Karamah Mbah Maimoen Zubair

 
Karamah Mbah Maimoen Zubair

 

LADUNI. ID, ULAMA- Salah satu ulama sepuh Indonesia KH. Maimoen Zubair atau akrab disapa Mbah Moen hingga saat ini menjadi rujukan ulama Indonesia, khususnya dalam bidang fiqh dan ushul fiqih. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain.

Ayahanda beliau, Kyai Zubair, adalah murid Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky.

Sekitar tahun 45, beliau memulai pendidikannya di Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang biasa dikenal sebagai Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.

Pada usia 21 tahun, beliau melanjutkan studinya ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanannya ke Makkah ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang kompeten di bidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, dan Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.

Kiai Maimun merupakan kawan dekat dari Kiai Sahal Mahfudh, yang sama-sama santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.

Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari tanah suci, beliau juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain. Kiai Maimun juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri, di antaranya, kitab berjudul al-ulama al-mujaddidun

Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Dilahirkan di Karang Mangu Sarang hari Kamis Legi bulan Sya'ban tahun 1347 H atau 1348H atau 28 Oktober 1928. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky.

Dua ulama yang kesohor pada saat itu. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian. Pada umur 25 tahun, beliau menikah dan selanjutnya menjadi kepala pasar Sarang selama 10 tahun. Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan.

Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang. Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras.

Karamah  Mbah Maimoen Zubair

Menurut info yang sampai kepada al-Faqir (Kiai Sidi Abdul Halim) sebagaimana yang disampaikan oleh murid-muridnya, diantara kunci yang menyebabkan tidak memudarnya keulamaan Mbah Maimoen Zubair bahkan semakin cemerlang sekalipun beliau telah terjun ke politik praktis sedari mudanya, adalah beliau tak pernah makan nasi dari uang hasil kerja politik. Kalau ke Jakarta selalu bawa beras sendiri. Berasnya hasil sawah beliau sendiri yang beliau tahu benar-benar halalnya.

Jadi uang syubhat itu jangan sampai masuk perut agar tak menggelapkan hati. Murid-murid dan putra-putranya yang terjun politik, denger-denger juga disumpah beliau agar uang politik tak masuk perut. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Gus Muhammad Nora Burhanuddin.

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, dikutip dari berbagai sumber.