Belajar dari Kisah Seorang Pemuda yang Memburu Ridha Allah

 
Belajar dari Kisah Seorang Pemuda yang Memburu Ridha Allah

إِنَّ الْحَمْدَلِلهِ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَث

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْ اللهَ، اِتَّقُوْ اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، أَعُوْذُبِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ، صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ

Ini kali yang ke-9 tentang materi khutbah terkait dengan life begin at forty, kehidupan dimulai pada usia 40 tahun. Merujuk pada surah al-Ahqaf ini, yang memberikan panduan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim yang sudah berusia 40 tahun keatas, ada 6 poin yang sudah ditera di dalam ayat ini

 رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Rabbi awzi’ni an asykura ni’mataka allati an’amta alyya,  pandai bersyukur. Yang kedua, wa ‘ala walidayya,  termasuk berbakti kepada orang tua. Yang ketiga, wa an a’mala shalihan tardhahu, beramal saleh yang diridhai Allah. Yang keempat, wa ashlihli fi dzurriyati, menggagas kedepan keluarga yang baik. Yang kelima, inni tubtu ilaika, segera bertaubat secara totalitas. Terakhir, bisa kembali ke hadirat Allah dengan happy ending, khusnul khatimah, wa inni min al-muslimin.

Pembicaraan masih berkutat pada yang ketiga, wa an a’mala shalihan, oleh khutbah kemarin diilustrasikan dalam kepatuhan sami’na wa atho’na. Seorang muslim harus mempunyai komitmen sportif. Ada treatment-treatment yang betul-betul teologis. Pernyataan-pernyataan ridha terhadap apa yang ditera, yang ditausiahkan oleh Allah. Ridha total terhadap apa yang disampaikan oleh Hadratu Rasul Muhammad Saw. dengan berbagai kisah sahabat kemarin.

Kelanjutannya adalah ini, wa an a’mala shalihan tardhahu. Diangkat, bagaimana memburu ridha Allah yang dilakukan oleh seorang pemuda cowok dan cewek. Tersebutlah di pinggiran masjid Nabawi itu ada ash-Shuffah. Shuffah itu emperan masjid yang dipakai pondokan oleh para sahabat berjumlah sekitar 400 orang, dan ketua pondoknya termasuk; Abdurrahman ibn Shakhr atau dikenal dengan Abu Hurairah.

Mereka adalah orang-orang yang sangat patuh kepada Allah tapi mereka ditakdir sebagai orang yang miskin, tidak mempunyai keluarga atau keluarganya sedikit, tidak mempunyai kekayaan sehingga kerja keras dan seadanya. Semua total hidupnya adalah untuk ibadah dan pengabdian kepada agama.

Salah satu penghuni ashabu ash-Shuffah yaitu Zahid ibn Abdillah. Seperti biasa, Hadaratu Rasul menyambangi santrinya. Di pinggiran itu, ada Zahid, seorang pemuda  yang sedang mengasah pedang, sendirian. Rasul menghampiri dan bertanya, “Masih sendirian, Zahid?”

Tujuan Rasulullah menyapa seperti itu, ternyata di luar dugaan, Zahid memberi jawaban bukan seperti yang dimaksudkan Rasulullah. Tapi ia menjawab dengan jawaban yang sangat imani, yang sangat takwa, “Tidak ya Rasulullah, saya sekarang tidak sendirian, Allah ada bersama kami.”

Subhanallah, Rasul mempertegas pertanyaannya dengan, “Maksud saya, kamu kok belum nikah, masih sendirian?” “Iya, ya Rasulullah saya menyadari kok, rupa saya jelek, miskin lagi, siapa yang mau dengan saya.”

Hadratu Rasul sebagai pimpinan, sebagai orang hebat yang mengerti keadaan itu, “Loh, asal kamu mau saja, mau nggak saya lamarkan?” Dengan hati bertanya-tanya, Zahid mengangguk, iya. Rasul menyuruh sahabat pribadi membuat surat lamaran, ditujukan kepada Zulfa binti Sa’ad. Sa’ad itu konglomerat, pedagang Madinah yang sangat kaya raya dan Zulfa adalah anaknya yang sangat cantik sekali.

“Ini surat berikan kepada Sa’ad, dia punya gadis, bagus dan cantik sekali.” Zahid membawa surat Rasulullah, mertamu ke rumah Sa’ad dan menyampaikan surat itu. Dibacalah oleh Sa’ad bahwa isinya ‘Zahid dengan rekomendasi Rasulullah untuk melamar anaknya Zulfa’. Spontan karena penampilan si Zahid ini jelek, miskin, penghuni shuffah, (Sa’ad) menolak.

Dialog terjadi, bahkan dengan nada utuh disampaikan kepada anakya, Zulfa, “Zulfa sini, ini pemuda, si Zahid melamar kamu, gimana kamu?” Subhanallah, Zulfa menangis, menolak bukan main. Wajarlah, anak konglomerat, kaya, cantik, terhormat, lalu dilamar oleh pemuda jelek dan miskin, (Zulfa) nangis, tidak mau. Begitu selesai, Zahid pamit dan secara nyeletuk Sa’ad menyampaikan begini, “Sampaikan maaf kami kepada Rasulullah, bahwa kami belum bisa menerima lamaran ini.” “Iya.”

Begitu mendengar kata-kata “Rasulullah”, Zulfa berbalik 180 derajat, “Lho itu tadi yang melamarkan Rasulullah? Yang memilihkan itu Rasulullah?” Berbalik 180 derajat,  “Iya, saya mau bapak, itu pilihan Rasulullah, saya mau, saya mau.”

Terjadilah dialog antara bapak dengan anak, “jangan nak, dia jelek orangnya, miskin pula.” “Nggak, tapi itu pilihan Rasulullah, saya mau, saya mau.” Perdebatan antara bapak dan anak, berakhir karena Zulfa membacakan ayat;

بسم الله الرحمن الرحيم

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إلاَّ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚوَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Jawaban seorang mukmin, ketika berhadapan dipanggil Allah dan Rasul-Nya untuk diberikan sebuah keputusan, li yahkuma bainahum, tidak boleh ada jawaban lain kecuali in la an yaqulu sami’na wa atha’na dan itulah orang yang berbahagia.

Zulfa membacakan ayat ini di hadapan bapaknya, dan bapaknya mencabut keputusan (menjadi) “Iya. Atas nama Allah, atas nama Rasulullah, kamu saya terima, lamaran kamu saya terima.” Subhanallah, Zahid pulang dengan hati berbunga-bunga, Rasul sudah tahu, “Kok terlihat berseri-seri?” “Iya karena lamaranku diterima, hari sudah ditentukan.”

Maaf, sebagai pemuda yang miskin, tidak mempunyai apa-apa, jelek lagi, maka dia untuk merencanakan pernikahan, hari yang ditentukan belum punya persiapan, termasuk persiapan mahar atau maskawin, minta bantuan kepada Abu Bakar, kepada Usman ibn Affan, meminta bantuan dana dari Abdurrahman ibn Auf.

Betul, hari itu akad nikah dilakukan dilakukan. Tetapi, bukan main terkejutnya Zahid, ketika baru akad nikah tadi itu, sore hari sudah banyak sahabat beramai-ramai, mempersiapkan segalanya. Ditanya “Ada apa cak? Di masjid kok ramai-ramai, ada apa ini?” “Iya, nanti malam kita pergi perang, melawan orang kafir sini yang khianat-khianat.” “Hah, perang?” “Iya.” “Kalau begitu saya ikut.”

Para sahabat yang masih muda-muda mencegah, “Kamu nggak usah ikut, kamu kan nanti malam berbulan madu.” Sesungguhnya jika Zahid ini tidak ikut berperang karena sedang berbulan madu malam pertama, para sahabat termasuk Rasulullah sendiri memaklumi karena malam pertama. Tetapi, lagi-lagi Zahid tidak mau dinasehati untuk tinggal dirumah dan berbulan madu dengan istrinya, tetap ngotot ikut perang. Dan para sahabat diam, setelah Zahid membacakan ayat al-Quran sebagai dasarnya ‘mengapa ikut perang dan mengapa tidak tinggal di rumah untuk berbulan madu’;

بسم الله الرحمن الرحيم

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Pada surah at-Taubah ini yang menunjukkan bahwa, ukuran orang loyalitas terhadap agama, ukuran orang yang benar-benar takwa dan memburu ridha Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan Allah dan Rasul sebagai yang paling utama, dibanding kepentingan ayah, anak, istri. Lah ini, wa azwajukum, dibanding malam pertama, masih memilih Allah dan Rasul, berjihad. Subhanallah, para sahabat terdiam, dan benar-benar Zahid ikut perang. Zahid ikut perang, tidak jadi berbulan madu karena memilih Allah dan Rasul-Nya.

Untuk itu, dengan ketulusan memilih Allah, Allah memberikan anugerah. Banyak orang kafir yang mati dibunuh oleh tangan Zahid ibn Abdillah, dan perang selesai. Hadaratu Rasul Nabiyullah Muhammad Saw. biasa menginspeksi setelah perang, dicari, dicari, dan ditemukan Zahid terbunuh diberi karunia mati syahid.

Hadaratu Rasul yang disitu melihat jasad Zahid yang bersimbah darah. Kemudian setelah melihat secara seksama, tiba-tiba Rasulullah memejamkan mata dan menengok ke kiri, tidak lagi melihat jasad Zahid, lalu ditanya, “Ya Rasulullah, mengapa engkau memejamkan mata dan menengok ke kiri?” “Ya, saya malu melihat bidadari-bidadari surga, saya melihat betis bidadari surga yang tersingkap menjemput ruhnya Zahid melayang, saya malu melihat kilau betisnya yang indah, maka saya memejamkan mata dan menengok ke kiri.”

Saya (khatib) tidak tahu, apakah fikih di pesantren tentang nadhor melihat wanita yang bukan mahram memang tidak boleh. Kalau ada pertanyaan, andai bidadari turun dari langit, dalam keadaan kelihatan betisnya, auratnya. Lalu dilihat, itu termasuk dosa apa tidak ya? Kok tidak ada bahasan fikih seperti itu.

Tetapi Hadaratur Rasul mencontohkan, “Saya melihat betis bidadari yang tersingkap, menjemput ruhnya Zahid melayang menuju surga, lalu saya malu melihat kaki wanita itu, lalu saya memejamkan mata dan menengok ke kiri.”

Dengan begitu, Hadaratu Rasul berdiri memberikan sambutan. Si Zulfa mau (menikahi Zahid) karena surah an-Nur ayat 51, kemudian Zahid benar-benar memilih perang ketimbang berbulan madu berdasarkan at-Taubah ayat 24. Kini Rasulullah Saw. memberi pernyataan;

وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتًۢا ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

“Kalian jangan sekali-sekali berprasangka bahwa orang yang mati syahid, itu mati. Zahid adalah hidup, diberi servis yang megah di sisi Allah. Tidak sekedar itu, farihina bi ma atahumullahu min fadlih, digembirakan disana oleh ridha Allah, fadhal Allah dan seterusnya.

Rasulullah berdalil juga untuk memberi sambutan kepada kematian Zahid yang dijemput bidadari langsung. Subhanallah, berita disampaikan kepada istrinya yang belum diapa-apakan, Zulfa binti Sa’ad, apa jawaban Zulfa.  “Jika suamiku dinyatakan oleh Rasulullah sebagai penghuni surga karna mati syahid dan bidadari-bidadari itu menyambut dia. Demi Allah, saya tidak mau kalah dengan bidadari surga, saya ingin mempercantik diri dengan amal-amal saleh yang diridhai Allah, tidak apa-apa saya tidak bisa mendampingi Zahid di dunia, tapi saya akan mendampingi Zahid di surga nanti.” Mudah-mudahan bermanfaat.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْم، وَنَفَعَنابه وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم، فتقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ تعالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ. البَرُّ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ، و الحمد للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

(Tausiyah ini diampu oleh KH. A. Musta’in Syafi’ie. Ditranskip oleh: Falikh. Sumber: Tebuireng Online)