Di Era Digital, Mari Belajar Menjadi Manusia Seutuhnya

 
Di Era Digital, Mari Belajar Menjadi Manusia Seutuhnya

Oleh Vinanda febriani

LADUNI.ID, Jakarta - Revolusi industri terus berjalan. Dari yang semula 4.0, kini menjadi 5.0. Zaman terus berkembang dari yang serba tradisional hingga kini serba modern. Pun jua teknologi, dari yang semula mengirim pesan berhari bahkan berminggu dengan surat, kini tinggal ketik pesan lalu kirim, simpel. Perkembangan IPTEK amat pesat. Manusia di muka bumi dituntut untuk mengikuti dan menyesuaikan diri dengan laju perkembangan zaman yang makin tua dan makin keropos.

Namun dampak dari perkembangan zaman kita yang makin pesat ini, kita kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia atau bahkan sebagai manusia. Seringkali kita lupa bahwa kita tengah hidup di Indonesia. Negeri permai yang kata koes plus dalam lagunya "Tanah Surga", negeri dimana tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman dengan mudahnya. Sering tanpa beradab kita mengacuhkan  lingkungan sekitar tanpa merasa berdosa. Sampah berserakan dimana-mana, ketika banjir melanda justru pemerintahlah yang disalahkan dan harus bertanggungjawab atasnya. Ini terus terulang, seakan menjadi tradisi buruk bangsa yang angkuh dan tak mau disalahkan. Segalanya adalah salah pemerintah.

Kita kehilangan solidaritas sebagai manusia penghuni bumi kecil bernama Indonesia. Nasionalisme diuji dengan banyaknya ancaman ideologi, kesatuan dan persatuan serta maraknya informasi palsu atau hoaxs. Hidup terpecah berkubu-kubu dan kerap bertikai hanya karena beda pilihan politik lima tahunan. Selain itu, kita juga kerap disibukan dengan mencari celah kesalahan orang lain tanpa berkaca pada diri kita sendiri, "sudahkah lebih baik dari kemarin?".

Inilah sebabnya amat penting menjadi manusia seutuhnya di era digital. Era dimana fitnah, ghibah, hasut, hoaxs dan namimah bertebaran dengan bebas. Jika tak mampu melawan nafsu amarah dengan menahan jari lentik di media sosial, bisa-bisa kita terjerumus dalam dosa besar yang bahkan tidak kita sadari. Memang, sekilas mencela orang atau mengumbar aib seseorang adalah suatu yang menarik dan berkesan menyenangkan. Di balik semua itu, ada ambisi-ambisi syetan yang sedang sibuk 'mencari tumbal' untuk dibawanya ke neraka.

Sedikit-sedikit menghina, mencela, su'udzon, fitnah, adalah ciri manusia di era digital yang telah banyak terhasut timbunan informasi palsu atau hatinya penuh dendam dan kebencian. Perilaku-perilaku buruk ini patut untuk dijauhkan dari jangkauan manusia-manusia berakal. Sebab selain hanya menambah timbangan dosa, perilaku-perilaku ini menjerumuskan kita kepada perpecahan, tindak kesewenang-wenangan, bahkan hingga jadi pembunuhan atau penganiayaan atas dasar perbedaan suatu yang sifatnya sepele.

Dalam tulisan kali ini, saya akan memberikan gagasan tentang bagaimana menjadi manusia seutuhnya di era digital yang agaknya membuat bangsa kita makin semrawut.

Pertama-tama, gagasan yang saya tuliskan adalah tentang bagaimana menjaga dan membersihkan hati.

Isi hati manusia sejatinya sangat lembut, selembut sutra. Bahkan bisa lebih lembut dari itu. Namun akan mengeras jika hati tersebut dipenuhi dengan prasangka-pragangka buruk pada diri, saudara atau bahkan Tuhan-nya. Hati manusia sejatinya bersih, namun akan teramat kotor bila terus diisi dengan dendam, kebencian dan keburukan. Sebab itulah, menjaga kelembutan dan kebersihan hati amat penting. Berdzikir dan beristighfar setiap waktu (khususnya bagi umat Islam) sangat membantu untuk membersihkan hati dari segala macam kotoran dan penyakit. Menahan untuk berprasangka juga sangat membantu dalam hal ini. Pastikan jika anda hendak berprasangka buruk, ada 7000 alasan yang menghalalkan prasangka anda tersebut.

Kedua, bagaimana kita menjaga jari kita untuk tidak terbawa emosi?

Emosi manusia kerap berubah-ubah, sesuai dengan suasana hati. Jika hatinya santai, maka emosinya turut santai dan cenderung stabil. Namun sebaliknya, jika hatinya tidak santai, emosinya pun cenderung tidak stabil. Dengan mudah ia akan bersikap ghadab (marah/emosi). Padahal dalam haditsnya, Rasulullah SAW melarang ummatnya untuk marah atau bahkan melampiaskan kemarahannya. Sebab bisa jadi itu merupakan pancingan syetan yang secara halus mengajak manusia menuju jalan keseatan yang bermuara di neraka.

Banyak kita temui manusia di era digital yang acapkali memperlihatkan emosionalnya kepada publik. Mereka yang sering 'ngumpat' di media sosial, menuliskan suasana hatinya di media sosial, atau saling 'tampar menampar' di media sosial. Segala hal mereka luapkan di media sosial demi mencari perhatian publik atau demi sebuah kepuasan diri semata. Tidak selayaknya ini di unggah di situs yang bisa diakses publik. Sebisa mungkin, kontrol emosi dalam bermedia sosial di era digital ini. Segala sesuatu alangkah baik jika tak ditanggapi dengan emosi.

Ketiga, bagaimana menjaga pikiran, nalar dan logika sehat di era digital?

Ketiga yang penting adalah nalar dan logika sehat. Orang cerdas pastinya berpikir dengan juga menggunakan nalar dan logika keilmuan yang berdasar. Tak hanya sekedar berpikir menggunakan amarah atau ambisi saja. Di era digital ini, kebanyakan orang berpikir dengan tidak menggunakan nalar dan logika sehatnya. Berlogika, namun logika buntu dijadikannya patokan berpikir. Sering kita temui istilah 'sumbu pendek', begitulah orang sering menyebutnya.

Keempat, adalah bagaimana menjadi manusia religius yang berjiwa nasionalis dan bertoleransi.

Orang yang religius sesungguhnya (bukan yang sok-religius) pastinya memiliki jiwa toleransi dah nasionalisme yang tinggi. Rasulullah SAW telah mencontohkan kepada umatnya, bahwa religius saja tidak cukup dalam mendakwahkan agama Islam di jalan Allah. Meski paham nasionalisme baru muncul jauh-jauh hari setelah wafatnya sang Baginda Rasul, namun sebelumnya telah dicontohkan dalam perbuatannya. Dikitip dari tausiyah Habib Luthfi bin Ali bin Yahya dalam Silaturahim Mursyid Thariqah se-Indonesia bersama TNI-Polri, di Pekalongan, Jawa tengah, Sabtu (24/1), 4 tahun yang lalu. Habib luthfi menceritakan teladan sifat nasionalisme Sang Imam, “Rasul SAW sangat mencintai Bumi Arab. Beliau sering menyatakan diri; Saya adalah Bangsa Arab." (https://nujateng.com).

Dalam kisah lain, Rasulullah mengajarkan nilai toleransi yang terpatri dalam sebuah pasal pada Piagam Madinah. Pasal tersebut menjelaskan bagaimana sikap muslim terhadap non muslim. Islam membuka pintu lebar-lebar untuk berkoeksistensi bahkan hidup bersama dengan pemeluk agama yang berbeda keyakinan dalam hal sosial.Dengan saling menghargai, menghormati, kasih sayang, serta damai dan rukun antar sesama tidak berpecah belah. Sebagaimana dalam QS. al Muntahanah: 7 dan Piagam Madinah Pasal ke-25. (kompasiana.com)

Terakhir adalah bagaimana sikap kita dalam menerima berbagai informasi yang beredar di era digital ini.

Dapat kita rasakan bahwa informasi di era digital amat mudah menyebar luas dan viral. Sedikit hal unik dan menggegerkan saja ketika diposting di media sosial langsung viral dengan kilatnya. Tak perlu menunggu beehari bahkam berminggu, cukup beberapa jam saja sudah menyebar kemana-mana. Dalam menanggapi suatu informasi, perlu ada khazanah keilmuan yang mumpuni, jangan asal komentar, posting, copast dan share. Perlu ada proses verifikasi atas kebenaran informasi yang didapat, supaya tidak menjerumuskan diri dan orang lain. Pastikan informasi yang kita dapatkan memiliki sifat 3B (Benar, Baik, Bermanfaat). Ketiganya harus ada dalam suatu informasi. Jika tiada, maka akan lebih baik jika informasi tersebut kita tinggalkan. Mari terus berusaha memperbaiki diri di era digital. Sekian dan semoga bermanfaat.

Mari jadi manusia 'utuh' di era digital.


Artikel ini ditulis oleh Vinanda Febriani, dengan judul awal, Menjadi Manusia 'Utuh' di  Era Digital