Cerita Kyai Mustofa ketika Kyai dan Santri Melawan Penjajah

 
Cerita Kyai Mustofa ketika Kyai dan Santri Melawan Penjajah
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Rais Syuriyah PBNU KH. Mustofa Aqil Siroj menerangkan sejarah panjang para kyai NU dalam memerdekakan Republik Indonesia di hadapan Gusdurian Bekasi Raya.

“Jenderal Sudirman pernah mendatangi Soekarno dan kemudian dijadikannya sebagai presiden tanpa pemilu. Sedangkan yang mengangkat Soekarno menjadi presiden adalah kyai NU dengan istilah waliyul amri bisy-syaukah,” terang Kyai Mustofa, dalam peringatan Haul Gus Dur ke-9, di Pesantren Motivasi Indonesia (PMI), Cinyosog, Burangkeng, Setu, Kabupaten Bekasi, Senin (7/1) malam.

Selain itu, Kyai Mustofa kemudian melanjutkan, saat kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Belanda bersama tentara sekutu yang jumlahnya ribuan dan dengan senjata yang canggih kembali datang ke Indonesia.

Kedatangan Jenderal Sudirman itu, lanjut Kyai Mustofa, dalam rangka meminta Presiden Soekarno untuk mengirim utusan kepada para kyai sepuh Jawa Timur untuk membuat sikap menghadapi penjajah, melawan atau menyerah.

“Itu artinya, tentara Indonesia belum terkonsolidasi. Dengan bahasa yang lain, tentara tidak mampu menghadapi penjajah,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon ini. Singkat cerita, lanjut Kyai Mustofa, datanglah utusan menghadap KH. Hasyim Asy’ari. Kemudian seluruh ulama se-Jawa dan Madura diundang. Mereka berkumpul di Surabaya pada 21 Oktober 1945.

“Dari Cirebon, para kyai berangkat naik kereta api enam gerbong dipimpin KH. Abbas Abdul Jamil Buntet. Malamnya, para kyai tawajjuh ilallah dan bermunajat kepada Allah, meminta bagaimana sikap untuk menghadapi penjajah,” terang kyai asal Cirebon ini.

Pada waktu subuh, 22 Oktober 1945, ribuan kyai sepakat dengan satu kalimat bahwa melawan penjajah hukumnya wajib bagi orang yang berada dalam radius 86 kilometer. Akhirnya, terciptalah semangat juang yang luar biasa.

“Daerah Pasuruan dibom dan menewaskan sebanyak 30 ribu orang. Banyak di antaranya dari kalangan kyai dan santri. Dari situ, semangat berperang kembali bangkit,” kata Kyai Mustofa.

Oleh karena itu, terjadi perang awal pada 28-30 Oktober 1945. Tentara sekutu banyak yang mati. Pada 1 November 1945, tentara sekutu meminta gencatan senjata. Kemudian Presiden Soekarno datang ke Surabaya dan menandatangani perjanjian gencatan senjata itu.

“Sorenya, komandan tentara sekutu Jenderal Mallaby tewas. Mobilnya dilempar granat. Siapa yang melempar? Santri bernama Harun. Dia bukan tentara dan bukan TNI,” terang Ketua Umum PB Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) ini.

Menurut kesimpulan Kyai Mustofa, para kyai NU telah berjuang dengan sangat luar biasa. Karena Jenderal Mallaby tewas di tangan Harun, maka mereka marah dan membuat ultimatum. Semua diminta untuk menyerahkan senjata, ditunggu sampai batas akhir pada 10 November. Namun, perlawanan dari kaum santri justru kian bertambah semangat.

“(Dan) terjadilah perang yang disebut Hari Pahlawan. Ini kan luar biasa,” kata Kyai Mustofa.

Ia juga mengatakan secara tegas bahwa tidak mungkin ada 10 November sebagai Hari Pahlawan jika tidak ada peristiwa pada 22 Oktober. Tidak mungkin juga ada peristiwa 22 Oktober kalau tidak ada kumpulannya para kyai.

“Alhamdulillah, oleh pemerintah kita pada tanggal tersebut dijadikan sebagai Hari Santri Nasional. Itu presiden banyak tidak ada yang mengungkit. Sejak Soekarno hingga SBY tidak ada yang membahas 22 Oktober sebagai hari besar kaum santri,” jelasnya.

Untuk menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri, para kyai dikumpulkan termasuk Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan pejabat pemerintahan lainnya. “Kyai Said usul dijadikan hari santri dan kemudian disetujui,” pungkas Kyai Mustofa.


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 9 Januari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar