Hukum Makan Hingga Kekenyangan

 
Hukum Makan Hingga Kekenyangan

LADUNI.ID. Jakarta - Rasa lapar yang sangat tinggi terkadang membuat kita secara tidak langsung melahap makanan hingga berlebihan.
Akibatnya perut terlalu kenyang bahkan tak sedikit orang yang muntah akibat makan terlalu kenyang.

Allah SWT  memberi panduan terkait makan, dengan firman-Nya:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya: "Makan dan minumlah kalian, namun jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang suka bersikap berlebihan." 
(QS. al-A’raf: 31). 

Dalam banyak hadits shahih, Rasulullah telah melarang agar seseorang tidak makan terlalu kenyang. Tentu larangan tersebut bukan tanpa sebab, pasti selalu ada hikmahnya. Sabda Rasulullah SAW berikut ini.
“Orang-orang mu’min makan dengan satu usus dan orang kafir makan dengan tujuh usus.” (HR. Bukhari Muslim).

Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata,

لان الشبع يثقل البدن، ويقسي القلب، ويزيل الفطنة، ويجلب النوم، ويضعف عن العبادة

“Karena kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah.”[Siyar A’lam An-Nubala 8/248, Darul hadits, Koiro, 1427 H, syamilah]Namun jika dengan  kenyang banget tidak  menimbulkan bahaya atau muntah- muntah , ya tidak apa-apa.
Sebagaimana dalam hadits ketika Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu kekenyangan minum susu,

 

فَأَخَذْتُ الْقَدَحَ فَجَعَلْتُ أُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَأُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ رَوِيَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ فَأَخَذَ الْقَدَحَ فَوَضَعَهُ عَلَى يَدِهِ فَنَظَرَ إِلَيَّ فَتَبَسَّمَ فَقَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَقِيتُ أَنَا وَأَنْتَ قُلْتُ صَدَقْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اقْعُدْ فَاشْرَبْ فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ فَقَالَ اشْرَبْ فَشَرِبْتُ فَمَا زَالَ يَقُولُ اشْرَبْ حَتَّى قُلْتُ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا قَالَ فَأَرِنِي فَأَعْطَيْتُهُ الْقَدَحَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَشَرِبَ الْفَضْلَةَ

“Lalu Beliau Shalalllahu ‘Alaihi Wa sallam. mengambil gelas tadi dan meletakkannya di atas tangan Beliau Shalalllahu ‘Alaihi Wa sallam.
Seraya memandangku sambil tersenyum dan bersabda,”Wahai, Abu Hirr! Tinggal aku dan kamu (yang belum minum). Aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Duduk dan minumlah.” Akupun duduk dan meminumnya. Lalu Beliau Shalalllahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda lagi,”Minumlah,” lalu aku minum. Beliau terus memerintahkan kepadaku minum, sehingga aku berkata,”Cukup. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku. Beliau bersabda, ”Berikanlah kepadaku,” aku pun menyerahkan gelas tadi, kemudian Beliau Shalalllahu ‘Alaihi Wa sallam memuji Allah dan meminum susu yang tersisa.”   [HR. Al Bukhari no. 5971]

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

إذَا أَكَلَ أَحَدُكمْ فَليَلْعَقَ أَصَابِعَهُ, فَإِنَّهُ لا يَدرِي فِي أَيَّتِهِنَّ اْلبَرَكة

”Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka jilatlah jari-jarinya, karena ia tidak mengetahui di bagian makanan yang manakah keberkahan itu berada” [Shahiih Muslim 3/1607).

Dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddinal-Ghazali menjabarkan bahwa ada enam macam penyakit yang diakibatkan kondisi terlalu kenyang. Sebagian merupakan penyakit fisik dan lainnya adalah penyakit batin. Keenam penyakit itu adalah;

Pertama melunturkan rasa takut kepada Allah swt. orang yang terbiasa dalam kondisi kenyang akan selalu merasa kecukupan dan akan terbersit dalam hatinya bahwa ia tidak membutuhkan orang lain lagi, bahkan secara perlahan juga menyingkirkan Allah swt sebagai Yang Maha Pemberi Rzki. Karena seseungguhnya ia mengira bahwa makanan itu merupakan hasil keringatnya.

Penyakit Kedua merupakan lanjutan dari proses penyakit pertama. Ketika rasa takut kepada-Nya telah tiada, maka seseorang akan bermalas-malasan untuk beribadah.

Penyakit ketiga adalah lenyapnya rasa kasihan terhadap sesama, karena dia mengira semua orang telah kenyang sepertinya. Hatinya begitu dangkal untuk sekedar ikut memahami dan merasakan kondisi orang lain.

Penyakit keempat adalah tertutupnya hati dan telinga dari berbagai macam hikmah dan kebijakan yang datang kepadanya. Sehingga mereka yang dalam kondisi kenyang sangat susah menerima nasehat dan petuah akan kebaikan.

Begitupun sebaliknya, (penyakit kelima) ketika seseorang yang dalam kondisi kenyang memberikan nasehat maupun petuah pastilah nasehat itu akan terbang dibawa angin dan tidak akan berkesan di hati pendengarnya.

Dan penyakit keenam bahwasannya kondisi kenyang akan mengundang penyakit. Mengenai hal ini fenomena merebaknya penyakit diabets, kolesterol, hipertensi dan lain sebagainya adalah bukti nyata dari hadits Rasulullah saw di atas.

Oleh karena itulah, hendaknya manusia mewaspadai kondisi terlalu kenyang. Hal ini yang sedari dulu diajarkan oleh para kyai di pesantren, bahwa berhentilah makan sebelum kenyang.

Karena kondisi kenyang gampang mengundang setan. Rasulullah saw bersabda

إن الشيطان يجرى من ابن أدم مجرى الدم فضيقوا مجاريه بالجوع

Innas syaithana yajri min ibni adam majrad dammi, fadhayyiqu majariyahu bilju’i

Sesungguhnya setan itu berjalan pada manusia di tempat jalannya darah. Maka persempitlah jalannya itu dengan mengosongkan perut.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,

وما جاء من النهي عنه محمول على الشبع الذي يثقل المعدة ويثبط صاحبه عن القيام للعبادة ويفضي إلى البطر والأشر والنوم والكسل وقد تنتهي كراهته إلى التحريم بحسب ما يترتب عليه من المفسدة

“Larangan kekenyangan dimaksudkan pada kekenyangan yang membuat perut penuh dan membuat orangnya berat untuk melaksanakan ibadah dan membuat angkuh, bernafsu, banyak tidur dan malas. Hukumnya dapat berubah dari makruh menjadi haram sesuai dengan dampak buruk yang ditimbulkan (misalnya membahayakan kesehatan, pent).” [5]

Demikian semoga bermanfaat.

Sumber : Kitab- Ihya’ Ulumiddinal-Ghazali,  HR. Bukhari Muslim

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 17 Februari  2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan