Mewariskan Ingatan

 
Mewariskan Ingatan

LADUNI.ID - Saya suka nonton film perang, bersetting klasik maupun modern. Kolosal, epos, maupun biopic, semua saya suka. Ada banyak film yang telah saya tonton dan cover filmnya saya kumpulkan dalam album foto di FB ini. hahaha. Sebagian masih belum sempat saya share.

Karena kebanyakan nonton film perang, alih-alih saya terobsesi dengan senjata dan darah, lalu berpikir menjadi “pahlawan dalam angan-angan” seperti Don Quixote, saya malah takut berperang. Pecundang? Terserah mau bilang apa. Tapi manakala ditempa dengan kultur “sadistik” saat berlatih hingga menjadi warga PSHT beberapa tahun silam, saya memahami apabila kekerasan hanyalah salah satu jalan (keluar), dan perang adalah akumulasi dari kekerasan ini.

Apakah ada cara mengelola ekses perang menjadi sebuah perdamaian? Ada. Dalam liputan mengenai “Lasem: Tiongkok Kecil” beberapa waktu lalu di Metro TV, Mas Munawir Aziz mengatakan apabila guyub rukunnya warga Tionghoa dengan penduduk lokal Lasem selama beberapa abad ini merupakan dampak dari proses “mewariskan ingatan” secara turun temurun. Ingatan kolektif mengenai kebersamaan warga Lasem yang dibantu laskar Tionghoa dalam peperangan melawan VOC dan Keraton Kertasura, 1742, atau yang lazim disebut Geger Pacinan. Cerita kebersaman dua etnis berbeda agama dalam perlawanan terhadap kesewenang-wenangan ini secara turun temurun diwariskan dari generasi melalui folklore, cerita menjelang tidur, bahkan dalam acara haul seorang ulama Lasem.

Mewariskan ingatan adalah sebuah langkah kecil tapi berdampak besar. Apabila seserang merawat ingatan mengenai kebersamaan, optimisme, dan cinta kasih lalu diwariskan secara turun temurun, maka proses ini akan mengkristal dalam benak dan berlanjut pada tindakan seseorang. Demikian juga sebaliknya, apabila seseorang mengestafetkan kebencian kepada generasi setelahnya, niscaya kebencian ini akan terinstal mengiringi pertumbuhan psikologis orang tersebut. Saya kasih contoh, sebuah video bertema Perang Suriah diputar di hadapan anak-anak. Narator kemudian berkisah mengenai jalinan kisah tragis perang saudara tersebut. Tentu, dengan dramatisasi sedemikian rupa.

Narator pertama menjelaskan apabila Suriah hancur akibat ulah tiran bernama Bashar Assad yang membunuh rakyatnya sendiri dan mengakibatkan kerusakan di berbagai sudut negeri, Narator terus menerus menggemakan semangat ber”jihad” anak-anak diiringi dengan takbir dan tak lupa menyertakan kutukan terhadap Bashar yang hampir selalu mengiringi kalimat-kalimatnya yang bergemuruh. Slide dan video mengerikan yang konon diambil di Suriah terus dipertontonkan, meskipun pada akhirnya kita juga tahu apabila beberapa video maupun foto sadis seputar Suriah validitasnya meragukan (ada banyak potongan yang diambil di Irak, Palestina, bahkan Amerika Selatan!). Bagi narator, hoax atau tidak itu tidak penting. Ada yang lebih penting lagi: mengobarkan semangat “jihad” dan, pada akhirnya, seperti biasa, mengumpulkan donasi yang entah disalurkan ke korban atau (jatuh) ke teroris.

Narrator kedua berbeda. Dia mengajak anak-anak menonton video yang sama. Tak ada pekik takbir, tak ada dramatisasi, tak dijumpai pula kutukan kepada Bashar. Narrator hanya mengajak anak-anak merenungkan dampak destruktif akibat kerusakan yang terjadi akibat perang, ditambahkan dengan ajakan menjaga persatuan dan kesatuan, dan saling menyayangi sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Tak ada injeksi kebencian, tak ada pula pewarisan kesumat, apalagi hoax.

Fara femirsa fenggemar fitsa hats, kedua narator ini sama-sama berproses mewariskan ingatan. Sama-sama menggunakan perang sebagai referensi. Satu dengan cara mewariskan ingatan kebencian, yang satu lagi mewariskan ingatan kebersamaan dan perdamaian. Anda suka yang mana? Terserah anda. Tapi yang pasti, pilihan anda menunjukkan watak dan segumpal hasrat yang mengendap dalam pikiran.

Inkubator

Jika pertempuran itu urusan prajurit, maka perang hanyalah wilayah para politisi. Demikian kata AM. Hendropriyono dalam “Operasi Sandi Yudha” (Kompas: 2014). Dalam sudut lain, aksi-aksi berlatar kebencian hanyalah urusan bigot, tapi inkubatornya ada di otak politisi, baik melalui corong propaganda partai maupun melalui agamawan. “Nabok nyilih tangan ini” (memukul meminjam tangan orang lain) ini yang sangat berbahaya, saya kira.

Di Myanmar, kaum Budhis ekstremis digodog terlebih dulu dan diagitasi oleh Ashin Wirathu, biksu garis keras, sebelum melakukan aksi mengerikan terhadap kaum muslim Rohingya di wilayah Rakhine. Junta militer menjadi beking aksi ini, dan Ma Ba Tha, sebuah organisasi garis keras kaum Budhis mendukungnya. Tak hanya itu, kongkalikong para jenderal di ladang perpolitikan dengan para biksu ultranasionalis mendukung adanya undang-undang yang dipandang diskriminatif terhadap kaum muslim dan kaum perempuan. Siapa yang diuntungkan? Para politisi yang sengaja menggunakan kebencian untuk meraih simpati publik. Meski NLD alias Partai Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Aung San Suukyi berhasil mengantarkan wakilnya di tampuk kekuasaan, 2015, namun mereka belum berdaya.

Bahkan, pengacara muslim Myanmar yang juga aktivis NLD, Ko Ni, 29 Januari 2017, ditembak mati saat tiba di Bandara Yangoon, sesaat setelah mendarat dari perjalananannya di Indonesia. Pembunuhnya? Anda bisa menebak siapa yang berada di balik aksi ini! Ko Ni adalah muslim yang gigih memperjuangkan hak-hak kaumnya sejak dia bergabung dalam NLD-nya Suu Kyi. Dia bahkan mengkrtik Suu Kyi yang berkomentar rasialis setelah diwawancarai jurnalis muslimah, Mishal Husein.

Di India, rasa chauvinistik kaum ultanasionalis Hindu dikelola dengan “baik” oleh para politisi Bharatia Jannata Party (BJP). Dengan menggunakan para pendeta garis keras dan organisasi kepemudaan, partai politik ini mengorganisir massa fanatik dan meletupkan isu sensitif mengenai Masjid Babri, bahwa masjid ini didirikan di atas reruntuhan Kuil Rama (ayo, bandingkan dengan isu yang diusung oleh Partai Likud, kaum ultranasionalis Yahudi di Israel apabila Masjidil Aqsha berdiri di atas reruntuhan Kuil Sulaiman!).

Masjid Babri diserang, dibakar dan ratusan kaum muslimah, kabarnya, mengelamani kekerasan seksual. Ketika partai politik ini memenangkan calonnya sebagai perdana menteri, Atal Bihari Vajpayee, beberapa tahun silam, aksi-aksi tidak simpatik pendukung partai ini terhadap pemeluk agama lain, muslim dan nasrani, meningkat. Di era Narendra Modi, PM saat ini yang juga berasal dari BJP, India lumayan stabil dalam aspek politik antar pemeluk agama, meskipun dia adalah nasionalis Hindu dan merupakan pentolan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), paramiliter ultakonservatif Hindu yang banyak terlibat aksi intoleransi. Sampai saat ini, beberapa politisi Bharatia Jannata Party ditengarai berada di balik aksi intoleransi terhadap peristiwa Masjid Babri 1992, maupun “Peristiwa Gujarat 2002”, yaitu bentrokan kaum muslim dan Hindu yang menyebabkan 790 muslim dan 254 Hindu tewas, serta 223 orang dinyatakan hilang, puluhan kuil dan masjid rusak, dan luka traumatik yang tidak sembuh hingga kini. Kaum Nasrani juga mengalami kekerasan tatkala beberapa kaum ultranasionalis Hindu ini menyerbu gereja, melakukan kekerasan fisik terhadap para pendeta dan suster, serta melakukan perusakan berat terhadap kolase dan pekuburan Kristen, September 2008, di Mangalore.

Tentu, politisi yang berlindung di balik agama dan memelihara watak kekerasan tak hanya di dalam agama Budha dan Hindu saja. Di Islam banyak kita temukan, di Nasrani juga sama. Kalau kita diskusikan berdasarkan kasus per-pemeluk agama, bisa berbantal-bantal tebalnya. Intinya, watak rakus dan hasrat sebagai “penakluk” dengan itu dimiliki setiap manusia yang beragama maupun tidak, hanya saja politisilah yang paling cerdas (licik?) menunggangi isu-isu seperti ini, apalagi ketika kongkalikong dengan pengusaha dan agamawan. Klop sudah! Inkubator kebencian kadangkala lahir dari kerjasama ketiga pihak ini. korbannya? Ya siapa lagi kalau rakyat kere yang awam. Banyak kasus membuktikannya. Peristiwa konflik Maluku yang telah berakhir adalah studi kasus yang seharusnya membuat kita banyak merenung, bahwa dalam setiap darah rakyat yang tertumpah ada beberapa pihak yang bersorak dengan kepentingan masing-masing.

Charger Sosial Spiritual

Fara femirsa fenggemar fitsa hats, proses “pewarisan ingatan” harus senantiasa dilakukan. Kalau pewarisnya punya watak jagoan, dia bakal mewariskan kebencian dan konflik. Apabila pewarisnya punya watak muslih alias rekonsiliator dan penyuka harmoni, dia akan mengelola ingatan pahit mengenai perang dan konflik bukan dengan cara menginjeksikan permusuhan, melainkan dengan jabat tangan dan kebersamaan.

Mengapa saya menuliskan pembahasan ini. Sebab, semakin banyak masjid yang dipakai melakukan agitasi dan provokasi, baik melalui khutbah jumat maupun pengajian. Saya memang tidak setuju dengan wacana sertifikasi khatib dan mubaligh yang masih lontaran isu itu, tapi lebih tidak sepakat lagi dengan beberapa orang yang secara kurangajar menjadikan masjid sebagai mesin pemanas politik. Bagi saya, masjid adalah tempat sakral tempat beribadah dan berlabuhnya hamba yang dengan rendah hati melantunkan dzikir dengan ritmis dan bersimpuh sebagai pendosa, serta paling banter dipakai sebagai kegiatan kemasyarakatan yang merajut harmoni umat.

Sedangkan khutbah Jumat, bagi saya, seharusnya berfungsi sebagai charger sosial-spiritual yang membangkitkan kembali fitrah manusiawi sebagai manusia yang bermanfaat dan hamba-Nya yang taat, setelah selama Sabtu hingga Kamis hanya berkutat pada persoalan duniawi saja. Dengan demikian, paling banter jamaah Jumat hanya tertidur mendengarkan uraian khatib (sebagaimana yang saya alami hahaha), bukan malah misuh-misuh lalu berganti masjid sebagaimana dialami sahabat saya menjelang Pilpres 2014 saat shalat di sebuah masjid besar di Surabaya, “Khatib Janc*k, aku itu datang shalat Jumat pengen hati adem karena sudah berhari-hari mikir duniawi saja, eh malah khutbah isinya Jokowi musuh Islam. Ya wis, aku langsung pindah masjid.”

Wallahu A’lam Bisshawab

Oleh: Rijal Mumazziq Z

Ketua LTN PCNU Surabaya