Soal Baiat, Beginilah Menurut Penjelasan Ulama Masa Kini

 
Soal Baiat, Beginilah Menurut Penjelasan  Ulama Masa Kini

Baiat secara harfiah berarti kesepakatan atau transaksi dan perjajian. Kata ini memiliki akar yang sama dengan baya’a yang berarti menjual. Orang arab biasa mengakatan jarat al-ba’iatu fi as-suqi, yang artinya kesepakatan telah dilakukan di pasar. Pastiya baiat mengandaikan keterlibatan dua belah pihak. Tidak ada baiat yang dilakukan hanya oleh seseorang atau sepihak saja.

Sepanjang sejarahnya, term baiat digunakan dalam berbagai wacana keislaman dari keimanan (aqidah), politik (siyasah), hingga mistik Islam (thariqah). Kata baiat pertama kali digunkan dalam khazanah Islam oleh Rasulullah SAW ketika mengikat janji dengan para jama’ah haji dari Madinah yang terkenal dengan Baiat Al-Aqabah. Baiat alAqabah ini terjadi secara bergelombang selama tiga tahun berturut-turut.

Baiat al-Aqabah pertama terjadi pada tahun 11 dari kenabian. Setiap musim haji Rasulullah SAW (dan para segenap pendahulunya) adalah tuan rumah bagi para peziarah yang datang dari berbagai penjuru. Seperti biasanya, Rasulullah selalu menemui para tamu yang datang untuk mengunjungi ka’bah. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk berdakwah mengajak mereka kepada Islam dan menyeru mereka meninggalkan penyembahan berhala. Satu rombongan pertama yang di ambil janji adalah kaum Aus dan Khazraj yang datang dari madinah dengan jumlah tujuh orang. Rasulullah kemudian mengambil janji mereka untuk mengikuti ajaran Islam, dan mereka pun menerimanya. Hal ini terjadi ketika mereka berada di di Aqabah, salah satu tempat melontar jumrah. Karena itulah kejadian ini dalam sejarah dikenal dengan Baiat Al-Aqabah.

Pada musim haji tahun berikutnya, 12 orang Ansar telah datang ke Makkah. Mereka sengaja menemui Rasulullah SAW dan meminta baiat untuk masuk Islam. Kiranya mereka telah mendapat banyak informasi tentang kenabian Muhammad SAW dan ajaran islam yang dibawanya dari temanteman mereka sebelumnya. dalam baiatnya Rasulullah SAW berkata kepada mereka “Silahkan kalian berba’iat kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, mencuri, berzina, membunuh anak-anak kalian, membuat kedustaan (fitnah) dengan tangan dan kaki-kaki kalian, kericuhan di antara kalian dan menentangku dalam kebaikan. Barangsiapa yang menepati sumpah ini, niscaya ia akan mendapatkan pahala dari sisi Allah. Namun, barangsiapa melanggarnya, maka keputusannya adalah hanya pada Allah. Dia bisa mengazabnya dan juga bisa mengampuninya.” Demikian baiat ini usai dan untuk menambah pengetahuan tentang keislaman mereka di Madinah, Rasulullah SAW mengutus sahabat Musab bin Umair untuk menyertai mereka dan tinggal di sana. Nampaknya usaha sahabat Musab bin Umair selama tinggal di Madinah mendapat cukup sukses. Pada musim haji selanjutnya, orang madinah yang memeluik Islam dan berniat berbait kepada Rasulullah SAW berlipat-lipat.

Di bawah pimpinan Al-Barra ibn Ma’mur, pada tahun haji selanjutnya tepatnya tahun ke-13 kenabian, sekumpulan sahabat Ansar berjumlah 70 orang lelaki dan dua orang wanita datang menemui Rasulullah SAW secara sembunyi-sembunyi. Kali ini mereka berjanji untuk menolong dan mendukung dan mempertahankan dakwah Rasulullah saw, sebagaimana mereka mempertahankan wanita dan anak-anak mereka sendiri. Kemudian mereka kembali ke Madinah setelah Rasulullah SAW memilih 12 pemimpin dari kalangan mereka sendiri sebagai juru bicara menyampaikan kepada kaum-kaumnya. Inilah kali pertama istilah baiat digunakan dalam Islam dalam konteks aqidah dan keimanan.

Selanjutnya baiat yang terkenal dalam sejarah Islam adalah baiat ar-ridhwan. Baiat ar-ridhwan terjadi pada tahun bulan Dzul Qa’dah tahun 6 hijriah. Setelah enam tahun hijrah ke Madinah Rasulullah SAW dan umat Islam lainnya sangat merindukan Ka’baitullah. Ingin sekali mereka datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah. Begitu rindunya hingga suatu malam Rasulullah SAW bermimpi memasuki Baitullah al-Haram bersama para sahabatnya dengan rambut bercukur dan rasa aman tentram. Hal ini lah yang kemudian mendorong Rasulullah dan 1500 Muslim dari Madinah berangkat untuk menunaikan ibadah semata, bukan untuk berperang maupun menaklukkan Makkah. Sehingga mereka tidak membawa senjata peperangan kecuali hanya beberapa pedang bersarung yang difungsikan untuk menggembala.

Sesampainya di daerah Usfan, Rasulullah mendapatkan laporan bahwa kaum Quraisy telah mengetahui kedatangannya, mereka berkumpul dan bersumpah untuk tidak membiarkan orang-orang Muslim memasuki kota Makkah. Meski demikian Rasulullah SAW tetap melanjutkan perjalanan hingga sampailah di daerah Hudaibiah dan datanglah utusan bani Khuzaah menemui Rasulullah SAW bertanya tentang tujuan kedatangannya. Rasulullah SAW pun menjawab bahwa kaum Muslimin datang untuk menziarahi Baitullah dan mengerjakan umrah. Lalu mereka kembali dan memberitahu kaum Quraisy: Nampaknya orang-orang Qurasiy tidak mau mengerti mereka tetap menuduh umat Islam ingin menguasai mereka dengan cara berperang.

Untuk keperluan inilah kemudian Rasulullah SAW mengirim sahabt Usman bin Affan menemui kaum Quraisy Mekkah dengan harapan menghilangkan kesalahpahaman. Tetapi lama sahabat Usman tidak kunjung kembali hingga tersebar isu bahwa Usman telah dibunuh. Seketika itu, Rasulullah SAW berkata “Kita tidak akan bergerak memerangi mereka (quraisy)”. Bahkan Rasulullah SAW mengajak semua orang Islam berbaiah untuk berjihad dan mati syahid di jalan Allah. Mereka mengambil janji setia di bawah pohon (samurah) untuk tidak lari dari medan perang. Baiat yang sangat emosional ini diabadikan dalam Surat al-Fath ayat 18 yang berbunyi:

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).

Karena ridha Allah terhadap semua orang Muslim yang mengambil berbait inilah yang kemudian dikenal dengan baiatur ridhwan.

Mengetahui hal ini kelompok Quraisy merasa gentar dan sangat takut. Sebagain iwayat mengatakan, karena ketakutan itulah mereka meleaskan kembali Usman bin Affan yang telah di tawan. Selain itu mereka mencoba melakukan gencatan senjata degan membuat kesepakatan yang dikemudian hari terkenal dengan Hudaibiyah.

Baiat ar-ridhwan merupakan satu momen baiat yang sangat emosional. Rasa rindu terhadap baitullah yang tidak terobati, serta dakwaan tidak beralasan dari orang Quraisy terhadap kaum Muslim dari Madinah yang ingin membuka peperangan. Ditambah dengan kabar terbunuhnya Sahabat Usman bin Affan. Sebagian pemerhati sejarah melihat baiat ridhwan sebagai baiat politik, karena janji itu diambil oleh seorang pemimpin (Rasulullah Saw) dari para pengikutnya yang setia untuk tidak lari dari medan perang hingga titik darah penghabisan. Sebuah baiat yang mengandaikan ketaatan dan kepatuhan serta pengakuan kekuasaan. Tetapi bagi para sufi, baiat ini merupakan momentum luar biasa yang melibatkan dunia spiritual kaum Muslimin, karena baiat inilah yang mendapatkan ridha dari Allah sebagaimana dijawab dalam Surat Al-Fath ayat 18.

Secara politik baiat bagi seorang penguasa 22 | Ensiklopedi Islam Nusantara tidak hanya bermakna janji setia, namun lebih penting dari itu. Baiat berlaku sebagai pengakuan lawan politik atas kekuasannya. Sebagaimana pentingnya baiat Ali bin Abi Thalib yang notabene adalah menantu Rasulullah SAW kepada Abu Bakar sebagai khalifah pertama pengganti Rasulullah Saw. Pola baiat seperti ini berbeda dari baiat Umar bin Khattab untuk siap menjadi penggantinya sepeninggal Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Dalam kerangka politik, baiat juga bisa dimaknai sebagai kontrak politik. Seperti halnya baiat penduduk Kufah kepada Husain Bin Ali untuk melawan khalifah Yazid bin Muawiyah yang dianggap sebagai penguasa dhalim oleh penduduk Kufah. Baiat ini terjadi pada tahun 60 H. Inilah yang kemudian melahirkan tragedi Karbala.

Inilah beberapa pola baiat dalam wacana politik yang memiliki karakter berbeda dari baiat di dunia tarekat yang dilakukan oleh murid kepada guru mursyid. Pada dasarnya baiat dalam tarekat berisikan pada janji setia seorang murid untuk bertakwa kepada Allah dan mengikuti amal-amal perbuatannya. Bahkan dalam tarekat tertentu baiat seorang murid lebih bersifat praktis, yakni berjanji untuk mengamalkan wirid atau dzikir yang ditugaskan oleh seorang mursyid. Masingmasing tarekat memiliki ketentuan dan ritual baiat yang berbeda satu sama lain.

Bagi penganut tarekat, baiat merupakan momen yang sangat sakral. Mereka meyakini bahwa baiat seorang murid kepada mursyid pada hakikatnya adalah baiat seorang hamba kepada Allah swt. Baiat merupakan mata rantai spiritual yang menghubungkan mursyid dengan murid, sehingga memungkinkan murid mudah menjalani hari-hari di bawah lindungan Allah swt. Baiat merupakan pintu gerbang penyerahan diri seorang murid kepada mursyid. Dalam hal ini mursyid berlaku sebagai pembimbing ruhaniah yang akan menghantarkan murid ke hadapan Allah swt.

Mengenai pola hubungan mursyidmurid, masing-masing tarekat sebenarnya memiliki model sendiri-sendiri. Akan tetapi perbedaan itu memiliki dasar yang sama.

Pertama, murid wajib taat kepada mursyid secara mutlak dalam berbagai hal, walaupun terkesan menyalahi aturan agama. Bahkan sebagian tarekat memposisikan taat kepada mursyid didahulukan di atas taat kepada Allah swt. Karena taat kepada Allah SWT tidak akan berhasil tanpa terlebih dahulu taat kepada mursyid. Begitu pula bagi mursyid, demi kepentingan murid ia harus menghadapkannya kepada Allah swt. mempergaulinya dengan penuh kasih sayang, terutama ketika murid dalam posisi menanggung beban latihan (riyadhah). Maka mursyid harus mendidik dan menasehatinya sebagaimana layaknya perlakuan orang tua kepada anaknya sendiri.

Kedua, murid harus menjaga rahasia batinnya, bahkan dari kancing bajunya sekalipun, kecuali kepada mursyid. Begitu pula mursyid harus merahasiakan kondisi murid dan tidak boleh menunjukkan keberhasilannya dalam membimbing murid. Bahkan mursyid tidak dibenarkan mengharap imbalan dari Allah SWT sebagai ganti bimbingannya apalagi mengambil manfaat materiil dari murid.

Ketiga, sebelum melakukan baiat kepada seorang mursyid, murid wajib melakukan pertaubatan terlebih dahulu. Tidak sekadar membaca istighfar dan bertekad meninggalkan kemaksiatan, tetapi murid harus mantap dengan langkahnya menuju hidup baru di bawah tuntunan mursyid. Karenanya mursyid harus meluruskan dan memberi petunjuk secara rahasia kepada murid ketika ia berada pada jalan yang melanggar syariat agar tidak mengulanginya kembali.

Keempat, murid tidak boleh berbeda pandangan dengan mursyid dalam berbagai hal yang diisyaratkan kepadanya. Sebagaimana tidak diperbolehkan seorang murid menilai salah terhadap mursyid. Yang demikian ini adalah suatu bahaya besar, karena awal perjalanan ruhaninya menentukan perjalanan hidup selanjutnya. Jika memang terjadi demikian hendaknya seorang murid segera berikrar dihadapan mursyid dan menunggu dengan pasrah hukuman yang akan diberikan karena ulah dan sikap kontranya.

Apabila seorang murid menaruh dendam jiwanya kepada mursyid, maka rusaklah hubungan keduanya. terhadap hal-hal yang menimbulkan prasangka buruk tentang mursyid, murid wajib menyampaikannya kepada mursyid.

Dari keterangan di atas sesungguhnya murid yang telah memasrahkan dirinya kepada mursyid tidak dapat menuntut apa pun dari mursyid. Murid hanya memiliki kewajiban, kewajiban pasrah, menunggu dan sabar. Demikian pula bagi mursyid, sesungguhnya murid yang datang kepadanya tanpa dipilihnya merupakan kiriman dan hadiyah dari Allah SWT yang harus diterimanya. Jadi hubungan keduanya sebenarnya telah ditentukan oleh Allah swt, keduanya baik murid maupun mursyid hanya melaksanakan dan menindak lanjuti ketetapan-Nya dan bersama-sama berusaha menuju kepada-Nya. Jika demikian adanya, maka perjalanan keduanya dalam tarekat adalah representasi dari ketetapanNya.

Adapun upacara dalam baiat masingmasing tarekat memiliki normanya sendirisendiri. Ada yang melakukannya secara empat mata dengan bersalaman dalam satu ruan khusus, ada yang melakukannya secara berjamaah dalam ritual yang ditentukan. Dan adapula yang melaksanakannya secara fleksibel tidak harus dalam ruang tertentu dan menggunakan acara tertentu pula.

Dalam perkembangannya kemudian baiat juga digunakan sebagai pengambilan janji setia seorang anggota atau pengurus baru dalam sebuah organisasi untuk selalu loyal dan setia dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Dalam konteks ini baiat biasanya dilaksanakan dalam acara pelantikan. Sebagaimana dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam pelantikan pengurus baru. Pola baiat seperti ini tidak bisa lepas dari asal muasalnya sebagai pengambilan janji setia seorang murid kepada mursyid dalam dunia tarekat.

Demikianlah berbagai makna baiat sepanjang sejarah Islam. Dalam konteks keindonesiaan baiat sufistik yang berlaku dalam tarekat kini mulai berkembang menjadi salah satu pola pengambilan sumpah setia sebuah organisai keislaman. Tentunya dengan bentuk dan sistem yang berbeda, yang cederung lebih fleksibel, tidak sakral dan tidak terlalu mengikat. [Ulil Hadrawi]

Sumber Bacaan  : Ibn Atsir, 1987. Al-Kamil fi At-Tarikh. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah Mustafa Al-Syiba’i. Al-Sirah Al-Nabawiyah, Durus wa Al-Ibra’. Abu Al-Wafa Al-Taftazani, tanpa tahun. Madkhal ila Al-Tasawwuf Al-Islami. Kairo: Dar Al-Tsaqafah. Al-Jaylani, Abdul Qadir. 2012. Al-Ghunyah Li Thalabi Thariq al-Haqq Azza wa Jalla. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)