Mujtahid Rasa Muqallid

 
Mujtahid Rasa Muqallid

LADUNI.ID - Kalau belajar fikih mazhab, maka untuk merasa atau diakui sebagai mujtahid sangat sulit. Selevel Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, pengarang Fathul Bari yang fenomenal itu pun tak masuk daftar mujtahid, apalagi yang jauh di bawahnya. Pengarang kitab-kitab rujukan yang volumenya tebal-tebal seperti Syaikh as-Syarwani atau Syaikh as-Syabramallisi juga tak masuk daftar. Padahal kepakaran mereka sudah level sangat istimewa.

Tak heran, para ulama mazhab kerap bilang bahwa pintu ijtihad telah tertutup sebab mereka sulit mengakui ada mujtahid lagi di era ini. Tak peduli hafal kutubut tis'ah (sembilan kitab hadis utama) di luar kepala, tak peduli punya ratusan kitab fikih, nyaris tak ada lagi yang diakui sebagai mujtahid. Semuanya hanya mentok pada level muqallid.

Kenapa demikian ribetnya diakui jadi mujtahid? Kenapa tokoh sehebat mereka "hanya" dilabeli muqallid saja dalam mazhab? Bandingkan dengan beberapa orang sekarang yang sengaja menjauhi khazanah mazhab. Bagi mereka, hapal beberapa hadis saja, bahkan hapal satu hadis saja tentang satu perkara sudah merasa berijtihad langsung tanpa bertaqlid. Bahkan, yang mampunya hanya baca terjemahan saja sebab tak paham bahasa Arab sama sekali, sudah berani mengklaim berijtihad langsung sebagai mujtahid bila sudah baca dalilnya. Sederhana sekali, bahkan remeh sekali urusan ijtihad ini bila demikian.

Lalu mengapa standar ijtihad dalam mazhab begitu melangit? Padahal asal tahu dalilnya kan sudah tak taqlid lagi sebab tak ikut-ikutan tapi berdasar pada dalil?

Pertanyaan di atas kerap diajukan oleh orang yang tak paham standar keilmuan dalam mazhab. Dalam definisi standar, taqlid memang biasa diartikan ikut-ikutan tanpa tahu dalil. Tapi bukan berarti kalau tahu hadisnya lantas tak taqlid, tidak sesederhana itu.

Ketika membahas soal ijtihad, maka dalil di sini bukan hanya satu dua hadis tetapi seperangkat pengetahuan yang utuh tentang perkara yang diselidiki hukumnya. Artinya, harus mampu tahu sendiri ayat atau hadisnya, harus mampu merancang sendiri kaidah-kaidah pemberlakuan suatu hadis (ilmu hadis), harus mampu merancang sendiri kaidah-kaidah istinbath dari al-Qur’an dan hadis (ilmu ushul fikih), dan segala yang berkaitan dengan itu. Bila mampu merancang itu semua, bukan ikut-ikutan konsep rancangan orang lain, maka itulah mujtahid mutlak. Bila mampu merancang sebagian teori tetapi ikut-ikutan saja dalam rancangan umum imam mazhab, maka level ijtihadnya terbatas menjadi mujtahid mazhab saja. Demikian seterusnya ada banyak level ijtihad.

Jadi, kalau misalnya ada orang tak tahu soal hukum mengaji di kuburan. Lalu dengar ceramah bahwa ngaji di kuburan itu haram sebab ada hadis yang berbunyi:

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
"Jangan jadikan rumah kalian kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan al-Baqarah di dalamnya"

Kata penceramahnya, hadis itu shahih riwayat Muslim. Masih kata penceramahnya, hadis itu bermakna kuburan bukan tempat membaca al-Qur’an. Lalu orang yang dengar ceramah itu merasa berijtihad langsung dari hadis sebab sudah tahu hukumnya dan tahu pula hadisnya dan tahu kalau hadisnya sahih. Sepulangnya, dia merasa siapapun yang berbeda dengannya berarti menentang seorang mujtahid. Hahaha...

Kenyataannya, dia hanya murni ikut-ikutan. Dia hanya muqallid di satu level lebih mendingan dari muqallid yang tak tahu hadis itu. Dia ikut-ikutan dalam hal menghubungkan hadis itu dengan perkara ngaji kuburan. Dia ikut-ikutan dalam hal menshahihkan hadis itu. Kalaupun kemudian dia belajar ilmu hadis, dia tetap ikut-ikutan dalam aturan ilmu hadis yang dia baca dan dalam jarh-ta'dilnya. Dia juga ikut-ikutan dalam hal istinbath dari hadis itu. Perannya 100 % hanya memasang telinga, selebihnya 100% ikut-ikutan alias taqlid. Demikian juga penceramah yang dia dengarkan hanya taqlid saja dari gurunya. Meski merasa sudah ijtihad, tapi jadinya mujtahid rasa muqallid.

Kalau mau sedikit berpikir, hadis itu sebenarnya tak nyambung dengan perkara yang dibahas. Hadis itu tak memuat larangan apapun kecuali larangan malas dari ngaji. Yang punya rumah harus ngaji biar setan pada keluar, jangan seperti penghuni kuburan yang cuma diam di lubang kuburannya tak melakukan apa pun. Itu saja pesan hadis itu tak kurang tak lebih.

Hadis itu tak lebih seperti bapak yang bilang ke anaknya: "Nak, jangan bikin gelap kamarmu kayak kuburan". Maksudnya ya si bapak nyuruh menghidupkan lampu kamar, bukan melarang menghidupkan lampu kalau lewat di kuburan.

Begitulah biasanya pendaku mujtahid tapi rasa muqallid. Argumennya tak kokoh sebab hanya ikut-ikutan.

Semoga bermanfaat

Oleh: Abdul Wahhab Ahmad

ASWAJA NU Center Jawa Timur