Pandangan Gus Dur terhadap Konstribusi Kyai di Masyarakat

 
Pandangan Gus Dur terhadap Konstribusi Kyai di Masyarakat
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, merupakan salah satu tokoh yang gigih dalam mempromosikan peran kyai dalam masyarakat Indonesia. Sebagai seorang ulama dan politisi, Gus Dur memahami betul pentingnya peran kyai sebagai pemimpin spiritual dan intelektual dalam masyarakat Islam Indonesia. Salah satu cara yang digunakan Gus Dur untuk mempromosikan kyai adalah dengan memberikan dukungan penuh terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional, seperti pesantren. Beliau percaya bahwa pesantren tidak hanya sebagai tempat pembelajaran agama, tetapi juga sebagai lembaga yang mampu menghasilkan intelektual dan pemimpin yang dapat membawa perubahan positif bagi masyarakat.

Selain itu, Gus Dur juga sering kali mengundang para kyai untuk berperan aktif dalam forum-forum nasional maupun internasional. Melalui partisipasi aktif para kyai dalam berbagai forum tersebut, Gus Dur ingin menunjukkan kepada dunia betapa pentingnya kontribusi para kyai dalam membangun perdamaian, toleransi, dan pemahaman antaragama. Dengan demikian, Gus Dur tidak hanya mempromosikan kyai di tingkat nasional, tetapi juga di mata dunia sebagai tokoh yang memiliki peran strategis dalam membangun perdamaian dan harmoni sosial.

Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang merangkul berbagai kalangan dan golongan dalam masyarakat, termasuk para kyai. Beliau percaya bahwa keragaman adalah kekayaan yang harus dipelihara dan dihargai. Dengan cara ini, Gus Dur tidak hanya mempromosikan peran kyai di kalangan umat Islam, tetapi juga di kalangan masyarakat luas sebagai tokoh yang dapat memberikan inspirasi dan arahan dalam menjaga kerukunan dan keharmonisan antarumat beragama.

Terakhir, Gus Dur juga menggunakan media massa sebagai sarana untuk mempromosikan peran kyai. Beliau sering memberikan wawancara dan menulis artikel tentang peran kyai dalam berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Melalui media massa, Gus Dur ingin menyampaikan pesan bahwa kyai bukan hanya sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin yang dapat memberikan arahan dan solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian, Gus Dur telah berhasil mempromosikan kyai sebagai tokoh yang memiliki peran strategis dalam pembangunan masyarakat Indonesia.

Rijal Mumazziq Z, ketua LTN PCNU Surabaya menyampaikan bahwa tahun 1980-an, beberapa kyai sempat menjuluki Gus Dur sebagai “kyai ketoprak”. Julukan itu dilontarkan lantaran gaya Gus Dur slenge’an kayak seniman, akrab juga dengan seniman, menjadi dewan juri Festifal Film Indonesia, fasih bercerita wayang, paham seluk beluk ludruk, kesenian asli Jawa Timur tersebut.

“Kyai kok begitu,” kira-kira itulah keluhan beberapa kyai. Ya, terasa sinikal julukan tersebut. Tapi pelan-pelan julukan itu luntur, hilang sama sekali. Mengapa?

Gus Dur membuktikan bahwa dirinya cinta mati pada kyai. Pembuktiaan Gus Dur tidak main-main. Dia gencar menulis profil-profil kyai secara populer di pelbagai media. Setelah Kyai Saifuddin Zuhri mulai jarang menulis kyai-kyai (karena makin sepuh dan sepertinya sudah khatam menulis kyai setelah terbitnya buku “Berangkat dari Pesantren” tahun 1984), Gus Durlah yang meneruskan tradisi gurunya (Kyai Saifuddin Zuhri) menulis kyai dengan serius: detil, mengena, sastrawi, dan pada saat yang bersamaan, tidak kehilangan kejenakaannya.

Salah satu karya Gus Dur yang saya suka, sangat suka, buku tipis “Kyai Nyentrik Membela Pemerintah” (LKiS: 2001). Sebab, di dalam berbagai kolomnya, Gus Dur menempatkan kyai bukan sebagai maf’ul bih (obyek), melainkan sebagai fa’il (subyek), pelaku yang berperan aktif dengan segala perannya, dengan semua cara pandang, pola pikirnya dan tindakannya.

Dalam buku “Kyai Nyentrik Membela Pemerintah”, Gus Dur mengisahkan Kyai Iskandar, sosok unik yang di masa remaja bersekolah di lembaga Muhammadiyah kemudian melanjutkan pendidikannya di Ponpes Lirboyo, Kediri, dan sepulang dari mondok dia harus mengemong dua kubu di desanya: santri dan abangan yang bertahun tahun berseteru.

Ketika ada jenazah muslim KTP, alias nggak pernah beribadah tapi mengaku Islam, Kyai Iskandar memilih tetap mensalatinya dengan berbagai pertimbangan.

Tindakan Kyai Iskandar ini menjadi perbincangan kalangan “santri” maupun saudara-saudara “abangan”. Tapi, sejak saat itu abangan ini mulai luluh. Mereka semakin menghormati Kyai Iskandar dan perlahan lahan banyak juga yang terpengaruh gaya dakwah beliau yang ngemong itu, memanusiakan manusia itu.

Selain Kyai Iskandar, banyak ulama-ulama lain yang dikisahkan dalam buku ini. Kyai Adlan Ali, Gus Miek, Kyai Wahab Sulang Rembang, Kyai Sahal Mahfudz, Kyai Abdullah Salam, dan kyai-kyai lainnya dengan segala alam pikiran dan tindakannya sebagai khadimul ummah (pelayan umat). Mereka punya gayanya masing-masing sebagai seorang kyai. Inilah yang dipotret oleh Gus Dur kemudian dikupas dalam berbagai esainya.

Bagi saya ini cara unik Gus Dur mempromosikan kyai di era 1980-an hingga satu dasawarsa berikutnya. Ketika banyak pihak menilai kyai sebagai sosok kolot-konservatif, Gus Dur menampilkan pribadi KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, yang tidak pernah kuliah secara formal, namun memiliki pemikiran fiqh brilian, melalui esai yang judulnya amat puitis: “Kyai Pencari Mutiara”.

Ketika banyak sindiran, menilai kyai hanya duduk di “menara gading”, tidak menyapa para pendosa, Gus Dur mempromosikan Gus Miek dengan segala kiprahnya menghampiri dan membimbing para pelaku di dunia hitam.

Tatkala ada yang berprasangka apabila kyai hanya berkutat pada hitam-putih hukum fiqih, Gus Dur memperkenalkan gurunya, KH. Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta, melalui esai berjudul “Baik Belum Tentu Bermanfaat”, di mana dalam tulisan ini Gus Dur mengambil penerapan metodologi ushul fiqh aplikatif ala Kyai Ali. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Penulisan berbagai esai di atas melalui corong media “sekuler” bernama Tempo dan Kompas di dasawarsa 1980-an hingga satu era berikutnya, adalah langkah cerdik. Di dua media massa yang mengusung “sekularisme” secara ketat itu, Gus Dur malah “pasang iklan” tentang dunia kepesantrenan dengan segela kebudayaannya. Sebuah tawaran alternatif nan cerdik di tengah asumsi negatif mengenai sosok kyai pesantren (kolot, saklek, anti pendidikan formal, berpikir usang, anti perubahan, jarang pakai celana, dan seterusnya).

Dengan cara yang elegan, Gus Dur mengerek profil-profil ulama pesantren di panggung kehormatan agar lebih dikenal publik.

Kalau pembaca mengklaim diri sebagai Gusdurian tapi tak membaca buku berisi 26 esai ini, saya kira bagaikan mendaku diri pengagum Pramoedya Ananta Toer tapi tak membaca “Arus Balik”. Ironis. Saran saya, buku ini bisa dipakai sebagai bahan baku alami menyebut Gus Dur sebagai “Pecinta Ulama Sepanjang Zaman”. Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 18 Februari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar