Biografi KH. Ahmad Baidhawi Asro

 
Biografi KH. Ahmad Baidhawi Asro

Daftar Isi Profil KH. Ahmad Baidhawi Asro

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Keluarga
  4. Pendidikan
  5. Mengasuh Pesantren

Kelahiran

KH. Ahmad Baidhawi Asro lahir pada tahun 1898 M di Banyumas, Jawa tengah. Beliau merupakan putra dari Kiai Asro, kiai yang sangat terkenal di Banyumas.

Salah seorang cucu Kiai Asro adalah KH. Saifuddin Zuhri, mantan Menteri Agama Republik Indonesia periode 1961-1967 yang juga mertua Gus Solah.

Wafat

Jumat sore di tahun 1955, cuaca di langit Tebuireng terasa sejuk. KH. Ahmad Baidhawi Asro, yang pada siang harinya menjadi imam salat jumat dan ikut mendoakan korban bencana di Aceh, pada sore harinya mengalami demam tinggi. Demam itu terus dirasakan hingga malam hari.

Pada pertengahan malam, para santri dikejutkan oleh berita bahwa KH. Ahmad Baidhawi Asro telah berpulang ke rahmatullah. Inna lillahi wa Inna ilahi Raji’un.

Jenazah KH. Ahmad Baidhawi Asro dikebumikan di area pemakaman keluarga di tengah-tengah Pesantren Tebuireng. Pada batu nisannya tertulis angka 8. Pesantren Tebuireng benar-benar merasa kehilangan, karena sejak saat itu Tebuireng hanya memiliki beberapa kiai yang termasuk pengajar kitab tingkat tinggi. Yaitu KH. Idris Kamali, KH. Adlan Aly, KH. Karim Hasyim, dan KH. Abd Mannan.

Keluarga

Sekembalinya dari Mesir, KH. Ahmad Baidhawi Asro mengabdikan diri di Tebuireng dengan membantu Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari mengajar. Tak lama kemudian, Hadratussyekh KH. Hasyim menjodohkannya dengan putri ketiganya, Aisyah. Buah dari pernikahan ini Kiai Baidhawi dikaruniai 6 putra-putri, yaitu Muhammad, Ahmad Hamid, Mahmud, Ruqayyah (istri KH. Yusuf Masyhar MQ), Mahmad, dan Kholid.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Setelah dikaruniai anak yang ke-6, Nyai Aisyah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Kesedihan melanda keluarga besar Kiai Baidhawi.

Atas restu keluarga, KH. Ahmad Baidhawi Asro kemudian menikah lagi dengan Nyai Bani’, adik Kiai Mahfudz Anwar (Seblak). Dari perkawinan ini Kiai Baidhawi dikaruniai seorang putri bernama Muniroh.

Kemudian KH. Ahmad Baidhawi Asro menikah lagi dengan keponakan Kiai Mahfudz Anwar bernama Nadhifah. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai 5 putra-putri, yaitu Muthohar, Hafsoh, Munawar, Munawir, dan Fatimah.

Pendidikan

KH. Ahmad Baidhawi Asro memulai pendidikannya di HIS Banyumas, setelah itu dilanjutkan ke Pesantren Jala’an dan Pesantren Nglirep (keduanya di Kebumen), serta beberapa pesantren lain di Jawa Tengah.

Setelah tamat, sang guru merekomendasikannya untuk melanjutkan studi ke Pesantren Tebuireng Jombang, yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari.

Selama nyantri di berbagai pesantren, KH. Ahmad Baidhawi Asro terkenal sangat rajin belajar, baik mempelajari kitab yang telah dikaji ataupun yang belum. Ketekunan itu ditopang oleh kecerdasannya yang luar biasa. Dia selalu menarik simpati sang kiai, di manapun berada, tak terkecuali KH. Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim sering menunjuk Kiai Baidhawi sebagai pengganti bila sedang berhalangan. Bahkan tidak jarang dalam masalah-masalah tertentu, Kiai Hasyim bermusyawarah dan meminta pertimbangan kepadanya.

Sebagai bentuk penghargaan kepada murid istimewanya itu, Kiai Hasyim memberangkatkannya ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Setelah itu, Kiai Baidhawi melanjutkan studinya ke al-Azhar Kairo, perguruan Islam tertua di dunia.

Mengasuh Pesantren

KH. Ahmad Baidhawi Asro menjadi pengasuh Tebuireng setelah KH. Karim memintanya untuk menggantikan kedudukannya. Salah satu peran penting Kiai Baidhawi di Tebuireng adalah pengenalan sistem klasikal (madrasah). Sebagaimana diketahui, sejak awal berdirinya, Tebuireng menggunakan sistem pengajian sorogan dan bandongan.

Namun sejak tahun 1919, Kiai Baidhawi bersama Kiai Maksum mulai memperkenalkan sistem klasikal, meskipun materi pelajarannya masih terbatas pada kitab-kitab klasik (penambahan materi umum baru dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim sejak tahun 1935).

Dikisahkan, pada suatu hari di tahun 1919, Kiai Baidhawi sedang mengajar santri dengan papan tulis. Tangan kanannya memegang kapur dan menulis huruf-huruf Arab, dan tangan kirinya juga memegang kapur dengan menulis huruf-huruf latin (pada masa itu jarang sekali santri yang bisa menulis latin).

Melihat hal ini, KH. Hasyim Asy’ari tertarik dan mengatakan, “Tidaklah mungkin seseorang dapat melakukan sesuatu tanpa belajar terlebih dahulu.” Sejak saat itulah di Tebuireng diperbolehkan mengadakan sistem madrasah, yang kemudian diberi nama Madrasah Salafiyah Syafiiyah, dengan jenjang mulai sifir awal hingga qism as-sadis (kelas enam).

Sebagaimana telah disinggung di muka, selama masa pengabdiannya di Tebuireng, Kiai Baidhawi tidak pernah aktif dalam dunia politik praktis. Satu-satunya jabatan yang pernah dipegangnya adalah anggota Dewan Syuriah PBNU. Selama masa kepemimpinannya, Kiai Baidhawi tidak melakukan perubahan sistem maupun kurikulum di Tebuireng. Beliau meneruskan dan memelihara sistem yang sudah ada.

Ketika kepengasuhan Tebuireng diteruskan oleh KH. Abdul Kholik Hasyim, Kiai Baidhawi tetap tekun mengajar di Tebuireng. Beliau terus membantu kepemimpinan adik iparnya itu. Kiai Baidhawi juga tetap aktif mengajar di Madrasah Salafiyyah Syafi’iyyah Tebuireng. Tak jarang, bila ada waktu longgar, beliau memantau para santri ke kamar-kamar.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya