Hukum Shalat Sunnah Rebo Wekasan

 
Hukum Shalat Sunnah Rebo Wekasan
Sumber Gambar: Dok. Disparekrafbudpora Kab. Gresik, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Terdapat perbedaan pandangan di antara ulama mengenai kedudukan hukum pelaksanaan shalat Rebo Wekasan. Perbedaan tersebut terletak pada niat pelaksanaan shalat. Menurut kalangan fuqaha, melakukan shalat pada hari Rabu di akhir bulan Safar dengan niat sebagai shalat Rabu Wekasan tergolong perbuatan bid'ah yang haram. Berbeda menurut kalangan ulama tarekat atau kaum sufi, mereka mengamalkannya mendasarkan hal itu dengan adanya kasyaf sebagian ulama yang mengatakan adanya turun bala’ atau bencana pada hari tersebut, karena itu dilakukanlah shalat sunnah Hajat Lidaf’il Bala’.

Shalat sunnah Hajat tersebut bermula dari anjuran Syaikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi dalam Kitab Fathul Malik Al-Majid Al-Muallaf li Naf'il 'Abid wa Qam'i Kulli Jabbar 'Anid atau yang biasa disebut Mujarrabat Ad-Dairabi. Anjuran serupa juga terdapat pada Kitab Al-Jawahir Al-Khams karya Syaikh Muhammad bin Khathiruddin Al-'Atthar, dan lain sebagainya.

Tetapi yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah tentang niat. Jika niat pelaksanaan shalat sunnah Rebo Wekasan diniatkan secara khusus seperti "saya niat salat Rebo Wekasan" atau "saya niat shalat bulan Safar", maka hukumnya tidak sah dan haram karena tidak ada nash sharih yang menjelaskan anjuran shalat Rebo Wekasan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam prinsip kaidah dalam kitab Tuhfah Al-Habib Hasyiyah ‘ala Al-Iqna’ karya Syaikh Sulaiman Al-Bujairimi.

 وَالْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ أَنَّهَا إِذَا لَمْ تُطْلَبْ لَمْ تَصِحَّ

"Hukum asal dalam ibadah apabila tidak dianjurkan, maka tidak sah."

Lebih lanjut ditegaskan dalam Kitab I’anah At-Thalibin mengenai berbagai shalat sunnah yang diharamkan karena tidak memiliki dasar Hadis yang jelas.

قَالَ الْمُؤَلِّفُ فِي إِرْشَادِ الْعِبَادِ وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ الَّتِيْ يُأْثَمُ فَاعِلُهَا وَيَجِبُ عَلىَ وُلَاةِ الْأَمْرِ مَنْعُ فَاعِلِهَا صَلَاةُ الرَّغَائِبِ اِثْنَتَا عَشْرَةَ رَكْعَةً بَيْنَ الْعِشَائَيْنِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمْعَةٍ مِنْ رَجَبَ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةَ رَكْعَةٍ وَصَلَاةُ آخِرِ جُمْعَةٍ مِنْ رَمَضَانَ سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً بِنِيَّةِ قَضَاءِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ الَّتِيْ لَمْ يَقْضِهَا وَصَلَاةُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَوْ أَكْثَرَ وَصَلَاةُ الْأُسْبُوْعِ أَمَّا أَحَادِيْثُهَا فَمَوْضُوْعَةٌ بَاطِلَةٌ وَلَا تَغْتَرْ بِمَنْ ذَكَرَهَا.

"Sang pengarang (Syaikh Zainuddin Al-Malibari) berkata dalam Kitab Irsyad al-‘Ibad, termasuk bid’ah yang tercela, pelakunya berdosa dan wajib bagi Ulil Amri mencegahnya, adalah Shalat Raghaib, 12 rakaat di antara Maghrib dan Isya’ di malam Jumat pertama Bulan Rajab, shalat Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, shalat di akhir Jumat Bulan Ramadhan sebanyak 17 rakaat dengan niat mengganti shalat lima waktu yang ditinggalkan, shalat hari ‘Asyura sebanyak 4 rakaat atau lebih dan shalat Ushbu’. Adapun Hadis-hadis shalat tersebut adalah palsu dan batal. Maka jangan terbujuk oleh orang yang menyebutkannya"

Namun demikian, jika pelaksanaan shalat Rebo Wekasan diniatkan shalat sunnah mutlak, maka hukumnya terbagi dalam dua pandangan. Menurut Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari adalah haram. Dalam pandangan Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari, anjuran shalat sunnah mutlak yang ditetapkan berdasarkan Hadis shahih tidak berlaku untuk shalat Rebo Wekasan, karena anjuran tersebut hanya berlaku untuk shalat-shalat yang disyariatkan.

Hal ini dijelaskan dari kutipan Fatwa Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari dalam kumpulan Hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur sebagaimana berikut:

اورا ويناع فيتواه اجاء اجاء لن علاكوني صلاة رابو وكاسان لن صلاة هدية كاع كاسبوت اع سؤال كارنا صلاة لورو ايكو ماهو اورا انا اصلى في الشرع. والدليل على ذلك خلو الكتب المعتمدة عن ذكرها كايا كتاب تقريب، المنهاج القويم، فتح المعين ، التحرير لن سافندوكور كايا كتاب النهاية المهذب لن احياء علوم الدين، كابيه ماهو أورا انا كاع نوتور صلاة كاع كاسبوت...

الى ان قال، وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَسْتَدِلَّ بِمَا صَحَّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ اَنَّهُ قَالَ الصَّلَاةُ خَيْرُ مَوْضُوْعٍ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَكْثِرْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَسْتَقْلِلْ، فَإِنَّ ذَلِكَ مُخْتَصٌّ بِصَلَاةٍ مَشْرُوْعَةٍ

“Ora wenang pertuah ajak-ajak lan ngelakoni shalat Rebu Wekosan lan shalat hadiah kang kasebut ing soal, kerono shalat loro iku mahu ora ana asale fi syar’i. Wad dalil ‘ala dzalik khuluwwul kutub al-mu’tamadah ‘an dzikriha kaya Kitab Taqrib, Al-Minhaj Al-Qawim, Fathul Mu’in, At-Tahrir, lan sak pendukur kaya Kitab An-Nihayah, Al-Muhaddzab lan Ihya’ Ulumuddin, kabeh mahu ora ana kang nutur shalat kang kasebut… Bagi siapapun tidak boleh berdalih kebolehan melakukan kedua shalat tersebut dengan hadis shahih bahwa Nabi bersabda, ‘shalat adalah sebaik-baiknya tempat, perbanyaklah atau sedikitkanlah, karena sesungguhnya hadits tersebut hanya mengarah kepada shalat-shalat yang disyariatkan"

"Tidak boleh berfatwa, mengajak dan melakukan shalat Rebo Wekasan dan shalat hadiah yang disebutkan dalam pertanyaan, karena dua shalat tersebut tidak ada dasarnya dalam syariat. Tendensinya adalah bahwa kitab-kitab yang bisa dibuat pijakan tidak menyebutkannya, seperti kitab Al-Taqrib, Al-Minhaj Al-Qawim, Fath Al-Mu’in, Al-Tahrir dan kitab seatasnya seperti Al-Nihayah, Al-Muhadzab dan Ihya’ Ulumuddin. Semua kitab-kitab tersebut tidak ada yang menyebutkannya… Bagi siapapun tidak boleh berdalih kebolehan melakukan kedua shalat tersebut dengan hadits shahih bahwa Nabi bersabda, shalat adalah sebaik-baiknya tempat, perbanyaklah atau sedikitkanlah, karena sesungguhnya hadits tersebut hanya mengarah kepada shalat-shalat yang disyariatkan"

Sedangkan menurut pandangan Syaikh Abdul Hamid bin Muhammad Quds Al-Makki hukumnya adalah boleh. Menurutnya solusi untuk membolehkan shalat-shalat yang ditegaskan haram dalam nashnya para fuqaha adalah dengan cara meniatkan shalat-shalat tersebut dengan niat shalat sunnah mutlak. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Kanz Al-Najah wa Al-Surur berikut ini:

قُلْتُ وَمِثْلَهُ صَلَاةُ صَفَرَ فَمَنْ أَرَادَ الصَّلَاةَ فِى وَقْتِ هَذِهِ الْأَوْقَاتِ فَلْيَنْوِ النَّفْلَ الْمُطْلَقَ فُرَادَى مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ وَهُوَ مَا لَا يَتَقَيَّدُ بِوَقْتٍ وَلَا سَبَبٍ وَلَا حَصْرٍ لَهُ. انتهى

"Aku berpendapat, termasuk yang diharamkan adalah shalat Safar (Rebo Wekasan), maka barang siapa menghendaki shalat di waktu-waktu terlarang tersebut, maka hendaknya diniati shalat sunnah mutlak dengan sendirian tanpa bilangan rakaat tertentu. Shalat sunnah mutlak adalah shalat yang tidak dibatasi dengan waktu dan sebab tertentu dan tidak ada batas rakaatnya."

Demikian ikhtilaf hukum pelaksanaan shalat sunnah Rebo Wekasan dari para ulama. Perlu dicatat sebagai bagian penting terkait hal ini adalah terkait dengan niat. Jika dilakukan shalat sunnah dengan mengkhususkan sunnah Rebo Wekasan, maka hal ini tidak ada dasar sama sekali untuk membenarkannya. Tetapi jika berniat melakukan shalat sunnah mutlak atau hajat, maka bisa dibenarkan, meski dilaksakan di waktu Rebo Wekasan.

Perbedaan di atas adalah terkait dengan praktiknya yang berdasarkan niat. Meski demikian, kita menyadari bahwa pada dasarnya iktilaf ulama dalam fiqih adalah hal yang biasa terjadi dalam sejarah peradaban Islam. Dan masing-masing pendapat memiliki landasan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sebagai masyarakat awam, kita patut bersyukur dan menganggap perbedaan itu sebagai rahmat bagi kita akan terbukanya ruang seluas-luasnya untuk menjalankan ritual agama tanpa keluar dari batas syariat. Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 07 November 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Editor: Hakim