Bancakan Sebagai Tradisi Nusantara yang Perlu Dilestarikan

 
Bancakan Sebagai Tradisi Nusantara yang Perlu Dilestarikan

Sejalan dengan terus bergeraknya peradaban menuju arah modernisasi dan globalisasi, masih ada sisa-sisa tradisi budaya di Nusantara yang masih diuriuri oleh sebagian masyarakat kita. Salah satu tradisi budaya yang menarik perhatian adalah tradisi budaya lokal Jawa yang berhubungan dengan ‘keselamatan’ dalam konsep hidup manusia Jawa. Adapun produk budaya yang dimaksud adalah upacara tradisi Bancakan. Hampir setiap peristiwa dalam masyarakat Jawa selalu dipenuhi dengan ritual bancakan ini. Mulai dari kehamilan, kelahiran, kematian atau bahkan hal-hal lain. Secara esensi, di luar yang bersifat spiritual (batiniah), bancakan sendiri mengemban pesan penting dalam hubungan kemasyarakatan. Keselarasan dan harmoni menjadi dasar utama setiap laku yang diwujudkan itu. Bancakan memang satu fungsi utamanya adalah untuk menunjukkan rasa syukur (doa) kepada Yang Maha Kuasa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi empat menjelaskan, bahwa kata bancakan berasal dari kata dasar bancak yang memperoleh akhiran –an. Dapat diartikan ban-cak, ban-cak-an (n) (1) slametan; kenduri; (2) hidangan yang disediakan dalam slametan; (3) slametan bagi anak-anak dalam merayakan ulang tahun atau memperingati hari kelahiran disertai pembagian makanan atau kuekue. Kata bancakan juga berasal dari tempat tumpeng pungkur yang dibuat dari anyaman bambu secara renggang. Anyaman semacam ini disebut ancak. Perkembangan selanjutnya berubah menjadi kata bancak (Suwardi, 1998: 169). Dalam tradisi Jawa, bancakan dikenal sebagai simbol rasa syukur kepada nenek moyang dan Tuhan sebagai pencipta dengan cara-cara membagi-bagikan makanan kepada relasi.

Dalam Ensiklopedi Sunda, bancakan atau babacakan didefenisikan sebagai nama hidangan makanan yang diwadahi nyiru (niru), dengan tilam dan tutup daun pisang, disajikan untuk dimakan bersama pada slametan atau syukuran. Macam makanan yang dihidangkan lazimnya nasi congcor atau tumpeng beserta lauk-pauknya antara lain urab sebagai sesuatu yang khas dalam hidangan slametan. Tidak disediakan piring, para hadirin makan dengan memakai daun pisang sebagai alasnya. Makan bancakan dimulai setelah pembacaan doa selesai, setiap orang langsung mengambil dari nyiru nasi beserta lauk-pauknya (Rosidi, 2000).

Menurut Purwadi (2007: 92) bancakan adalah upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur, macam-macam bancakan antara lain berkenaan dengan dumduman “pembagian” terhadap kenikmatan, kekuasaan, kekayaan. Upacara bancakan sering digunakan dalam acara bagi waris, sisa hasil usaha dan keuntungan perusahaan. Harapannya agar masing-masing pihak merasa dihargai hak dan jerih payahnya sehingga solidaritas anggota terjaga (Purwadi, 2005: 23). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dirinci bahwa bancakan merupakan upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur agar terhindar dari konflik yang disebabkan oleh pembagian yang tidak adil. Dan dengan adanya bancakan menumbuhkan solidaritas yang sangat tinggi.

Sistem penyelenggaraan upacara tradisional dilakukan demi memenuhi kebutuhan rohani yang berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Siklus hidup manusia yang meliputi masa kelahiran, perkawinan dan kematian mendapat perhatian dengan melakukan upacara khusus. Tujuanya adalah memperoleh kebahagiaan lahir batin, setelah mengetahui hakikat sangkan paraning dumadi atau dari mana dan ke mana arah kehidupan. Dalam hal ini, puncak pribadi manusia paripurna ditandai oleh kemampuanya dalam mengendalikan diri sebagaimana tersirat dalam ngelmu kesampurnaan yang menghendaki hubungan selaras antara Tuhan dan alam (Purwadi, 2007: 1).

Di dalam kebudayaan Jawa, orang yang dibancaki biasanya diperlakukan dengan sangat istimewa. Mereka diperlakukan bak seorang pangeran, putri atau bahkan raja. Sehingga yang menjadi pusat dari upacara bancakan adalah orang yang dihajati. Meskipun demikian, upacara ritus yang dikenal di Jawa dengan “slametan” menimbulkan rasa solidaritas di antara mereka yang terlibat dan berpartisipasi, walaupun mereka punya status sosial yang berbeda-beda. Di luar fungsi utama itu, bancakan telah mengambil peran untuk merekatkan ikatan kemasyarakatan. Setiap hajat yang disertai dengan bancakan ini, selalu ditandai dengan kedatangan tetangga dan sanak saudara. Ikatan-ikatan yang mulai longgar sebagai akibat interaksi keseharian, kemudian kembali menguat dengan adanya bancakan yang dilakukan oleh seseorang. Bincang-bincang di awal atau akhir prosesi bancakan setidaknya telah mencairkan kebekuan yang diakibatkan berbagai konflik keseharian. (Sumukti, 2006).

Bancakan merupakan tatanan serta tuntunan tentang kebersamaan, kerukunan dan kesederhanaan melalui sebuah simbol nasi tumpeng yang dinikmati bersama dan ada doa yang menyertainya. Tradisi adat Jawa bancakan ini dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Jawa dimaksudkan sebagai bentuk pelestarian budaya, yang mereka harapkan dari bancakan ini lebih kepada pengenalan untuk anak-anak supaya tidak lupa asal usul dan akar budaya mereka. Prosesi bancakan yang mengharuskan orang berbaur dan melupakan segala konflik/persoalan itulah yang membuat ikatan kemasyarakatan kembali menguat. Bancakan juga berperan dalam menyebarkan informasi secara meluas atas suatu hal. Bahkan yang punya hajat pun berkepentingan untuk menyebarkan informasi tentang keluarganya. Sehingga dalam setiap bancakan selalu disebutkan alasan apa yang membuat sebuah bancakan diselenggarakan. Sangat biasa di dalam sebuah prosesi bancakan disebutkan apa hajat orang yang bersangkutan.

Bancakan punya tujuan ataupun makna sendiri. Orang ataupun warga yang melakukan bancakan karena ingin meminta keslametan, melancarkan suatu keinginan agar terkabul, ungkapan rasa syukur karena telah mendapatkan nikmat tertentu, dan juga untuk mencegah datangnya mara bahaya. Meminta keslametan yang dimaksud adalah sebentuk doa supaya mendapat kebahagiaan dalam menjalani hidup, diberikan kelancaran usaha dan dijauhkan dari segala mara bahaya secara umum. Hal ini biasanya dilangsungkan secara rutin. Ada yang sifatnya setiap seminggu sekali, sebulan sekali, sampai setahun sekali.

Bancakan, selain digunakan untuk menangkal keburukan atau kesialan, juga dilangsungkan sebagai ungkapan rasa syukur. Ungkapan rasa syukur masyarakat Jawa, secara simbolik diungkapkan dengan mengadakan bancakan; berkumpul dan makan bersama yang dihadiri oleh sanak kerabat dan tetangga dekat. Hal ini dilakukan saat misalnya mengiringi upacara pernikahan, khitan, atau beberapa momen yang menghadirkan kebahagiaan seperti lulus sekolah, wisuda dan sejenisnya. Sedangkan, bentuk bancakan selanjutnya dilakukan sebagai upaya untuk menghindari datangnya mara bahaya. Seperti saat dimana ada petunjuk akan datangnya bencana banjir, angin topan, gunung meletus, dan sebagainya. Orang-orang Jawa sangat menghormati alam. Sehingga saat terdapat ancaman bahaya yang sifatnya disebabkan oleh faktor alam, maka mereka segera menyikapinya dengan mengadakan upacara “tolak bala” (menghindar dari musibah dan bencana) yang disimbolkan pada tradisi bancakan.

Setidaknya ada dua cara untuk merayakan bancakan yaitu bancakan perorangan, bancakan perorangan ini memiliki berbagai jenis ragamnya, seperti tasyakuran, akikah, wiwit, unggah, ruwat, serta bancakan untuk orang yang telah meninggal. bancakan perorangan dilakukan oleh seorang tokoh agama setempat, bancakan disaksikan oleh orang yang telah diundang sebelumya oleh si pemilik hajat. Kemudian mereka melakukan doa bersama dan pada akhir acara biasanya orang yang telah diundang tadi diberi suatu bentuk imbalan. Kebanyakan imbalan tersebut bisa berupa makanan siap saji, bahan makanan mentah, pakaian, atau uang tunai.

Bancakan kelompok merupakan permohonan atas suatu kelompok orang banyak. Ritual ini terkesan lebih mudah. Masyarakat berkumpul dengan kesadaran diri tanpa ada paksaan. Dalam adat ini mereka biasanya membawa suatu bentuk makanan yang disebut asahan. Ini merupakan suatu sumber kebersamaan. Setelah berkumpul tokoh agama memanjatkan doa disertai seluruh warga, setelah itu baru asahan yang telah dibawa itu dimakan bersama-sama. selain dimakan bersama asahan tersebut juga bisa dibawa pulang oleh masing-masing warga. Bancakan ini memiliki berbagai jenis seperti sedekah bumi, mauludan, megengan, tahun baru, sedekah laut, dan tolak bala.

Jenis-jenis bancakan dilihat dari saat bayi lahir meliputi brokohan, sepasaran, selapanan dan wetonan. Brokohan adalah upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi. Menurut Hardjowirogo (1980: 19) bancakan pertama yang diberikan berhubungan dengan lahirnya bayi dinamakan brokohan. Bancakan ini mempunyai makna ungkapan syukur dan sukacita karena proses kelahiran berjalan lancar. Brokohan berasal dari bahasa Arab barokah yang bermakna ‘mengharapkan berkah’. Upacara brokohan bertujuan untuk keslametan kelahiran dan juga perlindungan untuk bayi dengan harapan menjadi manusia yang baik. Seperti layaknya slametan pada umunya, dalam brokokan ini disajikan tumpeng beserta lauk pauknya dan berbagai macam buah-buahan (Purwadi, 2007: 89).

Setelah bayi berumur lima hari diadakan slametan dengan mengadakan kenduri dan bancakan sepasaran. Menurut Herawati (2011: 248) bancakan berupa nasi tumpeng beserta gudhangan telur ayam kampung, gereh petek, jenang putih dan jajan pasar. Selanjutnya anakanak kecil diundang untuk bancakan. Selesai didoakan, nasi beserta gudhangan dan jajan pasar dibagi-bagikan ke seluruh anak yang datang. Pada saat berlangsungnya bancakan sepasaran diadakan pula pemberian nama bayi oleh orang tua bayi.

Slametan selapanan lazimnya diadakan pada waktu bayi waktu bayi berumur 35 hari (Yusuf, 1997: 63). Dalam bahasa Jawa selapan adalah tiga puluh lima. Perhitungan tiga puluh lima hari ini didasarkan pada kelipatan hari lahir bayi menurut hitungan Jawa (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi) dan hari penanggalan Masehi (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) karena itulah setiap 35 hari seorang manusia akan mengulang hari kelahirannya. Slametan selapanan bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas keslametan dan kesehatan bayi.

Salah satu bancakan yang popular di telinga masyarakat kita adalah bancakan weton (slametan kelahiran). Bancakan weton adalah peringatan hari lahir berdasarkan saptawara dan pancawara, yang merupakan tradisi masyarakat yang dilakukan pada hari kelahiran berdasarkan perhitungan kalender Jawa yang berputar selama 35 hari. Artinya peringatan hari kelahiran manusia Jawa dilakukan setiap 35 hari sekali, berbeda dari acara ulang tahun yang diperingati setiap tahun sekali. Tujuan wetonan atau bancakan weton adalah sebagai ucapan rasa syukur atas rahmat-Nya sekaligus sebagai permohonan kepada-Nya agar orang yang dislameti diberi keslametan serta kesuksesan pada hari-hari selanjutnya. Pada beberapa daerah di Jawa wetonan di sebut juga tironan.

Bancakan weton dilakukan tepat pada hari weton. Dalam tradisi Jawa, setiap orang seyogianya dibuatkan bancakan weton minimal sekali selama seumur hidup. Namun akan lebih baik dilakukan paling tidak setahun sekali. Apabila seseorang sudah merasakan sering mengalami kesialan (sebel-sial), ketidakberuntungan, selalu mengalami kejadian buruk, lepas kendali, biasanya dapat berubah menjadi lebih baik setelah dilakukan bancakan weton. Bagi seseorang yang sudah sedemikian parah tabiat dan kelakuannya, dapat dibancaki weton selama 7 kali berturutturut, artinya setiap 35 hari dilakukan bancakan weton untuk yang bersangkutan, berarti bancakan weton dilakukan lebih kurang selama 8 bulan berturut-turut.

Hakikatnya bancakan weton pada anak adalah untuk membentuk keseimbangan antara lahir dan batin, harmonis dan sinergis. Anak yang sering dibuatkan bancakan weton secara rutin oleh orangtuanya, dipercaya bahwa hidupnya akan lebih terkendali, lebih berkualitas, lebih berhati-hati, tidak liar dan ceroboh, serta terhindar dari musibah. Akar pelaksanaan bancakan weton bagimasyarakat Jawa yang mempercayainya, menurut Budiharso (2014) ialah sistem tradisi dan kepercayaan yang mendalam terhadap leluhur. Tradisi ini melekat kuat pada sistem kehidupan sehari-hari dalam bentuk perhitungan hari baik, peruntungan, ucapan syukur, tradisi gotong royong, toleransi, dan keyakinan terhadap sedulur papat limo pancer, kekuatan adi kodrati yang melekat pada setiap individu berupa Kakang Kawah, Adi Ari-ari, Kaki Among dan Nini Among.

Bancakan weton merupakan bagian dari ajaran kejawen yang mengalami benturanbenturan dengan agama dan juga budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan agama, karena kehadiran Kejawen dianggap suatu hal yang bertentangan dengan agama. Di lain pihak, dari sisi budaya asing ada upayaupaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya.

Kejawen mengandung filosofis yang tinggi, yang tidak mengajak manusia kepada kemusyrikan tetapi memanfaatkan prana manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup. Penyampaiannya yang menggunakan simbolisme telah membuat makna bancakan weton menjadi lebih dalam dan bermakna. Kenyataannya, simbol-simbol yang digunakan dalam bancakan weton ada juga yang menterjemahkannya secara berbeda. Adanya materi-materi kembang setaman, jenang, dan lain-lain, dianggap sebagai pakan demit. Adanya perbedaan makna ini merupakan konsekuensi dari penggunaan simbol yang bisa saja diterjemahkan berbeda oleh masingmasing orang. Di sini, tradisi bancakan weton dikaitkan dengan anggapan bahwa praktik ini dianggap sebagai klinik atau syirik dikarenakan penterjemahan simbol-simbol dalam bancakan weton yang “berbeda” oleh orang-orang tertentu.

Anggapan kejawen sebagai klenik dan syirik tersebut sudah pasti tidak nyaman dirasakan bagi kebanyakan orang pada komunitas Jawa. Oleh karena itulah, diperlukan penjelasan-penjelasan yang masuk akal tentang Kejawen guna menepis anggapan minor tersebut. Untuk itulah, diperlukan sebuah usaha dan sekaligus penjelasan untuk menggugah kesadaran masyarakat Jawa agar kembali melaksanakan adat tradisinya. 

Dalam perkembangannya dan perubahan pada bancakan weton masyarakat pada saat ini ternyata masih banyak yang melakukan bancakan weton karena bancakan merupakan salah satu bentuk rasa syukur terhadap kenikmatan atas lahirnya seorang anak. Akan tetapi seiring dengan adanya modernisasi ritual bancakan weton banyak mengalami perubahan, contohnya saja pada zaman dulu ketika bancakan weton masyarakat masih menggunakan nasi dan lauk pauknya yang masih tradisional dan wadah-wadah yang masih tradisional juga seperti wadah untuk nasi, mereka masih menggunakan daun pisang dan lidi yang kemudian nasinasi tersebut dijadikan satu dalam tampah besar sebelum dibagikan. Sebelum makanan tersebut dibagikan, ada sesepuh yang biasanya membacakan do’a dan tahlilan dengan tujuan demi keslametan anak tersebut. Setelah itu makanan bancakan tersebut dibagikan pada tetangga dekat dan kerabat dekatnya.

Bancakan weton sebagai simbol tradisi dalam kepercayaan agama Jawi nampak dari bagaimana masyarakat Jawa yang meyakini bancakan weton melaksanakan tradisi. Bancakan weton menurut Budiharso (2014: 165-166) merupakan simbolisasi terhadap priritualitas orang Jawa, simbol social dan moral, dan simbol tradisi. Pertama, bancakan weton dilaksanakan sebagian besar oleh masyarakat Jawa dari kalangan bawah, menengah, terpelajar dan begitu dipegang kuat oleh kalangan kraton. Kedua, makna simbolisme bancakan weton menyatu dengan system tata kehidupan bermasyarakat yang sudah lahir sejak jaman kerajaan dan secara turun-temurun dianut dalam tradisi. Sistem itu, di antaranya perhitungan hari baik melalui hari pasaran lima (pancawara), Pon, Wage, kliwon, Legi, Pahing; pasaran hari 7 (sadwara): Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu. Ketiga, simbolisme untuk meraih harmoni dan sinergi dengan masyarakat dan lingkungan bagi masyarakat Jawa juga mendasarkan pada falsafah penyatuan antara diri manusia sebagai mikrokosmos dan Allah sang pencipta sebagai makrokosmos.

Penggunaan simbol ini bisa dilihat dengan jelas dalam uba rampe bancakan weton. Semua materi yang digunakan dalam bancakan weton bukan hanya sematamata sebagai makanan yang akan disedekahkan kepada orang lain, tetapi mengandung suatu simbol, yang dengan melihatnya saja, sesama orang Jawa atau orang non-Jawa yang mempelajari Kejawen dapat langsung memahaminya. Oleh karena itu penggunaan simbol ini sangat efektif untuk berkomunikasi. Pepatah Jawa klasik mengatakan wong Jawa iku nggoning semu, sinamun ing samudana, sesadone ingadu manis. Maksudnya, orang Jawa itu tempatnya segala simbol. Segala sesuatunya disamarkan berupa cara semu dengan maksud tampak indah dan manis (Hariwijaya, 2004: 3).

Simbol-simbol yang dipakai dalam bancakan weton merupakan bentuk komunikasi tidak langsung yang ditujukan baik kepada sesama manusia, kepada makhluk Tuhan lainnya, dan kepada Tuhan. Penggunaan simbol ini walaupun merupakan komunikasi tidak langsung, tetapi sudah tidak membutuhkan penjelasan lagi, karena sudah ada kesepahaman mengenai makna yang terungkap di dalam masing-masing simbol. Pemahaman ini didapatkan dari penjelasan para sesepuh sebelumnya yang disampaikan kepada generasi muda, demikian seterusnya, sehingga terdapat pemahaman yang sama mengenai arti simbol-simbol yang dipergunakan. Adanya bancakan weton yang menggunakan simbol-simbol sejalan dengan pendapat Cohen (1994), Hendry dan Watson (2001), yaitu bahwa uba rampe bancakan weton merupakan komunikasi dimana terdapat pesan-pesan yang tersembunyi yang merupakan komunikasi “tidak langsung” dari manusia kepada alam dan kepada penciptanya.

Tradisi bancakan sudah mulai menghilng seiring perjalanan zaman, tidak ada lagi yang ingat weton, slametan dan lainnya. Pada kondisi seperti ini, tradisi bancakan secara perlahan mulai menghilang. Karena, pengaruh dari kota yang masuk ke desa. Pengaruh dari kota tersebut, selain mempengaruhi gaya hidup semata, namun juga mempengaruhi pola pikir yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap perilaku sosial. Melihat kondisi yang semacam ini, perubahan dalam masyarakat yang semakin rasionalis pada taraf tertentu akan mempengaruhi kelestarian suatu tradisi tertentu. Walaupun keberadaan tradisi-tradisi semacam bancakan perlahanlahan menghilang. Namun, tidak berarti telah benar-benar sirna. Selama keberadaan tradisi semacam ini belum benar-benar menghilang, masih terbuka peluang untuk terus bertahan. Toh, memang sudah menjadi sifat segala sesuatu di dunia ini untuk mengalami perubahan.

Namun kenyataannya pada saat ini bancakanweton tidak dilakukan seperti itu lagi. Sekarang masyarakat melakukan bancakan dengan menggunakan makanan dan lauk pauknya dan wadahnya yang modern, seperti wadah untuk nasi sekarang menggunakan tempat nasi yang terbuat dari plastik yang lebih praktis. Dan sebelum makanan dibagikan tidak lagi ditaruh di tampah tetapi sudah ditaruh langsung di tempat plastik tersebut. Kemudian dalam bancakan sudah ada masyarakar yang tidak lagi menggunakn nasi melainkan mereka menggantinya dengan makanan-makanan ringan atau jajanan pasar yang dianggap lebih instan.

Demikianlah keselarasan dalam masyarakat diciptakan dengan melalui sarana bancakan. Ini yang kadang tidak terbaca oleh masyarakat modern. Bahwa ritual bancakan tidak saja sekadar bernilai mistis untuk mendapatkan bantuan atau jalan keluar atas sebuah masalah. Harus dipahami bahwa bantuan atau jalan keluar masalah selain berasal dari Yang Kuasa, juga merupakan hasil dari kontribusi bantuan tetangga sekitar. Itulah kenapa keselarasan dalam masyarakat menjadi penting dan perlu. Jadi tradisi bancakan adalah merupakan bentuk simbolisasi rasa syukur dan doa kepada Tuhan yang biasa dilakukan oleh masyarakat tradisional Jawa. Dan sayangnya tradisi bancakan ini sudah mulai kurang dikenal atau dilakukan oleh kalangan masyarakat Jawa sekarang ini, khususnya di kalangan keluarga muda. [M. Ulinnuha]

Sumber Bacaan Chodjim, Achmad. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003. Danadibrata, R.A. Kamus Bahasa Sunda. Bandung: Panitia Penerbitan Kamus Basa Sunda, 2006. Hardjowirogo, Marbangun. Adat Istiadat Jawa: Sedari Seseorang Masih dalam Kandungan hingga Sesudah ia Tiada lagi. Bandung: Penerbit Patma, 1979. Hariwijaya. Kamus Idiom Jawa. Jakarta: Eska Media, 2004. Herawati, Nanik. Mutiara Adat Jawa 2. Klaten: PT Intan Pariwara, 2011. Purwadi. Pranata Sosial Jawa. Yogyakarta: Cipta Karya, 2007. . Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2005. Rosidi dkk, Ajip. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya (Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi). Jakarta: Pustaka Jaya, 2000. Suwardi. Sinkretisme dan Simbolisme Tradisi Slametan Kematian di Desa Purwosari Kulon Progo. Yogyakarta: Diksi UNY, 1998. Yusuf, Wiwik Pertiwi dkk. Tradisi dan Kebiasaan Makan pada Masyarakat Tradisional di Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997. www.jurnal-ingua.info

SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)