Memeriksa Twet MS Kaban: Cheng Ho Jajah Nusantara?

 
Memeriksa Twet MS Kaban: Cheng Ho Jajah Nusantara?

LADUNI.ID, Jakarta - "Cheng Ho pernah bawa puluhan kapal lengkap dgn pasukan utk serang Majapahit krn tdk mau tunduk bayar upeti pada kaisar China. Era Pres Jkw mendarat dgn aman dan tenang ribuan orang RRC di Morowali pake pesawat RR China Airline. Apakah tampi lagil Gajah Mada dgn Bhayangkaranya."

Twet dari akun resmi Pak MS Kaban tersebut berseliweran di twetland saya. Tentu saja ada yang membantah. Ada pula yang mendukungnya. Khas cebong dan kampret yang kerap kali adu jempol di media sosial.

Hasil gambar untuk twitter MS kaban tentang cheng ho

Namun, bukan perdebatan ala Cebong dan Kampret tersebut, yang menarik perhatian saya. Analogi historisnyalah yang membuat kening saya berkerut. Benarkah muhibah Cheng Ho ke Nusantara pada abad 15 itu memiliki misi ekspansi? Atau dengan kata lain ingin melakukan penjajahan sebagaimana yang dimaksud twet mantan menteri di atas?

Kedatangan Cheng Ho dengan armada militer laut yang besar memang membuat beberapa peneliti berkesimpulan demikian. Misi pelayaran Cheng Ho adalah bentuk purwakolonialisme maritim dari Dinasti Ming. Kesimpulan demikian dapat kita baca dalam riset Geoff Wade, "The Zheng He Voyages: A Reassessment" dalam Journal of The Malaysian Branch of The Royal Asiatic Society, Vol. LXXVIII Pt. 1 (2005). Pendapat yang sama juga bisa kita baca dari penelitian lainnya. Seperti halnya yang dilakukan Dr. Bokwahan dari Rusia dan Pan Hui Li dari Vietnam pada 1979. 

Benarkah hasil penelitian demikian? Tentu harus kita periksa lebih lanjut.

Kolonialisme, menurut Andrew Heywood adalah suatu teori atau praktik mengambil alih kendali sebuah wilayah asing dan mengubahnya menjadi koloni (Politics, 1997: 116). Dari definisi yang demikian, tentu saja anggapan misi Cheng Ho sebagai bentuk kolonialisme itu patut diragukan. Hal tersebut tak sesuai dengan politik luar negeri Dinasti Ming, khususnya di kala misi Cheng Ho dijalankan (1405-1433).

John King Fairbank dalam "A Preliminary Framework" menyebutkan semenjak Dinasti Qin, kekaisaran China membangun pandangan dan tatanan dunia Sinosentris. China sebagai pusat alam semesta. Kerajaan Tengah. Sang kaisar adalah Putra Langit yang menguasai semua yang berada di bawah langit.

Dari pandangan tersebut, pola hubungan luar negeri China masa itu terbagi dalam tiga zona. Yang pertama adalah Zona Sino sendiri yang menyerahkan upeti. Zona ini meliputi daerah yang memiliki budaya mirip dengan China seperti Korea dan Annam. Sedangkan yang kedua adalah Zona Asia Dalam yang terdiri dari orang-orang non-China yang nomadik atau semi-nomadik dari Asia Tengah. Mereka juga dikenai kewajiban upeti.

Sampai di sini apakah Nusantara masuk pada dua zona yang wajib membayar upeti sebagaimana twet di atas? Ternyata tidak. Nusantara, yaitu kerajaan Sriwijaya dan Jawa sendiri tergolong pada zona ketiga (Zona Luar). Upeti yang mereka serahkan hanya saat mengadakan perdagangan. Pendekatan yang dilakukan melalui pola non-intervensi. Seperti halnya menjalin perdagangan, penukaran hadiah hingga diplomasi. (lihat The Chinese World Order: Traditional China's Foreign Relations, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1968).

Selain itu, beberapa argumentasi yang diajukan Wade yang menuduh Cheng Ho melakukan misi kolonialisme juga bermasalah. Sejumlah depot (guan-chang) yang dibangun oleh Cheng Ho, dianggap oleh Wade sebagai pangkalan militer. Padahal dalam catatan Ma Huan, jelas jika depot tersebut merupakan gudang penyimpanan barang-barang dagang.

Begitu juga pandangan Wade yang menyebut beberapa aksi militer yang dilakukan di Sumatera, Jawa, Sri Langka, dan Su-gan-la Samudera sebagai sebagai bukti kolonialisme. Namun, menurut Tan Ta Sen, serangan tersebut berniat baik hingga untuk membela diri. Misalnya, penangkapan Chen Zuyi di Palembang bertujuan untuk mengurangi aksi perompakan bajak laut. Justru Cheng Ho malah mengampuni Raja Barat di Jawa yang telah membunuh 170 pasukannya. (Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Asia Tenggara, Tan Ta Sen, 2018: 234).

So, twet tersebut, hanyalah ghotak-ghatik matuk. Tak didukung oleh argumentasi yang kokoh. Legitimasi historis yang digunakan hanya untuk membungkus kritik, jika tak mau disebut nyinyir, terhadap pemerintah saat ini.

Jika pernyataan awalnya sudah bermasalah, bagaimana dengan pernyataan selanjutnya? Bisa jadi bermasalah juga. 

Penulis: Ayung Notonegoro