Wanita Menurut Pandangan Teologi

 
Wanita Menurut Pandangan Teologi

LADUNI.ID, Jakarta - Perempuan adalah makhluk tuhan yang dicipatakan dari tulang rusuk seorang laki-laki (tafsir showi). Pada mulanya, menurut sekian banyak referensi yang tidak mungkin kami tuturkan di sini, latar belakang diciptaknnya Hawa berawal dari keberadaan nabi Adam yang tidak kerasan berdiam diri di surga dengan seorang jiwa. Ia mesti membutuhkan teman dan merindukan makhluk lain sebagai pendampingnya di Surga kala itu.

Padahal, sebagaimana mafhum dari berbagai literature yang biasa kita baca, di Surga segala sesuatunya sudah terjamin dan segala kebutuhannya telah disediakan. Mulai dari hidangan yang melimpah ruwah, life stile dan kostum yang beranika ragam, dan tempatnya pun jauh dari kata membosankan. Namun dalam benak Adam masih ada  yang kurang dengan itu semua. Dari itu kemudian Allah swt. menciptakan seorang makhluk, yang secara kodrati biologis tidak sama jenis kelamin dengan Adam.

Setelah penciptaan Hawa begitu sempurnah dan Adam pun mengetahui bahwa tuhannya (Allah) talah mengabulkan permohonannya untuk memberinya teman. Lalu, Adam seketika itu juga mau merangkul Hawa. Namun, Allah menegurnya dan memerintahkan Adam untuk mengawininya (sehingga menjadi  halal) terlebih dahulu. Dengan ucapan sahadat dan salawat kepada Nabi Muhammmad, Hawa pun secara legal formal resmi menjadi istri Adam dan halal ‘melakukan’ apa saja. Begitulah cerita singkat pertemuan Adam degan istrinya, Hawa.

Kiranya dapat diambil kongklusi sederhana bahwa, sifat dan karakter laki-laki untuk melakukan ‘segala hal’ dengan seorang perempuan sekalipun ia masih belum halal baginya, sudah tertanam sejak makhluk pertama diciptakan. Sehingga bukan merupakan hal yang asing bagi penulis jika muda-mudi sekarang banyak yang sudah menggadaikan kesuciaannya dengan kesenangan semata sebelum ada lebel halal dengan mereka yang lain jenis. Hal itu karena meraka tidak bisa menahan nafsuh dan gairahnya pada lawan jenisnya sebagaimana Adam waktu dulu disurga.

Dari itu penulis berharap kapada pembaca yang budiman untuk senantiasa memerhatikan peringatan tuhan terhadap Nabi Adam waktu dulu itu, yaitu menjadikan ia halal sebelum segala halnya ‘dirasa’ dan ‘dilakoni’ agar visi Islam dalam menuntaskan ketertindasan kaum Hawa tercapai dengan maksimal. Karena apabila mereka sudah ‘melakoni’ segala hal di luar akad nikah maka, yang akan terjadi “kekerasan’’ dan pencemaran nama baik bagi seorang perempuan. Lebih-leibih, malakukan hal yang demikian itu sangat tidak dikehendaki oleh semua kalangan baik dari segi agama, hukum, apalagi menurut sosial distingsi.

Sejatinya, diskriminasi dan kejanggalan terhadap perempuan sudah tidak tercatat lagi dalam buku sejarah dunia setelah lahirnya Islam. Namun, setelah konstantinopel berhasil memukul mundur pasukan Islam dalam perang dunia ke II dengan tegak dan berjayanya kristiani  kembali, berhasil menurunkan Islam dari panggung peradaban umat, dan bahkan sempat membuat Islam fakum. Mereka (umat kristiani) kembali lagi terhadap penyerahan segala sesuatunya kepada greja. Hak dan wewenang seorang wanita dikebiri, permpuan sudah tidak ada harganya lagi. Dari itu kemudian melahirkan perlawanan kaum perempuan terhadap mereka, seiring  dengan berhembusnya angin segar aufklarung. Mereka yang merupakan pembesar greja tidak mendapat respon positif dari kalangan pembaharu dan para modernis seperti Abduh, Rasyid Ridla, Fazlurrahman dst. Sebagaimana perlawanan Ibu Fatima Marnisi kepada suaminya sendiri yang merupakan pembesar greja. Gerakan inilah yang sampai hari ini dikenal dengan feminisme dan perlawanan gender[baca: Fatima Marnisi].

Obsesinya Penegak Kalam Feminismi
Pergulatan gender dan perlawanan feminisme menjadi special discourse di akhir-akhir pertengahan abad ke 19 ini. Hal tersebut bermula sejak aufklarung mulai membuka pintu pembebasan. Gerakan Fatima Marnisi dan Riffat Hassan dalam mempertahankan hak dan jati seorang perempuan sudah mulai memuncak. Hal itu semua bertujuan untuk mengahapus semua tindakan diskriminatif terhadap kaum Hawa.

Pengungkungan kebebasan dan kekuasan terhadap kaum wanita telah meniscayankan adanya gerakan gender. Tak pelak, dari itu  itu Fatima Marnisi sebagai kaum Hawa menginginkan kembalinya visi Islam dalam mengentaskan nasib perempuan yang  telah dicap sebagai makhluk kedua oleh jahili, kaum yang mesti dikesampingkan.
Terlepas dari hal tersebut pergumulan ‘kiri Islam’ yang juga diperjuangkan  oleh Hassan  Hanafi (majalah: madza ya’ni bil Islam al-aysar) serta teologi pembebasan Asghar Ali Enginer telah meniscaakan merebahnya kalam feminisme, mencuatnya pergulatan gender. Dalam termenologi Kazou Shimogaki perlawana kaum perempuan merupakan performa sampingan yang lahir dari modernisme. Rekontruksi fundamintalis terhadap elan vital visi misi kedatangan Islam perlu diperjuangkan guna membumikan Islam itu sendiri, termasuk juga dalam mengangkis nasib kaum Hawa dari belenggu greja kristiani. Ini semuah yang menjadi obsesi bangkitnya kalam  feminisme dikalangan para pembaharu dan cendikia Islam tahun lalu.

Lebih jelasnya John Stuatr dkk menyamapikan beberapa tujuan utama yang menjadi obsesi dari gerakan ini. Pertama, menfokuskan wanita pada perlakuan yang sama dengan laki-laki disegala aspek kehidupan, baik dalam tataran kultur budaya di ruang public lebih- lebih di dalam hubungan keluarga. Kedua, perjuangan harus menyentuh persamaan politik antara laki dan wanita melalui perwakilan wanita di ruang-ruang publick. Dan bahkan dalam madzhab feminis liberal, ia mendahulukan kepentingan dan hak-hak wanita dari pada laki-laki dengan cara meng-orientasikan seluruh kegaitan laki demi kepentingan perempuan. Ketiga, perluasan penididikan dan perlindungan bagi wanita sebagai suatu cara efektif dalam menyongsong perubahan sosial (baca: Edi Seoharto, teori feminis dan pekerjaan sosial. Pdf, 9).
 
Apa sebenarnya kalam feminis?
Melihat relita yang kian marak terjadi hari ini, di mana para wanita telah berkoar-koar untuk terbebebas dari  kungkungan hukum dan kebijakan yang dikeluarkan oleh laki-laki, serta pembelaan dalam segala line kehidupan, mulai dari rana keluarga, politik, sampai pada hal yang bersifat kodrati biologis, dengan  tuntutan untuk senantiasa disama-ratakan dengan laki-laki, membuat penulis mereasa risih.

Ekspansi gerakan gender dengan merajainya paham liberealdalam menyerukan gerakan pembabasan, menjadi suatu keniscayaan adanya feminism yang berlebihan. Sehingga pada titik kulminasinya akan menghasilkan perlawanan disorientasi yang jauh terlempar dari koridor kodrat kemanusiaan. Bahkan menyimpang dari apa yang divisikan Islam pada mulanya dalam pengangkisan derajat dan pembelaan bagi kalangan wanita. Dari hal ini, mengindikasikan adanya perluasan wacana kalam feminisme. Atau kalau boleh penulis menyabutnya dengan over paradigm of Islamic feminis.

Ketika wanita sudah berani melawan kebijakan kodrat alamiyah, apabila seorangg istri sudah tidak lagi mau diatur oleh suminya dengan dalih ‘saya juga punya prinsip’, dan ketika anak prempuan sudah membangkang saran dan pesan orang tua, maka ini tidak lagi dikatakan gerakan pembabasan terhadap seorana perempuan. Karena bebas tidak bereati liar dan mengambil hakim sendiri. Kenyataan yang demikian ini merupakan dampak dari feminis liberatif yang terlalu mendahulukan kepentingan dan hak-hak wanita dari pada laki-laki dengan cara meng-orientasikan seluruh kegaitan laki demi kepentingan perempuan. Benarkan demikian esensi kalam feminis?

Riffat hassan menegaskan dalam Falsafah Kalam Sosial bahwa kalam feminisme adalah wacana pemerataan hak dan kewajiban yang jauh dari ligimitasi gerak bebas kaum peremuan. Pemeratan yang bukan berarti penyamaan dan bembebasan. Karena menurutnya secara tanggungjawab sosial antara laki-laki denngan perempuan mesti berbeda. Hal ini karena secara kodrat kemampuan wanita tidak bisa dipaksakan untuk sama persis dengan laki-laki. Dari itu Riffat memberikan penguatan bahwa para Nabi dan Rasul dari laki-laki. Dan ketika melihat tokoh –tokoh pembesar dunia, didominasi oleh lak-laki. Hal ini harus diakui dan sudah menjadi fakta sejarah.

Edi suharto pun menegaskas, dengan adanya gerakan gunder ini, para wanita harus lebih mandiri. Tidak terlalu bergantung pada laki-laki. Menurutnya wanita harus lebih percaya diri di dalam berpartisipasi diranah publik. Wanita harus selalu tampil progres serta berhak menata masa depannya, dengan melakukan perencanaan yang baik dan benar, bukan malah menjadi manusia manja yang selalu mengelu-elukan segalanya pada laki-laki. Namun, di sisi lain kebebasan yang diperjuangkan Islam bukan berarti membuka lebar-lebar pintu peralihan tugas dan fungsi antara laki-laki dan perempuan, tidak juga berarti perempuan boleh mengatur segalanya, utamanya dalam ruang lingkup keluarga.

Dari itu penulis mengira bijak pendapat yang demikian. Denga adanya kalam feminis wanita semakin terjaga hak serta kewajibannya dan perempuan tidak boleh dikebiri oleh kalangan manapun. Gerak bebas dalam berproses, dalam mendapatkan pendidikan semakin tampak. Tapi janga sampai memposisikan perempuan melebihi dari pada laki-laki seecara tanggung jawab dan tidak boleh memaksakan kesamaan kodrati diatara keduanya.

Dan apabila perempuan sudah tidak sanggup menanggung segala bentuk kewajibannya, maka adalah tugas laki-laki untuk mengakomudir kewajiban dimaksud. Apabila kesucian wanita terancam dengan kebebesan gerak yang diberikan  kepada perempuan maka kalam feminism tidak dapat kita implementasikan dalam fakta kehidupan. Sehingga tidak akan ada lagi istilah wanita merantau ke negeri seberang karena menanggung beban keluarga. Dan tak akan ada lagi kisah wanita yang diperkosa di kos-kosan lantaran kuliyah keluar kota tanpa didampingi keluarga. Inilah yang kami maksud dengan Feminisme pilihan bukan paksaan. Menyetakan kebebasan, hak dan tanggung jawab harus benar-benar berdasarkan beberapa pertimbangan. Wanita yang berpesatapora karena ada lampu biru untuk sama degnan  laki, jangan-jangan ini malah menjadi ancaman bagi kodrat keperempuanan? Renungkang bersama!


Artikel ini ditulis oleh Ahmad Fairozi, Alumni PP. Annuqayah derah Lubangsa yang sedang menempuh jenjang Pasca Sarjana di UNUSIA Jakarta