. Sebagai contoh, Tgk. Chik di Pasi memimpin masyarakat membangun sistem irigasi, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Chik di Bambi dan Tgk. Chik di Rebee.

Partisipasi ulama dalam kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela dan tidak di bayar sama sekali. Sekitar tahun 1963, Tgk. Daud Beureueh menjadi motor penggerak pembuatan jalan-jalan, pengadaan jembatan, membangun jaringan irigasi dan pembersihan irigasi yang telah lama. Sudah menjadi kelaziman bahwa setiap ada proyek pembangunan masjid, pasti dipimpin oleh ulama dayah, atau paling tidak pada tahap permulaan dimotivasi oleh mereka. Seperti Tgk. Abdullah Ujong Rimba yang memimpin dua pembangunan masjid dalam masyarakatnya di salah satu desa di Pidie. Tgk. Keumala memimpin dewan pengurus pembangunan masjid dari jauh: dia sendiri tinggal di Medan, yang jauhnya sekitar 500 km dari kampungnya dan berbeda propinsi- meskipun demikian, dia menjadi ketua dewan pengurus di kampungnya, Seunuddon, Aceh Utara.

Tidaklah terlalu sulit dimengerti mengapa ulama dayah sering dipilih sebagai pemimpin dan organisatoris. Pertama, mereka sendiri dengan tekun terlibat secara sukarela jika mereka sepakat bahwa kegiatan-kegiatan tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan tujuan agama. Menurut Habib Chirzin, hal demikian benar, karena hampir semua lulusan dayah, seperti juga terjadi pada para lulusan madrasah. Perbedaannya, lulusan sekolah umum ataupun madrasah-madrasah kebanyakan berorientasi pada materi meskipun mereka adalah para elit Muslim.

Sebagaimana yang diteliti oleh Ibrahim Husein, perilaku elit Muslim kontemporer yang datang dari madrasah dan sekolah umum menderita krisis idealita. Mereka sibuk dengan dirinya masing-masing dan tanpa memperdulikan masyarakat lain. Menurut Ali Audah, dewasa ini, krisis tersebut menjadi krisis nasional yang para elit Muslim tidak mau tidak harus bekerja keras memperbaiki generasi muda. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Dia menambahkan betapa jarang lulusan universitas yang menjadi guru hanya karena gaji sedikit.

Kedua, sikap para ulama dayah dirasa oleh masyarakat lebih dipercaya ketimbang pemimpin secular. Ulama dayah dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang sesuai apa yang dikatakan dengan apa yang mereka lakukan. Ketiga, mereka juga mempunyai kemampuan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan yang dapat meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan.

Mereka bisa melakukan hal tersebut karena mereka memiliki pengetahuan agama yang digunakan untuk memperingatkan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Jelasnya, simbol-simbol agama, menjadi perhatian dan tujuan kuat yang mempengaruhi dan memotivasi masyarakat di Aceh. Lulusan dayah telah menunjukkan bahwa mereka memiliki perhatian yang besar terhadap masyarakat dan berbagai kepentingan. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa selama meudagang di dayah, mereka melewati pengalaman baru yang berbeda dengan pengalaman mereka selama berada di kampung halaman.

Jadi lulusan dayah menjadi seorang yang mempunyai dua latar belakang kultur yang berbeda, di satu pihak realitas sosial yang mereka temui ketika berada di kampung halaman dan di pihak lain sesuatu yang baru yang mereka pelajari di dayah. Dengan demikian, mereka menemukan bagaimana konsep yang ideal untuk membimbing masyarakat, yang berbeda dengan apa yang terjadi dalam keseharian masyarakat Aceh. Oleh karena itu, dia menemukan dengan sendirinya sebuah cara mereformasi masyarakat. Jadi, lulusan dayah sebagai suatu kelompok ingin melihat diri sendiri sebagai pemain peran penting dan pembaharu.

Penjelasan ini menunjukkan bahwa mengapa suatu hal yang sangat beda perjalanan sejarah, sejarah rakyat Aceh di mana ulama memimpin gerakan pembaharuan. Meskipun mereka tidak berhasil apa yang diharapkan, gerakan pembaharuan ini akan selalu menjadi satu kontribusi yang besar dalam masyarakat Aceh, khususnya bagi para petani di daerah pedalaman. Sebagai agen pembangunan, lulusan dayah nampaknya memainkan peran intelektual yang telah membawa ide-ide segar kepada masyarakat. Dengan Islam, mereka membentuk tali persaudaraan di kalangan masyarakat Aceh, yang berlandaskan pada konsep persamaan manusia dalam agama, yang dalam masyarakat mereka menemukan adanya pikiran memandang rendah satu sama lain. Akhirnya, para pemimpin ini mampu menyatukan dari berbagai kelompok dalam kampung. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 8 Oktober 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar