Biografi KH. Ma'shum Lasem

 
Biografi KH. Ma'shum Lasem

Daftar Isi

1          Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1       Lahir
1.2       Riwayat Keluarga
1.3       Wafat

2          Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1       Mengembara Menuntut Ilmu
2.2       Guru-Guru Beliau
2.3       Mendirikan dan Mengasuh Pesantren 

3          Penerus Beliau
3.1       Putera dan puteri Beliau
3.2       Murid-murid Beliau

4          Karier dan Karya Beliau
4.1.      Pengasuh Pesantren 
4.2.      Karya-karya Beliau 

5.         Peranan di Nahdlatul Ulama (NU)

6          Teladan Beliau 

7          Karomah Beliau 
7.1       Bertamu Walisongo
7.2       Beras Melimpah  
7.3       Mengetahui Bisikan Hati
7.4       Mengetahui Kematiannya 
7.5       Mendatangkan Kendaraan  

8          Referensi

 

1          Riwayat Hidup dan Keluarga


1.1       Lahir

KH. Muhammadun atau yang biasa dipanggil dengan KH. Ma’shum atau Mbah Ma’shum merupakan anak bungsu dari pasangan KH. Ahmad dan Qosimah. Mbah Ma’shum lahir sekitar tahun 1868. Dua saudara Mbah Ma’shum adalah sosok perempuan, yaitu, Nyai Zainab dan Nyai Malichah. Beliau adalah pendiri pondok pesantren Al Hidayah, Lasem, Rembang,  Jawa Tengah ini merupakan ayahanda dari KH. Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta, sang Rais Amm PBNU periode 1981 – 1984 M. Silsilahnya Mbah Ma’shum masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, bersambung hingga ke Rasulullah SAW.

1.2       Riwayat Keluarga

KH. Ma’shum menikah dua kali, nama istri pertama ada beberapa versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra KH. Ma’shum, yang terkenal adalah KH. Ali Maksum, yang kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional. Beliau sempat menjadi pendagang baju hasil jahitan Bu Nyai Nuriyah, juga berjualan perkakas rumah tangga atau khlitikan seperti lampu pertomak, sendok, garpu, konde, dan peniti di Pasar Jombang.

1.3       Wafat

Sejak tanggal 14 Robi’ul Awal 1392 H atau 28 April 1972 M kesehatan Mbah Ma’shum turun drastis. Hingga pada akhirnya beliau masuk rumah sakit dr. Karyadi Semarang pada tanggal 17 September 1972 M selama 10 hari.

Tanggal 12 Ramadhan 1392 H atau 20 Oktober 1972 M Mbah Ma’shum menyempatkan untuk salat Jum’at di masjid Jami’ Lasem. Saat hari itu juga beliau tutup usia pada pukul 2 siang.

Kepergian beliau sangat dirasakan oleh semua kalangan, mulai dari pejabat tinggi, para kyai, keluarga, masyarakat dan para santri. Upacara pemakaman beliau di banjiri oleh para pelayat dari berbagai daerah.

2          Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau

2.1       Mengembara Menuntut Ilmu

Sejak kecil, ayah Mbah Ma’shum menitipkan Mbah Ma’shum kepada KH. Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama. Karena sejak kecil dia telah ditinggal wafat oleh ibunya.

Pengembaraannya mencari ilmu ketika masih muda tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen (KH. Abdullah, KH. Abdul Salam, dan KH. Siroj), Kudus (KH. Ma’shum dan KH. Syarofudin), Sarang Rembang (KH. Umar Harun), Solo (KH. Idris), Termas (KH. Dimyati), Semarang (KH. Ridhwan), Jombang (KH. Hasyim Asy’ari), Bangkalan (KH. Kholil), hingga Makkah (KH. Mahfudz At-Turmusi), dan kota-kota lain.

Saat menempuh pendidikan di Syaikh Mbah Kiai Kholil Bangkalan, kemuliaan Mbah Ma’shum sudah dirasakan oleh Syaikh Mbah Kiai Kholil Bangkalan.

Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma'shum ke Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah Kholil, "Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang kesini".

Begitu Mbah Ma'shum datang, yang saat itu usianya sekitar 20-an tahun, beliau langsung dimasukan ke kurungan ayam itu.

Mbah Ma'shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari. Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma'shum di sebuah kamar tanpa lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar.

Mbah Ma’shum hanya 3 bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya dan didoakan dengan doa sapu jagad. Lalu, saat Mbah Ma'shum melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.

2.2       Guru-Guru Beliau

  1. KH Nawawi (Mlonggo, Kabupaten Jepara)
  2. KH Siroj (Kajen, Kabupaten Pati)
  3. KH Abdus Salam (Kajen, Kabupaten Pati)
  4. KH Umar bin Harun (Sarang, Kabupaten Rembang)
  5. KH Ridhwan (Kota Semarang)
  6. Habib Idris (Solo)
  7. KH Dimyathi (Termas)
  8. KH Syarofuddin (Kabupaten Kudus)
  9. KH Ma'shum (Damaran, Kabupaten Kudus)
  10. KH Hasyim Asy’ari
  11. KH Cholil Bangkalan
  12. Mahfudz At-Tarmasi

2.3       Mendirikan dan Mengasuh Pesantren 

Sebelum mendirikan pesantren, KH. Ma’shum bermimpi bersalaman dengan Rasulullah Saw, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi. Di waktu lain, beliau kembali bermimpi bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”

Ketika dikonsultasikan dengan KH. Hasyim Asy’ari, Mbah  Hasyim mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan.

Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar. Sebelum mendirikan pesantren, beliau berziarah dulu ke beberapa makam Wali Allah, seperti makam Habib Ahmad ibn Abdullah ibn Tholib Alatas, Sapuro, Pekalongan.

Menurut KH. Ma’shum , saat berziarah pada malam Jum’at, Habib Ahmad Alatas menemuinya dan memimpin doa bersama. Setelah itu, Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren.

Selain ke makam Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi haul Habib Ali Kwitang, Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem. Setiap kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk ini Mbah Ma'shum selalu membaca Shalawat Nariyah 4444 kali dalam sekali duduk.

Mbah Ma'shum juga istiqamah mengamalkan doa Nurun Nubuwwah selepas Salat Subuh dan Ashar. Setelah beberapa lama mengembangkan pondok, pesantrennya kemudian dinamakan Pesantren Al-Hidayat.

Tetapi agresi Belanda tahun 1949 membuat KH. Ma’shum harus mengungsi, dan pesantren mengalami masa vakum sampai situasi tenang dan aman kembali.

KH. Ma’shum selama mengajar banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santrinya. Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang diajarkan terus-menerus berulang-ulang, artinya jika kitab itu khatam, maka akan dimulai lagi dari awal.

Di antaranya adalah pelajaran al-Qur’an, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumuddin.

Mengenai kitab al-Hikam ini KH. Ma’shum menyatakan bahwa beliau mengkhatamkannya sebanyak usia beliau. Mengenai Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali.rhm, beliau berujar, "Saya khawatir kalau melihat santri yang belum pernah khatam kitab Ihya tapi sudah berani memberikan pengajaran kepada umat; yah, semoga saja dia selamat"

kitab "Fathul Wahhab" juga dikhatamkan sebanyak usianya, sehingga beliau pernah berkata bahwa ilmu Fiqh telah ada di dalam dadanya.

Ketika beliau sudah berusia lanjut, kebanyakan santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama tabarrukan, atau mengambil barokah spiritualnya. Dalam mengajar santri Mbah Ma'shum amat disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu karomah.

Kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayat Lasem sepeninggal KH. Ma’shum kemudian dilanjutkan putra ketiganya, yaitu Kyai Ahmad Syakir sebagai Pengasuh. 

3          Penerus Beliau

3.1       Putera dan puteri Beliau

  1. KH Ali Ma’shum (Anak)
  2.  Nyai Hj. Fatimah
  3. KH Ahmad Syakir bin Ma'shum (Anak)
  4. Nyai Hj.  Azizah
  5. Nyai Hj. Hamnah

3.2       Murid-murid Beliau

  1. KH. Abdul Jalil Pasuruan
  2. KH. Abdullah Faqih Langitan
  3. KH. Ahmad Saikhu Jakarta
  4. KH. Bisri Mustofa Rembang
  5. KH. Fuad Hasyim Buntet Cirebon
  6. KH. Abdul Hamid Pasuruan

4          Karier dan Karya Beliau

4.1.      Pengasuh Pesantren 

Pesantren milik KH. Ma’shum ini semakin berkembang seiring dengan jumlah santri yang semakin banyak. Namun sayangnya saat terjadi agresi Belanda pada tahun 1949, pesantren sempat vakum karena Mbah Ma'shum harus ikut mengungsi sembari menunggu situasi kondusif dan aman kembali. 

Selama mengasuh, KH. Ma’shum banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santri-santrinya. Beliau juga selalu menanamkan sikap disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah itu lebih utama ketimbang seribu karomah. Dalam mengajar, beliau memiliki kebiasaan mengulang-ulang beberapa kitab yang beliau ajarkan. Jika sudah khatam, beliau ulangi dari awal lagi hingga berkali-kali khatam. Kitab-kitab yang sering beliau kaji di antaranya yaitu Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumiddin. 

Ketika telah berusia lanjut, santri- santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama selain menuntut ilmu, yakni tabarrukan atau mengambil barokah spiritual dari beliau. Banyak di antara murid-murid beliau yang di kemudian hari menjadi Kyai-Kyai besar, di antaranya yaitu Kyai Abdullah Faqih Langitan, Kyai Abdul Jalil Pasuruan, Kyai Bisri Mustofa Rembang, Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, dan lain-lain. 

5.         Peranan di Nahdlatul Ulama (NU)

KH. Ma’shum adalah salah satu dari tiga pendiri NU Lasem selain Kyai Baidlowi Abdul Aziz dan Kyai Kholil Masyhuri. Sebagai kiai NU beliau juga gigih berjuang mendukung membesarkan NU bersama kiai-kia lainnya. Beliau amat mencintai organisasi ini, sehingga beliau menyatakan tidak ridho jika anak keturunannya tidak mengikuti NU.  

Bahkan KH. Ma’shum sendiri selalu didatangi oleh banyak kiai jika ada urusan penting di tubuh NU untuk meminta nasihat dan doanya. Misalnya ketika hangat-hangatnya pembentukan Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah, KH. Ma’shum termasuk yang setuju, dan bahkan menjadi salah satu “petinggi” organisasi tarekat itu, walaupun beliau sendiri tidak mengamalkan praktik-praktik tarekat.

Menurutnya, “Saya sudah menggunakan tarekat langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad, yakni berupa Hubb al-Fuqara wa al-Masakin (mencintai kaum fakir miskin)”.

Selain itu banyak pula tokoh lain yang sowan kepada beliau guna meminta doa restu. Hal ini juga dilakukan oleh Profesor KH. Mukti Ali saat diangkat menjadi menteri agama. KH. Ma’shum bersedia mendoakan Mukti Ali jika dia mau mengikuti sarannya, yang salah satunya menunjukkan kebesaran jiwanya “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab membenci NU sama dengan membenci aku karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama lain. Tetapi engkau pun jangan membenci Muhamadiyyah. Jangan pula membenci PNI dan partai lain. Kau harus dapat berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil terhadap mereka.”

Ketika pecah huru-hara PKI KH. Ma’shum terpaksa melakukan perjalanan dari kota ke kota, karena beliau termasuk tokoh yang di incar hendak dibunuh oleh PKI.

6.          Teladan Beliau 

Sejak muda KH. Ma’shum sudah hidup zuhud. Beliau sempat menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti. Sembari berdagang beliau juga menyempatkan diri untuk mengajar umat dan secara rutin berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada Kyai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia KH. Ma’shum lebih tua.

KH. Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Rasulullah beberapa kali, di mana Kanjeng Rasul menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat. Mimpi itu terjadi di beberapa tempat – di stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul yang memberinya nasihat La khayra illa fi nasyr al-ilmi (Tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu). Beliau juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi.

Beliau juga bermimpi bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan berpesan kepada KH. Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.” Ketika dikonsultasikan dengan Kyai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil KH. Ma’shum dengan sebutan Kangmas Ma’shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar.

Sebelum mendirikan pesantren, beliau berziarah dulu ke beberapa makam Wali Allah, seperti makam Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas, Sapuro, Kabupaten Pekalongan. Menurut Mbah Ma’shum, saat berziarah pada malam Jum’at, Habib Ahmad Alatas menemuinya dan memimpin doa bersama. Setelah itu Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren.

Selain ke makam Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi haul Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi (Habib Ali Kwitang), Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem. Setiap kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk ini Mbah Ma’shum selalu membaca Shalawat Nariyah 4444 kali dalam sekali duduk.

KH. Ma’shum juga istiqamah mengamalkan doa Nurun Nubuwwah selepas shalat Subuh dan Ashar. Setelah beberapa lama mengembangkan pondok, pesantrennya kemudian dinamakan Pesantren al-Hidayat. Tetapi agresi Belanda tahun 1949 membuat Mbah Ma’shum harus mengungsi, dan pesantren mengalami masa vakum sampai situasi tenang dan aman kembali.

KH. Ma’shum selama mengajar banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santrinya. Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang diajarkan terus-menerus berulang-ulang – artinya jika kitab itu khatam, maka akan dimulai lagi dari awal. Di antaranya adalah pelajaran al-Qur’an, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumuddin.

Mengenai kitab al-Hikam ini KH. Ma’shum menyatakan bahwa beliau mengkhatamkannya sebanyak usia beliau. Mengenai Kitab Ihya, beliau berujar, “Saya khawatir kalau melihat santri yang belum pernah khatam kitab Ihya tapi sudah berani memberikan pengajaran kepada umat; yah, semoga saja dia selamat …” Fathul Wahhab juga dikhatamkan sebanyak usianya, sehingga beliau pernah berkata bahwa ilmu Fiqh telah ada di dalam dadanya.

Ketika beliau sudah berusia lanjut, kebanyakan santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama tabarrukan, atau mengambil barokah spiritualnya. Dalam mengajar santri KH. Ma’shum amat disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu karamah. Beliau juga tak segan-segan menegur khatib Jum’at yang khotbahnya terlalu lama dengan cara bertepuk tangan.

7.         Karomah KH. Ma’shum

KH. Ma’shum adalah sosok ulama besar yang dikenal memiliki banyak karomah. Inilah beberapa kisah karamahnya:

7.1            Bertamu Walisongo

Ada satu kisah karomah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Hari itu datang sembilan orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan KH. Ma’shum.

Namun, karena tuan rumah sedang tidur, Ahmad, salah seorang santrinya, menawarkan apa perlu KH. Ma’shum dibangunkan. Ternyata mereka menolak.

Lalu mereka semua, yang tadinya sudah duduk melingkar di ruang tamu, berdiri sambil membaca shalawat, kemudian berpamitan.

“Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?” tanya Ahmad sekali lagi.

“Tidak usah,” ujar mereka serempak lalu pergi.

Rupanya saat itu KH. Ma’shum mendusin dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi.

Setelah mendapat penjelasan, KH. Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya.

Tapi apa daya, mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru sekitar 50 meter dari rumah KH. Ma’shum.

Ketika Ahmad akan melaporkan hal tersebut, KH. Ma’shum, yang sudah bangun tapi masih dalam posisi tiduran, mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisanga dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel. Setelah mengucapkan kalimat tersebut, KH. Ma’shum tertidur pulas lagi.

7.2            Beras Melimpah  

Ada sebuah kisah, suatu ketika KH. Ma’shum menyuruh santri bernama Zulkifli untuk mengecek persediaan beras di al hidayah.

Beras sudah habis, dan habisnya beras itu disusul dengan terjadinya musim kemarau di lasem. KH. Ma’shum menyuruh Zulkifli untuk memanggil cucu-cucunya. Bersama cucu-cucunya (santri Zulkifli diajak juga) KH. Ma’shum memimpin istighotsah dan membaca potongan syair burdah berikut :

 يَا اَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِىْ مَنْ اَلُوْذُ بِهِ # سِوَاكَ عِنْدِ حُلُوْلِ الْحَدِيْثِ الْعَمَم

Artinya : wahai makhluq paling mulia (Muhammad) saya tidak ada tempat untuk mencari perlindungan, kecuali kepadamu, pada kejadian malapetaka nan besar.

Syair Burdah tersebut dibaca 80 kali, dilanjutkan dengan doa sebagai berikut: “Ya Allah, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu.”

Selain mengamini, Nadhiroh, salah seorang cucunya, berteriak, “Mbah, tambahi satu ton.”

Ditimpali oleh KH. Ma’shum, “Tidak satu ton, tepi lebih….”

Beberapa hari kemudian, beras seolah mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang dan Pasuruan, ke tempat KH. Ma’shum.

Menurut bapak Zulkifli, wirid istighosah itu jika diamalkan sangat manjur, tentu dengan bimasya’atilah.

Masih soal beras. Pada kali yang lain, setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah, KH. Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah habis.

“Ya Allah, Gusti, saya minta beras….”

“Amin…,”

ke-12 santri itu, yang ditampung dan ditanggung di rumah KH. Ma’shum, khidmat menyambung doanya. Doa tersebut di sampaikan tanpa muqoddimah dan tanpa penutup seperti umumnya doa.

Jam sebelas siang, datang sebuah becak membawa beberapa karung beras. Tanpa pengantar, kecuali alamat ditempel di karung-karung beras itu. Di sana tertera jelas, kotanya adalah Banyuwangi. Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, KH. Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu.

Suatu saat ketika berkunjung ke Banyuwangi, KH. Ma’shum bermaksud mampir ke alamat itu. Saat alamat tersebut ditemukan, tempat itu ternyata kebun pisang yang jauh di pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir-hampir tak ada yang kelebihan rizqi.

7.3            Mengetahui Bisikan Hati

H. Abrori Akhwan saat masih nyantri di al Hidayah pada awal dekade 60-an, dia pernah diminta untuk memijiti KH. Ma’shum. Saat sedang memijit, H. Abrori akhwan bertanya-tanya dalam hati, beberapa pertanyaan itu antara lain:

“Jika benar Mbah Ma’shum seorang kiai, kenapa dia tidak sering terlihat menggunakan peci haji atau serban saat keluar rumah.”

“Jika benar Mbah Ma’shum seorang kiai, kenapa dia tidak tampak sering berdzikir dalam waktu yang lama.”

“Jika benar Mbah Ma’shum seorang kiai, kenapa tidak banyak kitab kuning di ndalemnya.”

Pertanyaan tersebut tergelitik dalam hati H. Abrori Akhwan saat sedang memijiti KH. Ma’shum. Tanpa di duga, KH. Ma’shum secara lisan memberikan penjelasan yang merupakan sebuah jawaban atas apa yang sedang di pikirkan oleh H. Abrori akhwan di dalam hatinya tadi. KH. Ma’shumm saat itu menyatakan bahwa :

“Seorang kiai tidak harus menggunakan peci haji atau serban.”

“Dzikir seorang kiai tidak harus berupa membaca beberapa bacaan tertentu, dan dalam waktu yang lama. Berdzikir kepada Allah SWT bisa di lakukan langsung secara praktik, seperti mengajar atau menolong sesama.”

“Kitab kuning yang dimiliki KH. Ma’shum sebenarnya banyak, tetapi mayoritas di bawa (untuk di kaji ) oleh putranya yang bernama Ali maksum.”

Penjelasan KH. Ma’shum di atas dengan sendirinya dapat dipahami bahwa beliau tidak tertarik dengan simbolisme keagamaan dan tidak sebaliknya bahwa beliau lebih senang atau menekankan isi ketimbang kulit.

Baca juga: Berkah Memijit Mbah Ma’shum Lasem

7.4            Mengetahui Kematiannya  

Seandainya Paman wafat pada hari ini, saya akan menyusul dua tahun kemudian,”demikian reaksi KH. Ma’shum ketika mendengar kabar bahwa pamannya, Kiai Baidhowi, meninggal hari itu, 11 Desember 1970.

Bahkan ucapan itu ditegaskan sekali lagi langsung di telinga almarhum ketika dia menghadiri pemakamannya, “Ya, Paman, dua tahun lagi saya akan menyusul.”

KH. Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari shalat Jum'at di masjid jami Lasem, tak jauh dari rumahnya. Persis seperti ucapannya, menyusul dua tahun setelah pamannya wafat.

7.5            Mendatangkan Kendaraan 

Kali ini soal dokar/delman. Santri yang mengawal Mbah Ma’shum kebingungan. Setelah maghrib, sudah menjadi kebiasaan, dokar di daerah Batang, Pekalongan, tidak akan ada yang berani keluar kecuali kalau dicarter. Namun Mbah Ma'shum berkata,“Salat dulu, kendaraan soal belakang.”

Ketika itu rombongan Mbah Ma'shum sudah sampai di sebuah musala. Maka salatlah mereka secara berjamaah. Bahkan dilanjutkan hingga salat Isya.

Setelah semua selesai, rombongan pun melanjutkan perjalanan. Dan, tanpa diduga, begitu rombongan keluar dari halaman musala, lewatlah sebuah dokar kosong. Mereka pun menaikinya. Subhanallah.

8.         Referensi

              https://wiki.laduni.id/

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya