Kisah Hamzah Entrepreneur Muda yang Sukses Berawal dari Iseng Buat Sepatu Hingga Tembus Pasar AS

 
Kisah Hamzah Entrepreneur Muda yang Sukses Berawal dari Iseng Buat Sepatu Hingga Tembus Pasar AS

LADUNI.ID, Bandung - Hamzah Naufal Fadhilah (29) Pemuda asal Bandung, Ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ibunya seorang dokter, sedangkan ayahnya pengusaha, semasa kecilnya hidup serba kecukupan dan penuh kebahagiaan dalam keluarga, hingga suatu hari, cobaan menerpa keluarganya. Sang ayah bangkrut. Penghasilan sang ibu pun hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari.

“Saat itu saya masih duduk di bangku SMA,” begitu kata Hamzah mengawali kisah hidupnya.

Dengan kehidupan yang sudah berubah tidak seperti yang serba tercukupi, semangat pantang menyerah untuk mewujudkan cita-cita untuk melanjutkan pendidikannya hingga bertekad untuk mencari biaya kuliah sendiri harus dilakukan.

“Orangtua saya membiayai biaya masuk kuliah, sisanya saya harus berjuang sendiri jika ingin berkuliah,” tutur lulusan Institut Teknologi Nasional (Itenas) jurusan Planologi itu.  

Untuk membiayai kuliah, ia mengerjakan banyak hal. Mulai dari berjualan kaus, hingga menjadi tukang fotocopy untuk teman-temannya.
Pernah suatu hari, ia datang kesiangan ke kampus sambil membawa tas besar berisi barang dagangan dan tas itu terjatuh, dan tepergok oleh dosen. "Saya ditanya, itu isinya apa. Lalu saya jawab barang dagangan," ungkap Hamzah. Akibatnya, dia diusir dari kelas oleh sang dosen, dan terancam tidak lulus mata kuliah tersebut.  

Sebab, saat itu dia sudah melewati batas akhir toleransi absen. Namun teman-teman membela Hamzah. Sang dosen pun luluh setelah mendengar cerita tentang Hamzah. Bahkan, belakangan dosen itu baru menyadari bahwa dia pernah membeli kaus dari Hamzah. Dalam perjalanannya, dosen ini pula yang lalu membimbing Hamzah hingga bisa lulus tepat waktu.

Selepas kuliah ia tidak berminat menjadi pekerja. Ia menganggur sebentar, dan kemudian iseng mengikuti pelatihan sepatu di sebuah lembaga pemerintahan. “Saya tertarik ikut pelatihan karena ada bayarannya Rp 350.000,” tutur dia.

Rupanya, Hamzah dinilai mumpuni, dan ia ditunjuk untuk mengajar pembuatan sepatu di lembaga tersebut. Ia lalu mengerjakan berbagai merek selama empat tahun. Ia lalu berpikir, jika terus mengerjakan milik orang lain, keuntungan terbesar ada di orang lain.
“Capek juga dimarahin orang lain, saya buat Brygan tahun 2015, dan berkembang sampai sekarang,” kata dia.

Bikin brand sendiri Baru-baru ini, Brygan Foot Wear mengeluarkan sepatu untuk perempuan. Baru-baru ini, Brygan Foot Wear mengeluarkan sepatu untuk perempuan.

Seiring berjalannya waktu, ia memutuskan untuk terjun menjadi pengusaha. Dengan modal Rp 1,5 juta dan dua pegawai, Hamzah mengerjakan berbagai permintaan pembuatan sepatu. Hamzah lalu meluncurkan merek sendiri, bernama Brygan Foot Wear pada tahun 2015.

“Saya desain sendiri produknya, saya pasarkan secara online, offline, dan mengikuti berbagai event,” ungkap dia.

Perlahan namun pasti, bisnisnya berkembang. Ia kini telah memproduksi 1.200 pasang sepatu bergaya vintage per bulan. Bahkan dia menerapkan strategi bisnis yang membawanya ke pasar dunia.

“Saya tidak mengambil margin banyak, paling besar Rp 180.000 per pasang. Yang penting banyak orang menggunakan produk saya dan brand saya dikenal orang,” ucap dia.

Dia meyakini, setelah brand-nya dikenal, maka dia akan mempunyai cukup portofolio untuk membuat produk-nya menembus pasar internasional. Pasar internasional Sepatu oxford split toe tersebut kini menjadi salah satu sepatu formal yang diburu kaum milenial. Sepatu oxford split toe tersebut kini menjadi salah satu sepatu formal yang diburu kaum milenial.

 “Saya punya merek lain, Junkardcompany, produk premium saya yang dijual untuk pasar Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Eropa lainnya,” kata Hamzah.

Hingga kini, sepatu Junkardcompany buatannya sudah memiliki delapan desain. Salah satu dari keunikan sepatu ini adalah look yang mahal dengan harga murah.

“Untuk bisa menembus pasar Amerika Serikat dan Eropa saya menggunakan jasa influencer. Saya kirimkan barang, mereka mengenakannya, dan memberikan review,” ucap dia. Tak berapa lama ada beberapa toko di AS dan Eropa yang tertarik dan memajang sepatu dia. “Itu artinya sepatu buatan anak dalam negeri diakui dunia,” ucap Hamzah.

Namun, dia tidak bisa mengembangkan bisnisnya terlalu besar di AS. Sebab di sana terkenal dengan slogan “We are American brand”-nya, sehingga membatasi penjualan produk luar AS. Pernah suatu hari, ia mendapat pesanan 70 pasang sepatu senilai Rp 150 juta. Begitu sepatu siap dikirim, klien-nya di AS mengatakan barang tidak perlu dikirim, karena mendapat teguran dari sejumlah brand lokal AS.

“Uangnya yang Rp 150 juta tidak diambil lagi. Mungkin karena tidak enak udah pesan,” ucap Hamzah.

Hamzah yang menjalankan bisnis tanpa pinjaman dari bank dan investasi dari orang lain ini memiliki sebuah harapan. Ia ingin mendobrak departemen store dengan sistem membeli putus. “Kalau tidak membeli putus, saya rugi. Berbeda dengan store di luar negeri, mereka beli putus,” tutup Hamzah.

 

 

Sumber: Kompas.com