Islam di Warkop Cina

 
Islam di Warkop Cina

LADUNI.ID - Manusia pada umumnya menghasrati kebaikan substansial pada apa saja yang dia hasrati mulai dari makanan, seks dan berbagai bentuk kenikmatan lainnya. Bahkan terkadang label/merek dan lain sebagainya adalah nomor dua belas dalam proses pencarian. Ketika kita sedang butuh tempat ngopi (warkop) dengan aroma dan kenikmatan yang khas, apa yang akan dilakukan? Orang yang tak begitu blo’on akan memacu langkah untuk menuju warung kopi sesuai selera yang diinginkan.

Baiklah, untuk sampai kepada pembahasan, kita mulai dari narasi singkat sebuah cerita yang bisa ditonton lewat sebuah film drama komedi “Cinta Brontosaurus”, adaptasi dari buku dengan judul yang sama karya Raditya Dika yang sampai tulisan ini dimulai belum juga si penulis sekaligus stand up comedy-an  itu menikah. Yang sudah menyaksikan film ini, cerita dua paragraf berikut boleh diskip demi hemat waktu.

Ceritanya adalah si Dika (Raditya Dika) itu memiliki paman yang bernama Wayan. Di ujung usianya yang sudah merana-renta, Wayan tak kunjung memperoleh istri. Usut temu usut, ternyata di masa mudanya, lelaki –yang dalam filmnya tampak kusut mukanya- itu, punya seratus bahkan seribu kriteria yang harus komplit bagi calon istri yang ia dambakan.

Singkat cerita, hingga dia berumur sekitar 60-an, ia tak juga beroleh istri. Seiring usianya yang terus menyusut, maka kriteria terhadap calon istri juga menyiut. Dari seribu, kini turun dan terus turun hingga jadi satu kriteria yang ia masih pegang. “Apa Ma?” kata Dika dengan wajah penuh penasaran kepada mamanya. “asal mau”, mamanya menjawab singkat sambil membawa kopi untuk disuguhkan kepada si Wayan yang kebetulan bertamu ke rumahnya.

Kita kembali sejenak kira-kira beberapa detik lalu, bahwa seseorang secara fitri lebih menggandrungi substansi suatu hal dari pada berlama-lama dalam kubangan simbolik yang tak menyegarkan kefitriannya (hasrat manusiawi). Hal ini tampak pada pilihan Wayan terhadap seribu kriteria yang ia canangkan sejak awal bagi calon tambatan hatinya. “Asal mau”, adalah hal terpenting (substansial) bagi mereka yang ingin mempersunting seseorang. Tiada guna gadis bermata biru bak awan, berhidung mancung layaknya seludang, berambut hitam ikal mayang, jika hati dan cintanya tak pernah mau bersemayam, dalam hatimu mblo..!

Begitu pula dalam fenomena yang lain, ketika hasrat untuk mendapatkan kendaraan termewah yang nyaman untuk ditumpangi harus terganjal batu kehidupan, maka sepeda onthel-pun sejatinya masih sangat menguntungkan. Yang substansial adalah sejauh mana kita bisa mengunakan benda itu sebagai kendaran walau demikian terbatasnya.

Demikian dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan terhadap beras, rempah-rempah dan lain-lain sejatinya tak perlu dengan lebay bertanya –kecuali dalam harga- dari mana ia datang. Ketika kita seruput kopi dengan nikmatnya di pagi hari, seolah tak penting lagi bertanya dari manakah kopi ini berasal? Boleh jadi kopi itu adalah hasil petikan para korporat-korporat yang memeras peluh petani kopi dengan sistem yang tidak adil. Namun, kita tidak mempermasalahkan itu kecuali dalam kapasitas dan keadaan yang berbeda.

Kita sambungkan dengan kondisi mutahir berikut sederetan isu anti-Cina yang merebak jelang tahun-tahun politik ini. Tatkala isu bahwa Cina mau menjajah negeri ini dari sektor ekonomi dengan semakin membludaknya TKA dari negeri Tirai Bambu itu masuk ke Indonesia, secara tak langsung si “pemegang” Toa dalam aksi-aksi berjilid-jilid itu juga menggunakan produk lain yang juga berasal dari negeri Cina rupanya. Untuk keperluan sehari-hari dia masih doyan mengkonsumsi beras serta panganan lain yang diproduksi dari Cina. Bahkan Handphone secanggih yang mereka dan kita genggam juga masih berstatus Made In China. Bukan begitu Koh?

Lantas, apa solusinya? Teriak orang berikat kepala dengan tulisan Arab itu seraya menengadah ke langit setengah ratap setengah bingung.

Pada intinya, manusia sejatinya tak pernah peduli dari mana suatu kebaikan dan kebahagiaan itu bersumber. Dalam bahasa yang lebih membumi, dari mana ketersediaan beras, kopi dan rempah-rempah itu datang. Pada intinya, dalam Islam apa yang bisa dikonsumsi selagi halal dan baik maka itu adalah rahmat dari Allah Swt. Sebagian orang-orang yang sering kowar-kower anti asing, aseng dan asong bisa dibilang berbicara apa yang sebenarnya tidak perlu diutarakan.

Rasulullah yang agung pernah bersabda : Min husni islamil mar’i, tarkuhu ma la ya’nihi. Artinya : “Sebagian dari kebaikan dari keberislaman seseorang ialah meninggalkan apa yang sebenarnya tidak dia inginkan”. Silakan korelasikan sendiri antara si tukang kowar dengan hadis itu!.

Solusinya satu, jika tak berkenan dengan suatu barang karena kita tahu dari mana ia berasal maka tinggalkan sama sekali dan carilah rumput baru, mungkin rumput tetangga jauh lebih hijau. Jika kita masih membutuhkan, lantas untuk apa kowar-kower apalagi dengan Toa di pinggir jalan. Lebih baik introspeksi diri, jangan-jangan karena rumput kita yang sudah layu dan menua sehingga sudah tak lagi segar. Tak perlu buang-buang waktu ngomelin tetangga hanya karena rumahnya lebih besar dari kita, jika ingin, kita ke pasar dan belilah cat!,  jika punya dana.

Jika Islam atau Indonesia ingin menyaingi kedigdayaan ekonomi Cina, jangan marahin si Kokoh apalagi sampai pakai Toa, karena bisa jadi mereka sedang asyik masyuk karaoke-an sama ma’ nyonya. Mari kita tatap tanah, dan berfikir sudah mampukah etos kerja, nyali usaha dan lain-lain yang kita miliki bersaing guna mengungguli mereka? Jika ekonomi Islam sudah sampai syarat untuk bersaing dengan para taokeh atau mungkin mengunggulinya, siapa saja akan berinduk kepadanya tanpa komando pemegang Toa.

Dan, orang yang tak begitu  blo’on yang ingin minum kopi tadi mulai menemukan warkop yang dicari, sementara yang total blo’on –temannya- balik badan dan berkata “ini warkopnya Cina, kita sedang dijajah!”. So? Si tak begitu blo’on bertanya kaget bin bingung. “lebih bagus minum kencing onta!” ujar si total blo’on di tengah deru sepeda motor. 

Oleh: M Hasanie Mubarok

Aktivis PMII IAIN Pontianak