Hukum Ngopi di Masjid

 
Hukum Ngopi di Masjid

LADUNI.ID - “Ngopi” di masjid telah mentradisi di beberapa masjid. Biasanya para jamaah duduk-duduk di serambi masjid seusai melaksanakan rangkaian Shalat Subuh berjama’ah. Terdapat pula beberapa masjid yang menyediakan bubuk kopi atau teh dan air panas untuk jamaahnya.

Sesuai keterangan yang terdapat dalam Bughyat al-Mustarsyidin halaman 65 dan Fiqh Masjid halaman 42-43, boleh bahkan dianjurkan bagi takmir masjid melakukan sesuatu yang biasa dilakukan di masjid, seperti menyediakan kopi dan apa saja dari harta wakaf jika bertujuan agar semakin banyaknya jama’ah masjid untuk shalat. Jika hal tersebut tidak biasa dilakukan di masjid, boleh pula hal itu dilakukan jika kas yang dimiliki melebihi kebutuhan untuk pembangunan (‘imarah) masjid.

Namun perlu diperhatikan, saat “ngopi bareng” biasanya diiringi dengan obrolan antar jamaah. Maka, topik perbincangan selaiknya adalah sesuatu yang ada manfaatnya dari sisi agama, meski “acara ngopi” itu biasanya dilakukan di serambi atau diistilahkan dalam fikih dengan kata rahbah. Menurut Ibnu Hajar, rahbah adalah bangunan di depan pintu masjid yang tidak terpisah dari bangunan inti masjid itu (Fath al-Bari, jilid 13, hal. 155)

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum serambi masjid ini. Namun menurut mayoritas fukaha (yuris), lahan atau serambi masjid adalah bagian masjid dan berlaku hukum seperti bagian-bagian inti masjid lainnya. Ini adalah pendapat Madzhab Malik (lihat: Malik, al-Mudawwanah al-Kubra, jilid 1, hal. 320), dan Madzhab Syafi’i (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 6, hal. 437), dan salah satu riwayat dalam Madzhab Hanbali (Ibn Muflih, al-Furu’, jilid 3, hal. 153).

Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa al-harim yakkhudzu hukma ma huwa harimun lahu. Pagar atau sekitar sesuatu mengambil hukum sesuatu yang dipagari atau dikitari itu (lihat: al-Suyuthi, al-Asyhbah wa al-Nazhair).

Sesuai kaidah ini ulama menyatakan, karena lahan atau serambi masjid adalah pagar atau berada di sekitar masjid, maka ia mengambil hukum masjid atau dinilai sebagai bagian dari masjid, sehingga sah digunakan i’tikaf; haram ditempati oleh orang yang junub dan haid, sebagai tempat jual beli; dan haram digunakan untuk berbicara yang tidak ada manfaatnya (laghw).

Selain memperhatikan “topik pembicaraan” untuk menghormati kehormatan dan hukum masjid tersebut, hal lain yang perlu diperhatikan adalah kebersihan masjid. Atau bila pembahasan sedikit diperluas, bagaimana sebenarnya hukum makan dan minum di masjid?

Terdapat perbedaan ulama mengenai masalah ini. Pertama, Menurut madzhab Hanafi, makruh hukumnya makan dan minum di masjid. Menurut pendapat kedua dalam madzhab, bagi orang asing (musafir) boleh tidur di masjid. Sedang orang yang beri’tikaf boleh minum, makan, dan tidur di tempat i’tikafnya (Fath al-Qadir, jilid 1, hal. 300, dan jilid 2, hal. 111-112, Hasyiyah Ibn Abidin ‘ala al-Durr al-Mukhtar, jilid 1, hal. 444)

Kedua, Menurut madzhab Maliki, boleh hukumnya menyinggahkan tamu di masjid badiyah (kampung udik) dan memberinya makan kering, seperti kurma, bukan makanan berair, seperti semangka. Bila jenis makanannya mengandung air, maka hukumnya haram, kecuali diberi alas yang diletakkan di bawah wadah makanan tersebut, maka hukumnya makruh. Hal ini juga berlaku pada masjid desa kecil. Adapun menyinggahkan tamu di masjid hadhirah (kampung besar), maka hukumnya makruh, meski makanan itu kering (lihat: Hasyiyah al-Dasuqi, jilid 4, hal. 70, dan Jawahir al-Iklil, jilid 2, hal. 203)

Ketiga, menurut madzhab Syafi’i, boleh hukumnya makan roti, buah, semangka, dan lainnya, di masjid. Hal ini berdasarkan riwayat Abdullah bin Harits bin Jaz’in al-Zubaidi yang mengatakan – yang artinya: “Kami dulu makan roti dan daging di masjid pada zaman Nabi SAW.” (HR. Ibnu Majah (jilid 2, hal. 1097). Dalam Mishbah al-Zujajah, jilid 2, hal. 179, al-Bushiri menjelaskan bahwa hadits ini sanadnya hasan.

Selebihnya ulama madzhab Syafi’i memerinci hukum makan dan minum di masjid ini. Makan dan minum di dalam masjid hukumnya tidak boleh, apabila berkeyakinan atau mempunyai perkiraan akan mengotori masjid. Sebaliknya, perbuatan tersebut dihukumi boleh, dengan syarat tidak sampai mengotori masjid (Fatawi al-Allamah al-Syaikh Husain Ibrahim al-Muqarri dalam Fasal Ahkami al-Masajidi).

Wallahu a’lam.

Oleh: Ustaz Faris Khoirul Anam

Aswaja NU Center Jawa Timur