Menimbang Nilai Kebaikan dalam Pluralitas

 
Menimbang Nilai Kebaikan dalam Pluralitas
Sumber Gambar: tebuireng.co, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Baik dan buruk secara filosofis adalah nilai etis yang melekat pada setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Pola dialektis pengembaraan manusia mengenal dirinya, alam semesta dan Tuhan sebagai pencipta telah menempatkan manusia sebagai makhluk yang istimewa dengan unsur pembeda berupa akal dan pengetahuannya.

Manusia yang berpikir akan mengantarkan dirinya mengetahui, dari mengetahui akan lahir pemahaman, sebagai puncaknya lahirlah sebuah tindakan. Dialektika yang dimaksudkan inilah yang melatarbelakangi secara eksplisit mengenai nilai etis yang terkandung dalam tindakan manusia.

Dalam kehidupan awam sehari-hari nilai etis ini sering dituduhkan sebagai bagian dari tanggung jawab agama. Perilaku manusia dianggap bermuatan teologis normatif semata. Hal tersebut berkonsekuensi pada penggunaan kacamata dosa, pahala, halal dan haram menjadi pembatas tindakan manusia. Anjuran agama menuntut sebuah tindakan yang bermuatan pahala, sebaliknya larangannya mengandung dosa yang harus ditinggalkan oleh manusia. Sederhana, namun cukup fungsional dalam kehidupan manusia.

Implikasi fungsional ajaran moral agama dalam sejarahnya telah melahirkan manusia yang baik serta telah menciptakan lingkungan yang kondusif. Namun demikian, kehidupan ini tidaklah cukup hanya bersandar pada ajaran kebaikan dogmatis keagamaan semata. Perubahan sosial dan relasinya dengan berbagai macam pertumbuhan eksternal manusia telah ikut mempengaruhi pola kehidupan manusia itu sendiri dalam memahami dan menyikapi kehidupannya. Maka kebaikan itu tidak cukup hanya diamalkan, sebagaimana kejahatan juga tidak cukup hanya dengan menjauhinya. Pengertian mengenai kebaikan, kebajikan, keburukan dan kejahatan menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui.

Mengurai nilai-nilai etis secara kognitif memang cukup jarang ditelaah, hal itu disebabkan muatannya yang terlalu radikal, apalagi hari ini umat manusia cenderung menggunakan segala hal yang berbasis instan dan pragmatis. Segala hal yang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dianggap tidak berguna (meaningless), sebaliknya segala yang behubungan langsung dengan kehidupan dianggap berguna (meaningful). Sederhananya, manusia saat ini meminta proses yang cepat untuk sebuah kepuasan diri.

Corak kehidupan yang dimaksudkan di atas telah menjelma sebagai pola mainstream pada berbagai sisi kehidupan manusia. Misalnya dari sisi kehidupan ekonomi, kita sering menyaksikan sejumlah orang sangat menggebu-gebu mengejar kekayaan secepat mungkin. Kasus penipuan penggandaan uang, dan cara-cara instan lainnya yang terkadang tidak masuk akal hemat penulis tidak melulu dapat dinisbatkan pada kebuasan keadaan. Namun sisi lain dari berbagai kasus tersebut juga disebabkan oleh kebobrokan pengetahuan khalayak mengenai arti kaya dan kekayaan itu sendiri.

Contoh serupa pada segmen kehidupan politik juga kita jumpai lompatan-lompatan akrobatik yang sukar dinalar. Raut muka santun dan ramah kadang tidak menggambarkan wajah hati yang bersih, namun semua pencitraan tersebut tidak lain hanya bertujuan untuk merengkuh kekuasaan. Sebagai hasilnya, lahirlah pemimpin-pemimpin akrobatik dengan pola lompat sana lompat sini. Hari ini penguasa desa, esok jadi penguasa negara, dan berbagai contoh yang mirip lainnya.

Fenomena lain yang tidak kalah menarik terjadi dalam kehidupan beragama. Hari ini banyak kita temui, kelompok-kelompok yang sangat heroik membela agama tatkala agama diklaim telah “dinistakan”. Jika ditelisik lebih dalam, tindakan heroik tersebut tak ubahnya dengan tindakan reaktif yang cenderung egois ketimbang makna sesungguhnya dari pembelaan itu sendiri. Sebagai pemicunya adalah aksi "penistaan" yang datang dari luar. Dalam kasus ini, tempo hari tentu Basuk Tjahya Purnama atau sosok yang akrab dikenal dengan Ahok layak disebut sebagai aktor pemicu. Banyak orang yang terlibat dalam pembelaan agama tersebut baik secara verbal maupun secara tindakan dengan jumawa melebeli dirinya sebagai pembela agama. Sisi lain, di luar sana beberapa muslim yang memilih berpikir jernih dengan mencoba mencari jalan alternatif yang lebih baik dianggap sebagai begundal agama.

Gelaran realitas ekonomi, politik dan keberagamaan di atas belum sepenuhnya menggambarkan pemahaman yang benar mengenai nilai yang baik dan yang buruk. Konsekuensi dari paradigma positivisme begitu sangat dominan. Seluruh nilai kebaikan selalu diidentikkan dengan perbuatan konkret berupan tindakan fisik  dan pencapaian secara kasat mata. Bahwa kaya selalu bersanding dengan harta, memimpin sama dengan berkuasa dan beriman selalu identik dengan menghabisi si kafir. Sesimpel itulah manusia di era ini menimbang dan memahami nilai-nilai kebaikan.

Sebagai akibatnya, pemahaman simplisitik dan pragmatis di atas tidak pernah mendatangkan kebaikan yang memuaskan. Sekiranya harta itu didapat cukup dengan asap kemenyan, maka tidak mungkin ada kepuasan setelah bekerja. Jika kekuasaan sama dengan memimpin maka manusia tidak perlu mematuhi aturan, dan jika beriman sama dengan menghabisi orang kafir maka Tuhan tidak perlu menciptakan perbedaan.

Kini bangsa ini telah menemui kejenuhan dari dampak pemahaman nilai kebaikan yang dangkal tersebut. Nilai kebaikan sudah tidak cukup lagi dipahami dari cermin budaya, politik dan agama. Manusia harus kembali menjadi dirinya, mengaji jati dirinya dan menutup dari segala upaya menjadi diri di luar dirinya. Segala macam nilai kebaikan performatif dari luar diri harus dimaknai sebagai tawaran bukan sebuah keharusan. Pada segmen inilah manusia harus menjadi tuan bagi dirinya, bebas memahami, memilih dan bertindak.

Aristoteles mengasumsikan kehidupan manusia menjadi dua segmen, yaitu sebagai diri bagi dirinya dan sebagai diri dalam komunitas. Segala hal mengenai kehidupan harus melibatkan pertimbangan dua segmen tersebut, termasuk di dalamnya mengenai nilai kebaikan. Jika budaya, politik dan agama menyodorkan suatu kebaikan maka pertimbangan pertama adalah kebaikan dan kepuasan untuk diri, baru kemudian kebaikan dan kepuasan untuk komunitas, termasuk di dalamnya pluralitas agama, suku dan budaya.

Menimbang kepuasan diri dan komunitas secara bijak bukan hal yang mudah. Dalam hal ini Plato mengandaikan kebaikan dan kepuasan pada anatomi tubuh manusia, di mana Plato membaginya menjadi tiga bagian. Bagian paling bawah adalah kebaikan yang berpusat pada perut dan di bawah perut, bagian ini bersifat "syahwatiah". Bagian tengah ada dada sebagai pusat segala bentuk kebaikan dan kepuasan reputasi dan harkat martabat, pada bagian ini bersifat politis. Kemudian bagian atas ada kepala sebagai tempat bersemayam rasio yang mampu membedakan nilai kebaikan dan kepuasan yang sesungguhnya.

Dua pandangan filsuf di atas cukup memberikan jalan terang bagi kita untuk mengetahui nilai kebaikan dari setiap yang kita lakukan. Setidaknya ada dua jalan. Pertama, jadikan diri kita sebagai tuan bagi diri kita sendiri yang memiliki kesadaran individual dan pluralitas. Kedua, kembalilah pada akal sebagai instrumen penimbang kebajikan dan kebijakan yang kita pilih dalam hidup ini. Dua jalan ini cukup relevan untuk menimbang kebaikan dalam rentangan pluralitas dan kebangsaan dibandingkan sekadar pilihan jalan halal dan haram.

Lalu, masihkah kita akan selalu heroik menggelar dan menunjuk orang atau kelompok tertentu sebagai biang kesalahan atas nama kebaikan (kesholehan)? Sementara mungkin kita belum tuntas memahami nilai kebaikan, atau jangan-jangan nilai kebaikan yang kita pahami masih berkisar pada persoalan dada, perut dan di bawah perut kita? Hanya pribadi kita yang tahu. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 14 Februari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ach. Tijani (Akademisi IAIN Pontianak)

Editor: Hakim