Iman-Islam, Antara Dimensi Lahir dan Batin

 
Iman-Islam, Antara Dimensi Lahir dan Batin

LADUNI.ID - Banyak hal dalam hidup yang tidak bisa dijangkau dengan indera dan nalar kita. Bahkan kita tidak tahu jumlah rambut di kepala kita, jumlah bulu di sekujur organ tubuh kita. Bahkan kita tidak tahu apa yang akan terjadi di hari esok. Bahkan kita tahu isi hati isteri atau suami kita. Bahkan kita tidak tahu isi hati kita sendiri. Manusia serba misteri. Alexis Carrel menulis buku Man: The Known.

Makhluk yang serba misteri itulah yang kemudian diberi agama. Manusia makhluk jasmani-ruhani. Jasadnya tangible, jiwanya intangible. Siapa yang bisa memastikan isi hati seseorang? Tidak ada satupun, kecuali penciptanya. Karena ada dimensi batin dalam diri setiap jiwa, selalu ada yang gaib dalam agama seseorang. Selalu ada yang tak terjangkau dalam Iman-Islam seseorang. Iman sering didefinisikan sebagai "keyakinan di dalam hati yang diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dalam perbuatan." Dalam iman ada aspek lahir dan batin, tetapi aspek batinnya lebih banyak. Karena itu ada kategori rumit di sini yaitu munafik. Munafik adalah pemilik sifat nifaq, yang di banyak kitab tafsir didefinisikan sebagai 'idzharu khilafi ma fi bathnih' yaitu tampak luar beda dalam. Sebagaimana iman, islam juga terdiri dari aspek lahir dan batin, tetapi lahirnya lebih banyak. Dari lima rukun Islam, hanya satu yang bobot batinnya dominan yaitu puasa. Selebihnya: syahadat, salat, zakat, dan haji adalah jenis-jenis ibadah kasat mata. Secara fikih, salat, zakat, dan haji orang yang tidak khusyu', tidak ikhlas, tidak lillahi ta'ala tetap sah asal memenuhi syarat dan rukun. Sebab, khusyu', ikhlas, dan lillahi ta'ala adalah kualifikasi batin yang tidak terjangkau fikih formal. Hukum hanya menjangkau aspek lahir. Rasulullah bersabda: nahnu nahkumu bid dzawahir (kita hanya berhukum dengan apa yang tampak). Yang tidak tampak bukan urusan manusia, tetapi Allah.

Islam berurusan dengan banyak hal yang kasat mata. Islam bersinggungan dengan simbol, identitas, syi'ar dan ornamen. Sementara iman hampir sebagian besar berurusan dengan hal-hal yang tidak kasat mata karena terletak di dalam dada. Iman tidak bisa diukur, hanya Allah yang tahu kadar iman seseorang. Islam bisa diukur dengan identitas kasat mata, meskipun bersifat nisbi. Seseorang bisa saja mengenakan identitas Islam: berpakain ala orang Islam, ber-KTP Islam, bahkan menguasai kitab suci orang Islam tetapi dia bukan seorang Muslim. Dulu ada orang namanya Van Der Plas, menyamar sebagai orang Islam, berpakaian ala orang Islam, bahkan fasih mengutip al-Qur'an. Di hadapan Hadlratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari, dia tersungkur setelah dilantunkan ayatul munafiq. Dia lantas mengaku bukan bukan seorang Muslim, tetapi seorang orientalis yang menyamar untuk memata-matai gerakan Islam.

Orang berpakaian ala Islam, belum tentu orang Islam. Orang berpakaian rabi Yahudi, belum tentu orang Yahudi. Begitu juga orang berpakaian ala Nasrani belum tentu Nasrani. Sekali lagi: identitas bersifat nisbi bahkan bisa bersifat manipulatif.

Sekarang ini banyak orang Islam sibuk dengan pakaian. Identitas dijunjung tinggi di atas nilai. Ada ormas Islam khawatir pakaian bisa merusak akidah seseorang. Saya bingung, adakah selembar kain yang nisbi dan manipulatif itu bisa merusak isi dada orang? Simplistis sekali mengidentikkan pakaian dengan keyakinan atau pengakuan terhadap keyakinan. Imanmu bisa utuh meski berganti pakaian sepuluh kali sehari. Orang Islam tidak berarti menjadi Nasrani begitu mengenakan kostum sinterklas. Orang Kristen tidak berarti menjadi Muslim begitu pakai jubah dan masuk masjid.

Suatu saat, Usamah bin Zaid putra Zaid bin Haritsah bekas anak angkat Rasulullah pergi ke medan laga melawan kaum musyrik. Dalam suatu duel, dia dihina dan marah. Dia jatuhkan musuhnya. Ketika pedang terayun, lawannya berteriak dan mengucapkan syahadat. Usamah tidak peduli dan memenggal kepala musuhnya. Sahabat menegur dan mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah marah dan memanggil Usamah. Usamah membela diri dan menyatakan bahwa dia tetap membunuh orang yang mengucapkan syahadat karena takut mati, bukan karena tulus masuk Islam. Rasulullah lantas dengan keras menegur: "Kalau begitu kamu harus belah dadanya." Lantas turunlah QS. an-Nisa' ayat 94.

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu pergi berjuang di jalan Allah, waspadalah, jangan sampai kamu menuduh orang yang mengucap salam (masuk Islam) dengan ucapan: 'Kamu bukan mukmin!' karena mengejar tujuan dunia."

Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini, bahkan kita tidak tahu isi hati seseorang yang mengaku Islam atau sebaliknya. Orang bisa mengaku Islam tetapi bukan Muslim atau sebaliknya. Karena itu bersandar kepada pakaian untuk menilai Iman-Islam seseorang adalah sebenar-benarnya pendangkalan terhadap agama dan nalar.

Oleh: M Kholid Syairozi

Sekretaris Jenderal PP ISNU