Kiai Ali Ma’shum dan Jomblo Hina yang Tak Tahu Diri

 
Kiai Ali Ma’shum dan Jomblo Hina yang Tak Tahu Diri

LADUNI.ID, Jakarta - Jomblo alias masih lajang sebenarnya bukan hal yang nista. Hanya soal pilihan dan nasib hidup saja. Namun, nasib jomblo tanpa diiringi pola pikir yang sehat, bisa berbahaya. Tak hanya bagi dirinya sendiri, bisa jadi juga menimpa orang lain. Seperti halnya Kiai Ali Ma’shum. Pengasuh PP. Al-Munawir, Krapyak tersebut ketiban apes karena ulah seorang jomblo.

Syahdan, pada 1986, Kiai Ali menjadi pembicara di Rembang. Kala itu, sedang diselenggarakan haul dari KH. Bisri Musthofa. Pada peringatan wafatnya ayahanda Gus Mus tersebut, Kiai Ali tiba-tiba diserang oleh seorang jomblo. Tak tanggung-tanggung, sebatang linggis besi, ia pukulkan sebanyak tiga kali ke kepala Kiai Ali.

Sontak saja, aksi nekat jomblo bernama Ahmad Dirman tersebut membuat semua pengunjung terhenyak. Rais Aam PBNU diserang orang tak dikenal di tengah kerumunan massa. Di atas panggung kala berceramah.

Pemda Rembang kala itu segera menunjuk Komandan Kodim Rembang untuk melakukan investigasi. Bahkan, Pangdam IV  Diponegoro Mayjen Setiyana juga ikut turut tangan mengusut identitas dan motif pelaku. Intrik politik diduga menjadi latar belakangnya. Maklum, saat itu menjelang Pemilu 1987. NU untuk pertama kalinya akan menghadapi pemilu setelah mendeklarasikan diri untuk kembali ke Khittah 1926. Tentu saja, ada senang dengan keputusan tersebut. Namun, juga tak sedikit yang merasa dirugikan atas keputusan itu. Hal inilah yang coba didalami oleh pihak keamanan.

Namun, sederet dugaan yang berat-berat tersebut, tak didapatkan bukti pendukung. Dirman hanyalah seorang pemuda jomblo. Ia memendam sakit hati pada kiai kharismatik tersebut.

Singkat cerita, Dirman adalah pemuda yang berasal dari Lasem. Kampung asal Kiai Ali. Sepeninggal ayahnya, ia mengalami gangguan mental. Kerap kali tak terkontrol kejiwaannya. Sang ibu yang juga pedagang pasar tersebut, kemudian memondokkan putranya di Pesantren Al-Munawir. Ia berharap, sang anak bisa kembali normal dan menerima keaadaan tentang keterpurukan ekonomi keluarga pasca ditinggal wafat sang ayah.

Dirman pun mendapat perhatian lebih dari Kiai Ali. Selain sebagai muridnya, faktor sesama berasal dari Lasem mungkin menjadikan Kiai Ali memberi kasih sayang yang cukup menonjol. Atas asuhan yang intens tersebut, Dirman pun bisa kembali normal. Ia melanjutkan pendidikannya di Fisipol Universita Gadjah Mada. Gairah intelektualnya tumbuh. Ia sering kali mengirimkan artikel ke harian Kedaulatan Rakyat yang berbasis di Yogyakarta. Meskipun tak satupun artikel yang dimuat.

Normalitas tersebut ternyata tak berlangsung lama. Dirman dilanda api cinta. Namun, cinta tersebut bukanlah cinta yang membahagiakan. Cinta Dirman adalah cinta yang tak mengenal etika. Ketaknormalannya mungkin menjadi pemicu cinta tersebut. Ia menyukai putri dari Kiai Ali. Neng Ida Rufaida.

Tentu saja, cinta Dirman bertepuk sebelah tangan. Bukan berarti mencintai anak kiai adalah suatu dosa. Namun, bagi santri yang sadar diri, cinta demikian adalah sebuah “tabu”. Jika pun ada, rasa itu tak patut untuk diungkapkan. Cukuplah dipendam di dalam hati atau hanya jadi perasaan sesama teman di asrama. “Duhai Neng, betapa rasa ini ingin menyandingmu, namun apalah hamba yang hina dina ini,” sebagaimana ratapan para santri di diary-nya.

Penolakan dari Neng Ida tersebut, membuat Dirman patah hati. Ia menganggap biang kerok dari cintanya yang pupus itu adalah Kiai Ali. Kebaikannya selama ini dianggap hanya basa-basi yang tak tulus. Menurutnya, Kiai Ali tak mendorong sama sekali putrinya untuk menerima cinta pemuda 24 tahun itu.

Dirman yang gelap mata dan hati itu pun nekat. Ia berniat menghabisi Kiai Ali. Ketika mendengar Kiai Ali bakal hadir pada acara di Rembang, ia membulatkan hati untuk menuntaskan ambisinya. Linggis dari batang besi ia bungkus koran. Ditenteng dengan tenang hingga mendekati panggung utama. Sembari berlari, ia keluarkan linggis tersebut. Tanpa ragu, batang besi itu dihempaskan ke kepala Kiai Ali.

Kiai Ali terhuyung hingga harus dilarikan ke Rumah Sakit Dr. Sarjito. Sementara Dirman sendiri langsung diringkus pihak keamanan. Ia harus meringkuk di penjara selama 30 bulan atau 2,5 tahun. Kiai Ali sendiri, dengan kelapangan hatinya, memaafkan pemuda jomblo yang tak tahu diri itu.

(Artikel ini ditulis oleh Ayung Notonegoro)