Tarian Sufi #3: Menguak Estetika Setiap Gerakan dan Simbolnya

 
Tarian Sufi #3: Menguak Estetika Setiap Gerakan dan Simbolnya

 

LADUNI.ID,KOLOM-Para Darwisy berputar-putar dengan bertumpu secara bergantian pada tumit, sedangkan kaki yang lain mengupayakan untuk berputar. Mata mereka tampak sayu atau tertutup dan kepala mereka sedikit condong pada salah satu pundak.

Semakin mereka mempercepat putaran, rok putih mereka seperti payung yang terbuka. Tariam ini dipimpin oleh Sama’ Zembasi (pemimpin tarian sufi), beliau yang memberikan aba-aba dan tidak mengikuti tarian, Nasr mengatakan bahwa tarian Mawlawi dimuali dengan nostalgia dengan Tuhan, lalu berkembang sedikit demi sedikit menjadi keterbukaan limpahan rahmat dari surga, dan akhirnya menghasilkan fana’ dan penyatuan kedalam diri Sang Kebenaran. (Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Mawlawiyah Tarekat Kelahiran Turki, h. 330.)

Syekh Ar-rumi sebagai pencetus “The Whirling Darvishes” dalam setiap unsur dalam memainkan tarian tersebut mempunyai filosofi tersendiri, namun sebagaian orang terlupakan untuk mengambil ibrah (pelajaran).

Peci yang dipakai oleh penari berbentuk lonjong keatas, ini menyimbolkan batu nisan, sedangkan jubahnya ibarat peti jenazah, dan bajunya berwarna putih adalah laksana kain kafan, seluruh unsur tersebut mengajak kita untuk selalu mengingat kepada kematian (maut).

Instrument yang lain adalah seruling bukan saja merepresentasikan terompet mitologis untuk menghidupkan kembali orang mati pada hari kebangkitan, tapi juga menyimbolkan jiwa yang terpisah dari Tuhan, dan bertemu setelah dia dikosongkan dari diri dan diisi oleh jiwa Ilahi.

Dalam ilmu sastra, spesifiknya sebuah sastra sufistik baik syair maupun lainnya, harus dibedakan antara shurah (morfologi bahasa) dengan al-ma’ani (makna). Bahasa merupakan bentuk eksternal sedangkan al-ma’ni merupakan bentuk internal (substansi) dari suatu sastra atau puisi.

Sastra atau syair yang dapat mengekspresikan nilai spiritual apabila keluar dari seseorang yang batinnya sedang bergejolak karena kerinduan kepada Rabb (Allah SWT).

Hasil renungan kontemplatif memungkinkan adanya kristalisasi antara pengalaman batin dan pencarian spiritual sebagai manifestasi dari upayanya membangkitkan dzikir dan tafakur tentang Tuhan.

Ungkapan bahasa semacam ini akan dapat menentramkan batin seseorang dan merasa akan melahirkan nilai Rabithah (merasakan kehadiran Rabb dalam jiwanya) yang tinggi.

Menalaah sastra sufistik memberikan sebuah pesan moral kepada pembacanya untuk melakukan pendakian spiritual menuju man ‘arafa nafsah ‘arafa rabbah (Barang siapa mengenal dirinya, pasti akan mengenal tuhannya.

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Literasi asal Dayah MUDI Samalanga