Mbah Bisri Syansuri: Teladan Disiplin, Tawaduk, dan Nasionalis

 
Mbah Bisri Syansuri: Teladan Disiplin, Tawaduk, dan Nasionalis

LADUNI.ID - Kiai Haji Bisri Syansuri dilahirkan oleh seorang ibu yang bernama Siti Rohmah dan ayah yang bernama Syansuri di desa Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah, pada 23 Agustus 1887 atau bertepatan dengan 05 Dzulhijjah 1304 H, dan bernama asal Mustajab.

Syansuri dan Siti Rohmah mempunyai lima (5) anak. Anak pertama dari dua pasangan suami istri ini bernama Mas’ud, anak lelaki, sesuai dengan harapan keluarga di daerah itu pada umumnya. Kedua adalah seorang anak perempuan, bernama Sumiyati. Bisri (Mustajab) adalah anak ketiga, dan setelah itu masih ada lagi dua anak lagi yang dilahirkan dalam keluarga ini, yaitu Muhdi dan Syafa’atun.

KH. Bisri Syansuri menikah dengan Hj. Chodidjah, dan pada tahun yang sama, kedua suami isteri baru itu kembali ke tanah air (1914). Dari pernikahan tersebut KH. Bisri Syansuri mendapatkan enam keturunan, anak pertama yaitu Kiai Achmad Athoillah, lahir pada 18 Juni 1916 (17 Sya’ban 1334 H), kedua Nyai Moeasshomah lahir pada 06 Juli 1921 (29 Syawal 1339 H), ketiga Nyai Solichah lahir pada 19 Desember 1923 (11 Jumadil Awal 1344 H), keempat Moesjarrofah, 31 Desember 1925 (15 Jumadil Akhir 1344 H), kelima Moechamad Aliaschab, 03 Agustus 1929 (27 Safar 1348 H) dan keenam Moechamad Sochib, 21 November 1932 (23 Rajab 1351 H)

KH. Bisri Syansuri dalam kehidupannya memiliki keteguhan hati dan disiplin organisasi yang ditunjukkan dalam salah satu kondisi, misalnya keterbentukan MPRS yang sempat menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan internal Nahdlatul Ulama. KH. Bisri Syansuri menganggap DPR sebagai lembaga yang antidemokrasi. Bagi Kiai Bisri, ikut serta dan bergabung dengan dan dalam lembaga DPR yang tidak seluruhnya dipilih oleh rakyat adalah bertentangan dengan ilmu fiqih yang dipegangnya.

Berbeda dengan kelompok NU lainnya yang dipelopori oleh sahabat karibnya, Kiai Wahab Chasbullah yang memutuskan untuk menerima keanggotaan dewan perwakilan rakyat tunjukan dari presiden. Alasan Kiai Wahab menerima karena amar makruf nahi mungkar yang dipegang warga NU. Di sisi lain KH. Bisri Syansuri menghargai keputusan Kiai Wahab dengan tetap mempersilahkan anggota konstituante dari hasil pemilu 1955 untuk menerima dan menjadi anggota MPRS dengan alasan bahwa Kiai Wahab adalah pimpinan tertinggi dalam Partai Nahdlatul Ulama harus dihormati keputusannya dan menjadi titik kesepakatan keorganisasian atau kepartaian.

Sifat tawaduk KH. Bisri Syansuri tidak diragukan lagi, hal ini terbukti ketika sedang terjadi pemilihan Rais Aam yang seolah-olah melibatkan “rivalitas” antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu Kiai Wahab yang saat itu menjabat Rais Aam dengan Kiai Bisri yang menjadi salah satu Rais Syuriah PBNU. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan. Walaupun lebih muda, tiba-tiba Kiai Bisri bisa meraih suara terbanyak. Kiai Wahab menerima kekalahan dengan berbesar hati, apalagi yang mengalahkan adalah sahabat dekatnya, sekaligus adik iparnya sendiri. Demikian halnya Kiai Bisri yang memperoleh kemenangan juga dengan sangat rendah hati. Walaupun telah dipilih oleh muktamirin, tetapi kemudian Kiai Bisri segera memberikan sambutan, bahwa selama masih ada Kiai Wahab yang lebih senior dan lebih alim Kiai Bisri tidak bersedia menduduki jabatan itu. 
“Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerahkan jabatan itu kepada Kiai Wahab Chasbullah.”

Kemudian sikap berbeda ditunjukkan oleh KH. Bisri Syansuri, ketika kalangan ulama dan muslim merespon program pemerintah, yaitu Keluarga Berancana (KB). Mereka mengartikan dan menafsirkan KB sebagai program pengendalian jumlah penduduk. Pada waktu program Keluarga Berencana diperkenalkan dalam kalangan muslim, terjadi pertentangan karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Selain itu juga, Keluarga Berencana (KB) menurut para muslim merupakan bentuk pengebirian umat Islam dan dapat menghambat peningkatan pemeluk agama, karena dengan memperbanyak anak maka pemeluk agama tersebut akan meningkat. Namun KH. Bisri Syansuri melihat masalah tersebut dengan pandangan berbeda, yang pada akhirnya, program Keluarga Berencana didukung oleh organisasi masyarakat Islam seperti NU. Saat itu, Ulama NU, KH. Bisri Syansuri dengan merujuk pendapat Imam Al-Ghazali memperbolehkan KB dengan niat untuk kemaslahatan umat dalam berumah tangga.

Kiai Bisri dalam banyak sikapnya selalu berpegang teguh pada tekstualitas fikih dan kaedahnya. Namun, menyangkut hajat orang banyak, hajat dan maslahat masyarakat banyak, dalam hal ini misalnya terkait dengan KB, Kiai Bisri seolah-olah melompat dari kebiasaan tekstualitasnya. Ya, sikap Kiai Bisri ini dapat kita maknai sebagai upaya kontekstualisasi fikih dan ajaran agama, sekaligus membuktikan sikap kenegaraannya; sikap nasionalis.

Oleh: Yusuf SUharto

ASWAJA NU Center Jawa Timur