Hukum Bersenggama di Alam Terbuka Menurut Ulama

 
Hukum Bersenggama di Alam Terbuka Menurut Ulama
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Hukum bersenggama di alam terbuka menurut ulama masa kini adalah subjek yang kompleks dan terbuka untuk penafsiran yang beragam. Dalam pandangan kebanyakan ulama, melakukan hubungan intim di tempat terbuka seperti lapangan atau hutan merupakan tindakan yang tidak pantas dan tidak dianjurkan dalam agama. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan moral dan etika, di mana privasi dan kehormatan individu harus dijaga dengan baik.

Selain itu, dalam beberapa konteks hukum Islam, melakukan hubungan intim di tempat terbuka dapat dianggap sebagai perbuatan yang melanggar tata tertib masyarakat atau hukum yang berlaku. Ini karena perilaku tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan kesusilaan yang dijunjung tinggi dalam ajaran agama Islam.

Namun demikian, terdapat juga pandangan yang lebih toleran di kalangan ulama masa kini. Mereka berpendapat bahwa asalkan hubungan intim dilakukan dengan kesepakatan dan tidak melanggar hukum atau norma-norma yang berlaku, tempatnya tidak selalu menjadi faktor penentu. Dalam pandangan ini, yang lebih penting adalah adanya kesadaran akan tanggung jawab moral dan etika yang diemban oleh individu dalam menjalani kehidupan berkeluarga.

Dalam kesimpulannya, meskipun pandangan ulama masa kini mengenai hukum bersenggama di alam terbuka bisa bervariasi, umumnya mereka cenderung menekankan pentingnya menjaga kesucian, moralitas, dan etika dalam setiap tindakan, termasuk dalam hubungan intim. Privasi, kesepakatan bersama, dan penghargaan terhadap norma-norma sosial merupakan faktor-faktor yang sering kali dipertimbangkan dalam menilai kepatutan atau tidaknya melakukan hubungan intim di tempat terbuka menurut pandangan Islam kontemporer. Akan tetapi ada pendapat bahwa hukum jima' dengan istri di tempat terbuka adalah boleh, selama betul-betul aman tidak ada orang lain yang melihatnya. Berikut dalilnya:

- Faidul Qodir :

٣٤٠ - (إذا أتى أحدكم أهله) أي أراد جماع حليلته (فليستتر) أي فليتغط هو وإياها بثوب يسترهما ندبا وخاطبه بالستر دونها لأنه يعلوها وإذا استتر الأعلى استتر الأسفل (ولا يتجردان) خبر بمعنى النهي أي ينزعان الثياب عن عورتيهما فيصيران متجردين عما يسترهما (تجرد العيرين) تشبيه حذفت أداته وهو بفتح العين تثنية عير وهو الحمار الأهلي وغلب على الوحشي وذلك حياء من الله تعالى وأدبا مع الملائكة وحذرا من حضور الشيطان فإن فعل أحدهما ذلك كره تنزيها لا تحريما إلا إن كان ثم من ينظر إلى شيء من عورته فيحرم وجزم الشافعية بحل نظر الزوج إلى جميع عورة زوجته حتى الفرج بل حتى ما لا يحل له التمتع به كحلقة دبرها وخص ضرب المثل بالحمار زيادة في التنفير والتقريع واستهجانا لذلك الأمر الشنيع ولأنه أبلد الحيوان وأعدمه فهما وأقبحه فعلا وفي حديث الطبراني والبزار تعليل الأمر بالستر بأنه إذا لم يستتر استحيت الملائكة فخرجت فإذا كان بينهما ولد كان للشيطان فيه نصيب هذا لفظه قال الهيتمي: وفي إسناد الطبراني مجهول وبقية رجاله ثقات وكما يندب الستر يندب تغطية رأسه وخفض صوته لما في خبر يأتي أن المصطفى صلى الله عليه وسلم كان يفعله

Fokus: haram jika ada yang lihat

إن كان ثم من ينظر إلى شيء من عورته فيحرم

- Kitab al-majmu' :

المجموع ، ج ٢ ، ص ٨٠

* (فَرْعٌ) قَالَ الْعَبْدَرِيُّ مِنْ أَصْحَابنَا فِي كِتَابِهِ الْكِفَايَةِ يَجُوزُ عِنْدَنَا الْجِمَاعُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَمُسْتَدْبِرَهَا فِي الْبِنَاءِ وَالصَّحْرَاءِ قَالَ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَدَاوُد وَاخْتَلَفَ فِيهِ أَصْحَابُ مَالِكٍ فَجَوَّزَهُ ابْنُ الْقَاسِمِ وَكَرِهَهُ ابْنُ حَبِيبٍ وَنَقَلَ غَيْرُ العبدرى من اصحابنا ايضا انه لاكراهة فِيهِ عِنْدَنَا لِأَنَّ الشَّرْعَ وَرَدَ فِي الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Berkata Imam Al-'Abdariy, dari kalangan Ashab Syafi'i di dalam kitab beliau Al-Kifayah:

"Boleh menurut madzhab kami madzhab Syafi'i menjima' (istri) dengan menghadap kiblat dan atau membelakangi kiblat, di dalam bangunan (rumah) dan atau di tempat terbuka (di pantai atau di tengah hutan misalnya...) ". Hukum boleh ini juga dikatakan oleh Imam Abu Hanifah (Imam Hanafiy), Ahmad dan Dawud. Di kalangan Ashab Malik (madzhab Maliki) ada perbedaan pendapat. Imam Ibnul Qosim memperbolehkan, sementara Imam Ibnu Habib memakruhkan. Ulama selain Imam Al-'Abdariy, dari kalangan Syafi'iyyah juga menukil pendapat bahwa jima' dengan menghadap kiblat dan atau membelakangi kiblat, di dalam bangunan (rumah) dan atau di tempat terbuka, tidak ada kemakruhan karena kemakruhan yang datang dari syara' (hanya) pada masalah kencing dan buang air besar."

- Kitab fatwa an-nawawi, hal 190 :

مسألة: هل يكره الجماع مستقبل القبلة في الصحراء، أو في البنيان، وهل فيه خلاف لأحد من العلماء؟

الجواب: لا يكره ذلك؛ لا في الصحراء، ولا البنيان؛ هذا مذهب الشافعي والعلماء كافةً، إِلا بعضَ أصحاب مالك

Masalah: Apakah dimakruhkan jimak menghadap qiblat di padang pasir (bukan dalam bangunan) atau dalam bangunan? Dan apakah dalam masalah ini ada khilaf ulama?

Jawab: tidak makruh demikian itu; baik jimak menghadap qiblat di padang pasir dan tidak pula makruh dalam bangunan. Inilah madzhab Syafi'i dan Ulama keseluruhan, kecuali sebagian ashhab (santri-santri) imam Malik. Wallahu A’lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 14 Januari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar