Asal Muasal Hari Sabtu dan Rahasianya

 
Asal Muasal Hari Sabtu dan Rahasianya
Sumber Gambar: ilustrasi Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta  - Dalam bahasa Arab, hari itu dimulai dari hari Ahad (kesatu) sampai Sabtu. Tetapi kebiasaan di Indonesia, permulaan hari dimulai dari hari Senin, sebagai awal dari belajar di sekolah formal, sedangkan di pondok pesantren dimulai dari Sabtu, bila liburnya hari Jum'at. Sedangkan di Arab, kegiatan dimulai dari hari Ahad (kesatu) dan biasanya libur Jumat dan Sabtu.

Kalau kita perhatikan dengan seksama, seharusnya hari itu dimulai dari hari Ahad ( أحد) yang berarti permulaan atau ke satu, selanjutnya hari Senin (الاثنين) yang berarti kedua, sampai hari Kamis (خميس), baru kemudian hari Jum'ah dan Sabtu.

Tetapi yang menjadi pertanyaan, mengapa setelah Kamis (lima) tidak dilanjutkan ke-enam dan ke-tujuh, tetapi menggunakan Jum'at dan Sabtu?

Hari Sabtu (ke-tujuh) sebelum Islam datang disebut dengan Syiyar, dan orang Barat menyebutnya Saturday. Sedangkan hari Sabtu diambil dari nama hari berbahasa Arab _as-sabt_ (السبت), yang dalam beberapa keterangan, berasal dari bahasa Ibrani _Sabat_. Dan kalau kita diperhatikan, kata Sabtu ada kemiripan dengan sab'ah yang berarti tujuh (t dan h dalam bahasa Arab sering diganti atau ditukar), berarti hari Sabtu adalah hari ke tujuh dalam hitungan hari.

Dalam kamus Ma'ani:

السَّبْتُ الراحة والدهر وحلق الرأس وضرب العنق ومنه يسمى يوم السبت لانقطاع الأيام عنده

Sabtu bermakna; istirahat, masa, memotong rambut, memenggal leher, sebagaimana dalam Surat An-Naba' _"dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat," (An-Naba’ 78:9)_

Dan hari Sabtu bagi Yahudi adalah hari istirahat dari berbagai aktifitas, kecuali berjihad, pengobatan dan juga yang bersifat darurat (As-sabtu Fil Al Quran, 21), dan juga dilarang keluar rumah, kecuali dengan alasan tertentu. Karena hari suci itu, adalah hari ujian bagi mereka yang beriman, memilih Tuhan atau pekerjaan?.

Disebut hari Sabtu karena memutus (i'qitha') hari. Sedangkan Sabtu bagi orang Yahudi adalah berhenti dari seluruh aktifitas pekerjaan (dari mencari kasab, atau penghasilan), hari tersebut hanya untuk beribadah kepada Allah. 

انقطعوا عن المعيشة والاكتساب يوم السبت :- { وَيَوْمَ لاَ يَسْبِتُونَ لاَ تَأْتِيهِمْ}

Dan diyakini, hari Sabtu adalah hari perhentian Tuhan setelah menciptakan bumi dan seisinya, karena penciptaan langit dan bumi selama enam hari (sittatu ayyam), hari Jum'at adalah kesempurnaan dari penciptaan, sedangkan Sabtu adalah selesainya penciptaan itu. Ada yang menyebutkan, bahwa disebut hari Sabtu karena diamnya setelah sempurnanya ciptaan (sukun al-harakah).

Ada kepercayaan di antara beberapa orang Yahudi, hari Sabtu tidak boleh makan beberapa makanan, dan tidak boleh memasak, bertani, bertenun, merajut dan menyembelih hewan.

Dalam Al-Qur'an juga ada cerita tentang Ashabul Al-Sabt (Sabtu), di mana Allah menurunkan petaka, atau bala' kepada kaum Yahudi yang tinggal di pinggir pantai, mereka bekerja sebagai nelayan (pencari ikan), dan mereka sulit menemukan ikan, selain hari Sabtu. Sedangkan hari Sabtu bagi mereka dilarang untuk bekerja, tetapi mereka melanggar kesucian hari Sabtu, dan tetap memancingnya, sehingga mereka dirubah menjadi kera.

Dalam Islam, Jum'at seperti hari Sabtu. Tidak boleh melakukan perdagangan dan lainnya, tapi tidak sepanjang hari, hanya beberapa menit saja, agar mereka dapat melakukan shalat Jum'at, setelah itu mereka diperbolehkan untuk melakukan perdagangan dan lainnya (Fantasyiru fi al-ardh). Dapat dibayangkan, mereka yang melanggar hari Sabtu oleh diganti menjadi kera (karena melanggar perintah), bagaimana bagi umat Islam yang tidak melakukan shalat Jum'at (betapa besar dosanya). Disinilah sebenarnya ujian Tuhan kepada hambanya, bagi mereka yang hanya memilih senengan dunia dan tidak peduli perintah Allah, dan melupakan akhiratnya.

Refrensi:
As-sabtu fil qur'an, mu'jam Al warid, mu'jam Ma'ani.


Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada 2018-12-03. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Penulis: Halimi Zuhdy
Dosen Bahasa dan Sastra Arab (BSA) UIN Malang, Khodim PP. Darun Nun Malang.